LOMBOK..Hhhmmm.. Kata itu mengingatkan saya akan 2 hal yang saya cintai. Pulau Lombok dan Lombok cabe. Saya jatuh cinta pada Pulau Lombok. Cinta pada alamnya, budayanya, masyarakatnya dan makanannya. Tidak pernah kapok rasanya berkunjung ke Pulau Lombok.
Hal kedua yang akan terlintas di benak saya ketika mendengar kata Lombok adalah cabe. Dalam Bahasa Jawa, lombok berarti cabe. Karena banyak, orang Jawa yang merantau di seluruh Indonesia, akhirnyabanyak orang non Jawa-pun yang paham dengan istilah lombok yang berarti cabe ini.
Jika saya mencintai Pulau Lombok. Jujur saja, saya mencintai Lombok cabe lebih dari pulau Lombok. Waktu kecil sih, saya agak takut dengan rasa pedas. Kecintaan saya pada cabe bermula ketika saya kuliah. Tertular dari kebiasaan mantan pacar saya yang orang Manado. Paham dong, bahwa masakan Manado juga kaya akan cita rasa pedas. Awalnya sih, tidak tahan akan rasa pedasnya, tapi lama-lama saya jadi terbiasanya.
Walaupun, kisah cinta kami sudah berakhir 13 tahun yang lalu. Tapi, kebiasaan menyantap masakan pedas tidak hilang begitu. Bahkan, rasanya saya tidak bisa menikmati masakan apapun yang tidak pedas. Seandainya tidak ada saus cabe ataupun sambal, cabe rawit utuh pun tidak masalah. Untuk masakan-masakan bule yang tidak cocok dengan sambal ataupun cabe rawit, saya akan menambahkan merica ataupun Tabasco di dalamnya.
Saya memang pecinta pedas. Untuk satu gorengan tahu isi pun, cabe yang dimakan bisa lebih dari satu. Tergantung berapa gigitannya. Satu gigitan berarti satu buah cabe rawit hijau lho. Satu porsi rujak buah ataupun lotek, saya bisa minta 7 sampai 9 buah cabe. Kata Mbak Sumi penjual lotek langganan saya, jumlah cabenya harus ganjil, pedasnya akan terasa lebih mantap. Entahlah, itu memang fakta ataupun cuma karangannya Mbak Sumi saja. Yang pasti, rasa pedasnya memang nendang banget.
Orang-orang terdekat saya, sudah banyak yang keberatan dengan ‘lombokholic’nya saya ini. “Kasihan lambungnya “ itu kata mereka, apalagi saya memang punya masalah dengan sakit maag dan perut kembung. Kalau perut saya kembung, ukurannya bisa sama dengan ketika saya hamil 5 bulan. Lumayan besar kan? Tapi ya bagaimana lagi, jika tidak pedas, bagi saya rasanya tidak seperti makan yang normal. Bagaikan sayur tanpa garam, hambar.
Jika saya makan masakan yang kaya akan lemak. Sudah bisa dipastikan penggunaan sambalnya pun lebih dari biasanya. Agar saya merasa tidak terlalu bersalah ketika menyantapnya. Lagipula, dengan extra sambal tentu acara buang air besar lebih lancar dari biasanya, mungkin saja jumlah lemak yang ikut terbuang juga lebih dari biasanya. Well, itu Cuma pemikiran ngawur saya saja lho. Tidak ada pernyataan ilmiah apapun yang melatarbelakanginya. Anyway, it’s only an excuse.
Kata orang, rasa pedas bisa menambah nafsu makan seseorang. Pernah, beberapa tahun lalu ketika putra sulung saya berumur 1,5 tahun, dia sulit sekali makan. Salah seorang sahabat menyarankan untuk memberi sedikit ‘tendangan’ rasa pedas di dalam makanannya, untuk menggugah nafsu makannya. Ketika hal itu saya coba, eh ternyata manjur lho.Si sulung langsung dengan lahap menghabiskan jatah makan siangnya. Duh, lega dan senang sekali rasanya. Kesenangan itu tidak bertahan lama, malam harinya dia langsung mencret-mencret. Waduh, rasanya menyesal sekali. Tapi jangan salah lho, sekarang dia berumur 10 tahun, dan untuk anak seusianya termasuk berani makan pedas,walaupun memang tidak senekad saya.
Mbak Arum kakak ipar saya, pernah menyodorkan buku diet golongan darah. Untuk golongan darah saya, golongan darah A salah satu pantangannya adalah cabe. Walah! Tapi saya pura-pura tidak tahu saja. Saya bilang, “ Golongan darah sayamemang A, tapi di saat saya makan sesuatu yang pedas, golongan darahnya tiba-tiba berubah jadi O kok.” Hehe, bandel sekali ya. Habis harus bagaimana lagi? Buat saya, makanan tanpa rasa pedas, bagaikan pernikahan tanpa seks. Can you imagine? Halah…
Memang sih, Maag dan kembung saya suka datang mengganggu. Tapi selama ada Trypanzim, Mylanta dan Neolanta, sepertinya itu bukan masalah besar. Problem, solved..and life still going on. Pernah suatu hari saya merasa kapok dengan kebiasaan menyantap masakan pedas ini. Tepatnya hari Sabtu, 2 minggu yang lalu. Sekitar jam 5 sore, perut ini terasa aneh. Lain dari biasanya. Sakitnya makin lama makin hebat. Perut seperti ditusuk-tusuk ribuan pisau, rasanya seperti orang sakit hati saja. Sakit sekali deh pokoknya. Obat-obat andalan saya tidak ada yang dapat membantu. Jam 10 malam, saya terpaksa harus ke UGD. Dokter bilang, saya tidak boleh lagi makan pedas. Jujur saja, sepertinya ini sudah dokter keseratus yang bicara seperti itu. Malam itu, saya bilang “ kapok..kapok..kapok makan pedas”. Dan saya berjanji dalam hati untuk tidak makan pedas lagi.
Minggu paginya, saya sarapan bubur ayam Mas Darno tukang bubur langganan yang tiap pagi lewat di depan rumah. Seperti pesanan saya biasanya, Mas Darno memberikan dua sendok sambal di buburnya. Awalnya, saya bertahan untuk tidak menyentuh sambal itu. Hingga suapan ketiga, tanpa sadar saya sentuh sambal itu. Lama-lama, sambalnya habis bersamaan dengan habisnya bubur. Awalnya sih merasa bersalah, tapi ternyata perut saya baik-baik saja. Pada saat makan siang, saya sudah lupa akan janji saya malam tadi. Janji ya tinggal janji. Hingga sekarangpun, agaknya janji itu benar-benar saya lupakan. Mungkin, malam itu saya tidak sadar, dalam pengaruh obat kali ya, sehingga mengigau mengucapkan janji yang tidak saya ingat. Hehe..
Jadi, untuk ‘lombok’ yang keduapun tidak ada istilah kapok lombok bagi saya. 2 macam Lombok yang saya cintai. Pulau Lombok dan Lombok alias cabe. Ada istilah ‘kapok lombok’ di masyarakat. Kapok Lombok, walaupun kapok akan efek pedasnya tapi tidak akan kapok untuk memakannya. Dengan kata lain, kapok yang tidak mengenal istilah jera. Sekali Lombok tetap Lombok. Lombok Forever.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H