Perubahan iklim adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia di abad ke-21. Fenomena ini telah menjadi perhatian utama para ilmuwan, politisi, dan masyarakat umum di seluruh dunia. Namun, meskipun bukti dampak perubahan iklim semakin jelas, tindakan global untuk mengatasi masalah ini masih jauh dari yang diharapkan. Artikel ini akan membahas dampak perubahan iklim yang sudah terlihat saat ini, implikasinya di masa depan, serta langkah-langkah yang harus diambil untuk mengatasi krisis ini.
Pertama, penting untuk memahami apa itu perubahan iklim. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan jangka panjang dalam suhu rata-rata dan pola cuaca. Meskipun iklim Bumi secara alami berfluktuasi selama jutaan tahun, perubahan yang kita alami saat ini terjadi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Para ilmuwan sepakat bahwa kegiatan manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil yang melepaskan gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO), adalah penyebab utama pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim (IPCC, 2021).
Dampak perubahan iklim sudah terlihat jelas di berbagai belahan dunia. Salah satu indikator paling nyata adalah kenaikan suhu global. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), tahun 2020 adalah salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah tercatat, dengan suhu rata-rata global sekitar 1,2C di atas tingkat pra-industri (WMO, 2021). Kenaikan suhu ini mungkin terdengar kecil, tetapi dampaknya sangat signifikan.
Peningkatan suhu global telah menyebabkan pencairan es di kutub dan gletser di seluruh dunia. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature menunjukkan bahwa laju kehilangan es di Greenland dan Antartika meningkat enam kali lipat antara tahun 1992 dan 2017 (Shepherd et al., 2018). Pencairan es ini berkontribusi pada kenaikan permukaan laut, yang mengancam komunitas pesisir dan pulau-pulau kecil. Studi yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences memproyeksikan bahwa kenaikan permukaan laut bisa mencapai 2 meter pada akhir abad ini jika emisi gas rumah kaca tidak segera dikurangi (Bamber et al., 2019).
Selain itu, perubahan iklim juga meningkatkan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem. Badai tropis, seperti Badai Harvey di AS pada 2017 dan Siklon Idai di Afrika pada 2019, menjadi lebih kuat karena pemanasan lautan. Gelombang panas juga menjadi lebih sering dan lebih intens. Gelombang panas Eropa pada 2019, yang menyebabkan rekor suhu tertinggi di beberapa negara, dikaitkan dengan perubahan iklim oleh studi World Weather Attribution (WWA, 2019). Di sisi lain, beberapa wilayah mengalami kekeringan parah, seperti di Australia pada 2019-2020, yang memicu kebakaran hutan terburuk dalam sejarah negara itu.
Dampak perubahan iklim juga terlihat jelas pada keanekaragaman hayati. Laporan dari Platform Antarpemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem (IPBES) mengungkapkan bahwa sekitar satu juta spesies tumbuhan dan hewan terancam punah, sebagian karena perubahan iklim (IPBES, 2019). Kenaikan suhu mengubah habitat alami, memaksa spesies untuk bermigrasi atau beradaptasi dengan cepat. Terumbu karang, yang merupakan rumah bagi seperempat dari semua kehidupan laut, mengalami pemutihan massal akibat pemanasan lautan. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Science menunjukkan bahwa Great Barrier Reef di Australia kehilangan lebih dari setengah karangnya antara 1995 dan 2017 (Hughes et al., 2018).
Perubahan iklim juga memiliki dampak langsung pada kesehatan manusia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), perubahan iklim diperkirakan akan menyebabkan sekitar 250.000 kematian tambahan per tahun antara 2030 dan 2050 (WHO, 2018). Gelombang panas menyebabkan kematian langsung, terutama di kalangan lansia dan mereka dengan kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya. Perubahan pola curah hujan juga dapat memperluas jangkauan penyakit yang ditularkan melalui air dan vektor, seperti malaria dan demam berdarah.
Selain itu, perubahan iklim berpotensi meningkatkan ketidakstabilan global. Kekeringan, banjir, dan gagal panen dapat menyebabkan krisis pangan dan air, terutama di negara-negara berkembang. Laporan dari Bank Dunia memperkirakan bahwa perubahan iklim dapat mendorong lebih dari 100 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem pada 2030 (Hallegatte et al., 2016). Hal ini dapat memicu konflik atas sumber daya yang semakin langka dan meningkatkan migrasi massal, menciptakan "pengungsi iklim".
