Barangkali para Kawula Muda di dekade 2020an ini agaknya mulai familiar dengan skena musik lawas yang saya spesifikan di tahun 80an. Bagaimana tidak, fenomena nostalgia ini cukup mengejutkan bagi saya pribadi (yang mungkin kurang main jauh) ketika mendengar atau memperhatikan teman-teman saya yang memutar lagu Utha Likumahuwa sampai Itang Yunasz, padahal saya tahu teman-teman saya tidak semuanya pendengar musik yang mendalam, bahkan agaknya untuk mencari dan memutar lagu-lagu tersebut saja seperti, "wah agak mustahil".
Ternyata pandangan saya salah, dan saya mengakui di era saat ini emang sedang ramai nya nostalgia musik Indonesia tahun 80an yang kala itu disebut sebagai "Pop Kreatif". Bukan menjadi hal yang skeptis apabila ketika kita menanyakan kepada orangtua kita, "Pah, Fariz RM siapa? Mah, tau Mus Moedjiono gak?" karena pasti generasi orangtua kita pastinya mengetahui nama-nama tersebut.
Lantas, apakah salah ketika (sebutlah) seseorang yang baru saja mendengar musik lawas yang padahal "enggak City Pop banget" dilabeli sebagai City Pop?
Buat saya sebagai sesama pendengar, tidak bisa saya salahkan juga karena bahwasanya dahulu saya pun begitu, malah saya mengira Diskoria itu City Pop banget yang nyatanya secara umum, Diskoria lebih merujuk kepada musik Disko Jazz Funk.
Bagaimana pun, fenomena nostalgia (dan beberapa miskonsepsi) mengenai musik lawas khususnya di Indonesia memiliki sisi positifnya, dimana ketika ramainya musik pop mellow yang berbicara asmara tanpa henti, disitu ada syair-syair lawas yang puitis yang ditawarkan dalam skena musik City Pop.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H