(Bisri,2016,hlm39)
Puisi diatas merupakan kritik terhadap pemerintah atas kegagalannya dalam menjalankan prinsip keadilan sosial. Bait menimbun rongsokan berton-ton ini merupakan refleksi perilaku kehidupan masyarakat Indonesia yang hidup dengan kemewahan dan bergelimang harta. Kondisi inilah yang memicu lahirnya korupsi.
Jika direnungkan, kurang apa hidup para pemimpin bangsa ini sampai mereka masih bisa korupsi jika bukan untuk memenuhi gaya hidup yang tinggi. Dalam puisi diatas digambarkan sebagai rongsokan. Padahal, disamping mereka masih banyak orang-orang yang hidup menderita, susah untuk makan bahkan tinggal di kolong jembatan.
Nafsu berkuasa dan menimbun harta merupakan faktor utama timbulnya masalah korupsi. Tidak ada lagi kata ikhlas dalam diri seorang koruptor. Semua yang dilakukan dan dikorbankan merupakan upaya untuk mendapatkan imbal balik yang lebih besar.
Maka dari itu, hal ini memberikan pelajaran yang besar untuk memiliki rasa kepedulian sosial. Dalam menjalankan nilai-nilai kehidupan seseorang harus memiliki modal kepedulian dan kepekaan sosial yang besar, apalagi ketika kita berada di posisi sebagai pengambil keputusan dan kebijakan. Kebiasaan korup yang dijalankan pemerintah ini menimbulkan banyak kerusakan yang amat parah bagi bangsa. Hal ini menjadi kesadaran bersama sehingga kemudian dijadikan alasan untuk mengubah kebiasaan untuk memperbaiki perilaku dan tatanan nilai yang dianut.
Sebagai manusia kita harus memiliki prinsip, jika kita sebagai manusia saja tidak berprinsip maka akan membuka peluang lahirnya perilaku korup pada sebagian besar orang Indonesia. Orang yang tidak mampu menjadi dirinya sendiri  memiliki kecenderungan mudah tergoda dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. Bahkan, orang rela melakukan apapun hanya untuk bisa memiliki apa yang dimiliki orang lain, termasuk dengan mencuri atau korupsi.
Memikirkan dan mempertimbangkan adalah pelajaran yang harus ditanamkan dalam diri. Kerusakan yang sudah ditimbulkan oleh keserakahan, keangkuhan, kebodohan, dan ketamakan harus menjadi bahan renungan untuk memperbaiki diri.Â
Jadi, untuk apa sebenarnya mengejar kekuasaan, menumpuk kekayaan, dan menghalalkan segala cara jika pada akhirnya hanya akan berujung pada kerusakan dan kehancuran.
Puisi ini mengingatkan kita untuk senantiasa memiliki kesadaran tentang keterbatasan sebagai manusia. Tidak mungkin semua keinginan manusia dapat diwujudkan jika tidak atas ridha-Nya. Maka, menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginan, termasuk didalamnya korupsi dapat diredam dengan cara memikirkan dan mempertimbangkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H