Menghadapi krisis ini, komunitas internasional telah mengambil beberapa langkah. Perjanjian Paris 2015 adalah tonggak sejarah, dengan hampir semua negara berkomitmen untuk membatasi pemanasan global di bawah 2C, dan idealnya 1,5C, di atas tingkat pra-industri. Namun, menurut laporan terbaru IPCC, dunia tidak berada di jalur untuk mencapai target ini. Bahkan dengan komitmen saat ini, kita diproyeksikan akan mengalami pemanasan lebih dari 3C pada akhir abad ini (IPCC, 2021).
Jadi, apa yang harus dilakukan?
Pertama dan terpenting, kita harus segera dan drastis mengurangi emisi gas rumah kaca. Ini berarti transisi cepat dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Studi dari Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) menunjukkan bahwa mempercepat penyebaran energi terbarukan bisa mengurangi emisi CO terkait energi sebesar 70% pada 2050 (IRENA, 2021). Selain itu, kita perlu meningkatkan efisiensi energi di semua sektor, dari bangunan hingga transportasi.
Kedua, kita harus melindungi dan memulihkan ekosistem alami. Hutan hujan, lahan basah, dan lautan adalah penyerap karbon alami yang vital. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Nature Climate Change, alam saat ini menyerap sekitar setengah dari emisi CO yang dihasilkan manusia (Friedlingstein et al., 2019). Namun, deforestasi dan degradasi lahan mengancam kapasitas ini. Inisiatif seperti Bonn Challenge, yang bertujuan untuk memulihkan 350 juta hektar lahan terdegradasi pada 2030, adalah langkah positif (IUCN, 2020).
Ketiga, kita perlu berinvestasi dalam inovasi teknologi. Ini mencakup pengembangan penyimpanan energi yang lebih baik untuk mengatasi intermittency energi terbarukan, serta teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon untuk mengurangi emisi dari industri yang sulit dikurangi. Bahkan, untuk mencapai emisi nol bersih, kita mungkin perlu mengandalkan teknologi penghapusan karbon yang masih dalam tahap awal pengembangan (National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine, 2019).
Keempat, kita harus memastikan transisi yang adil. Negara-negara dan komunitas yang paling rentan terhadap perubahan iklim sering kali yang paling sedikit berkontribusi terhadap masalah ini. Pendanaan iklim internasional, seperti Green Climate Fund, harus diperkuat untuk membantu negara-negara berkembang beradaptasi dan membangun ketahanan. Di tingkat nasional, kebijakan harus dirancang untuk melindungi pekerja dan komunitas yang bergantung pada industri berbasis fosil.
Kelima, pendidikan dan keterlibatan publik sangat penting. Survei global oleh YouGov menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar orang menganggap perubahan iklim sebagai ancaman serius, tidak semua memahami penyebab atau solusinya (YouGov, 2019). Sekolah, media, dan pemimpin masyarakat memiliki peran kunci dalam meningkatkan literasi iklim dan mendorong perubahan perilaku.
Terakhir, kita membutuhkan kepemimpinan politik yang kuat. Mengatasi perubahan iklim membutuhkan kerjasama internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, seperti yang kita lihat dalam respons global terhadap pandemi COVID-19, tindakan cepat dan terkoordinasi mungkin dilakukan jika ada kehendak politik. Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (COP) tahunan adalah forum kritis untuk memperkuat ambisi dan akuntabilitas.
Oleh sebab itu, perubahan iklim bukanlah ancaman masa depan yang jauh; ini adalah krisis saat ini yang dampaknya sudah dirasakan di seluruh dunia. Dari kenaikan permukaan laut hingga kebakaran hutan, dari kepunahan spesies hingga ketidakstabilan sosial, bukti semakin jelas. Namun, pesan dari ilmu pengetahuan juga jelas: masih ada waktu untuk menghindari skenario terburuk, tetapi jendela tindakan semakin sempit.
Mengatasi perubahan iklim akan membutuhkan transformasi besar dalam cara kita menghasilkan dan menggunakan energi, mengelola lahan, dan bekerja sama secara global. Ini tidak akan mudah, tetapi biaya ketidakaktifan jauh lebih tinggi. Lebih dari itu, tindakan iklim menawarkan peluang untuk membangun dunia yang lebih bersih, lebih adil, dan lebih makmur. Seperti yang dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antnio Guterres, "Solusi untuk perubahan iklim adalah juga solusi untuk kesejahteraan kita."
Kita adalah generasi pertama yang merasakan dampak perubahan iklim, dan mungkin yang terakhir yang dapat mencegah konsekuensi terburuknya. Kita memiliki pengetahuan, teknologi, dan (jika kita mau) sumber daya untuk bertindak. Yang diperlukan sekarang adalah kemauan kolektif untuk mengubah pemahaman menjadi tindakan, dan tindakan menjadi transformasi. Masa depan kita, dan masa depan generasi yang akan datang, tergantung pada apa yang kita lakukan hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H