Riau dan asap, tugas yang akhirnya perlu diselesaikan bapak Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono. Kebakaran hutan Riau dengan begitu banyak titik api yang tersebar hampir di seluruh wilayah ini mau tak mau mendorong bapak untuk berkunjung. Di televisi bapak sempat berujar: jangan ada dosa di antara kita. Dosa akan tetap ada bapak, mungkin kita saja yang perlu jujur kalau kita ini berdosa. Kunjungan bapak setidaknya mengurangi beban masyarakat, sebab secara psikologis kita semua tahu, sepelik apapun masalahnya, kedatangan bapak tentu memberi semacam kekuatan untuk tak terlalu sedih memikirkan masalah kita, dalam konteks Riau, walaupun mata sempat berair karena asap. Tentu juga bapak ingin kita tahu bahwa good governance tak melulu melalui representative government. Perlu menangani secara langsung. Dan, jangan lupakan bahwa bapak melewati hari pertama kampanye terbuka jelang pemilu legislatif 9 April 2014.
Tiga hari dua malam di Riau, bapak pulang membawa dua jenis oleh-oleh. Oleh-oleh pertama, bapak memahami seluk beluk masalah kebakaran hutan di Riau juga setelah berdialog dengan masyarakat sekitar. Bapak lalu menyebut 7 alasan dan akar masalah kebakaran terus terjadi di Riau. Dua alasan pertama adalah faktor alam: cuaca ekstrim, lahan gambut yang mudah terbakar. Dua alasan berikut, faktor tingkah laku masyarakat lokal: cara bercocok tanam penduduk dengan cara membakar, tindakan membakar secara luas bermotifkan finansial. Alasan tindakan membakar karena uang ini oleh siapa? Masyarakat Riau sendiri? Serius? Tiga alasan terakhir, faktor pencegahan dan penegakan hukum: tidak optimalnya pencegahan oleh aparat di tingkat bawah, kurang cepat dan efektifnya pemadaman api dan penegakkan hukum yang tidak bisa menyentuh master-mind pembakaran. Aparat di tingkat bahwa harus lebih optimal mencegah siapa? Masyarakat lokal yang membakar hutan? Apakah benar masyarakat Riau membakar hutan demi uang? Alasan penegakan hukum terkesan absurd. Kenyataan bahwa korporasi besar selalu mau “kawin lari” dengan pemerintah. Masyarakat kecil korbannya. Hukum jadi impoten.
Oleh-oleh kedua adalah tindakan berkelanjutan untuk pemadaman titik api yang menyebar hampir di seluruh wilayah Riau. Penambahan instrumen pemadaman dan personil pemadam api, bantuan kepada penduduk agar tak lagi membakar, meminta perusahaan di Riau melalui CSR untk pengadaan sarana dan peralatan pemadaman dan penegakkan hukum secara tegas, keras dan cepat. Oleh-oleh ini terkesan basi, bapak. Oleh-oleh ini cukup enak, bapak. Tetapi bukankah setiap perusahaan di sana diwajibkan untuk tak merusak hutan? Lalu, mengapa bapak tak mencari tahu, mungkin saja pelaku pembakaran bukan masyarakat lokal dengan alasan apapun melainkan perusahaan tertentu? Mempersiapkan lahan untuk bercocok tanam tidak hanya di Riau, bapak. Di wilayah lain juga. Hal yang mengherankan, mengapa semacam ada jadwal kebakaran hutan di salah satu wilayah di Sumatra atau Kalimantan? Mungkin nanti Papua dan Sulawesi juga sebab masih banyak hutan dan lahan kosong untuk ditanami.
Cuaca Riau cerah setelah bapak berkunjung. Itu yang tertulis di akun twitter bapak. Sebagian persoalan teratasi. Terima kasih bapak, juga untuk oleh-olehnya, 7 penyebab kebakaran dan tindakan selanjutnya. Ada tiga hal besar yang perlu digarisbawahi. Pertama soal aktor: masyarakat, korporasi dan pemerintah. Kedua soal norma: kearifan lokal, CSR dan hukum. Ketiga soal instrumen pencegahan. Sebuah analogi sederhana dapat dibuat. Jika aktor bertindak sesuai norma, pelanggaran dapat diminimalisir dan tindakan pencegahan tak terbilang berat. Penyakit sosial timbul saat salah satu aktor melenceng dari norma yang ada dan tak tersedianya instrumen pencegahan. Bisa jadi, salah satu aktor terlalu profit-oriented, lalu yang lainnya memikirkan peningkatan ekonomi secara umum, aktor paling lemah dikorbankan. Ragam program pencegahan sering masuk dalam daftar janji politik. Baik pencegahan kebakaran hutan, penebangan hutan juga banjir. Tetapi ibarat sudah ada jadwal tetap dengan waktu yang selalu berubah, bencana buatan dan musiman itu terjadi. Aktor yang berkuasa seakan melemah melihat segumpal kertas berharga dengan bentuk beragam. Belum lagi kalau dikasih “hadiah” mewah. Mungkin bapak perlu berdialog juga dengan korporasi besar di Riau yang menurut bapak sedang berusaha di sana. Dialog dengan masyarakat saja dan meminta korporasi meningkatkan tanggung jawab sosial saja belum cukup, bapak. Perlu pengawasan berkelanjutan untuk pemeliharaan hutan dan menindak pelaku pembakaran hutan dengan ragam motif.
Bisa saja bapak baru memberi sebagian oleh-oleh dari Riau. Perlu oleh-oleh lain lagi untuk dan dari Riau. Dengan demikian seruan tegas, jelas dan cepat tidak berubah menjadi lemah, kabur dan lambat.
AC 21/03
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H