Saya mohon, siapapun yang mencintai agama ini (Islam) harus banyak membaca. Jangan menuruti emosi kemudian emosi itu diatas namakan agama (Gus Baha').
Sebelum jauh membahas pemuda, ada baiknya kalau pemuda seharusnya dikaitkan dengan gerakan membaca. Karena masa muda adalah masa rentan, rentan dengan segala macam hingar bingar keadaan. Iya, tanpa tahu asal muasalnya pasti sepontan ikut menyuarakan. Terkesan aksinya mengkampanyekan dan memperkeruh keadaan.
Berbicara pemuda, tentu terbayang sebagai seorang manusia yang sedang berada di tahap waktu pubertas. Di samping terdapat perubahan tubuh secara fisik terjadi karena adanya perubahan hormon, juga perubahan tubuh secara psikis (mental/emosional).
Juga tahap dalam siklus manusia yang masih kuat secara fisik dan mental. Karena di masa muda adalah masa-masa pertumbuhan baik secara kualitas maupun kuantitas.
Merupakan sebuah keniscayaan di masa muda jika terdapat banyak perubahan yang dapat merubah pola pikirnya, alur mindsetnya, belajar menganalisis hulu hilir problema hingga tidak sedikit berani menyuarakan (speak up) berbagai aspirasi dan asumsi ke publik dan herannya sok-sokan dia yang paling benar.
Tentunya semua itu atas dasar, bahwa pemuda adalah pemula. Wajar pemula merasa paling sempurna karena belum tahu/tidak tahu kadar diatasnya. Seperti halnya seorang yang baru bisa memahami satu jurus silat seakan dia paling jago, padahal masih ada yang lebih jago darinya. Maklum pemula suka gitu, demikian juga pemuda.
Tidak salah, karena setiap manusia punya hak kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat, apalagi di bumi Indonesia yang kental dengan demokrasi. Tidak salah bahwa setiap manusia termasuk pemuda juga tentunya punya kemauan untuk (hanya sekedar) ikut menyuarakan aspirasi dan unek-uneknya yang mungkin dirasa kurang asri.
Tetapi menurut pandangan sebagian orang terkesan cacat. Cacat dalam artian tidak tahu hulu hilir masalahnya ikut buka suara, tidak paham maksud sebenarnya ikutan bicara. Giliran dimintai argumentasi tidak peduli, ditanya maksudnya jawab sekenanya seadanya.
Padahal di dalam kitab samawi, terkhusus Al-Quran, pertama kali wahyu turun bersubstansi pentingnya membaca. Terlihat dari pengulangan lafadz “iqra'” dalam surah Al-Alaq sebanyak 2 kali. Sebagian cendikiawan muslim menterjemahkan iqra' pertama anjuran secara tekstual untuk gemar membaca sebagai ladang awal pembelajaran, membuka pikiran dan melanglang buana memahami keadaan, sedangkan iqra' kedua anjuran untuk memahami, tidak sebatas tahu tanpa memahami isi (substansi).