Mohon tunggu...
Alliq Mc Gellnow
Alliq Mc Gellnow Mohon Tunggu... lainnya -

Bukan siapa-siapa, tapi ada dimana-mana.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pers: Antara Twitter, Esemka dan S3

18 Januari 2012   00:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:45 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Terus terang saya takjub dengan pemberitaan tentang karya anak-anak SMK beberapa minggu belakangan ini. Betapa tidak, SMK yang sebelum ini nyaris tak terdengar tiba-tiba muncul menyeruak membawa karya yang tidak bisa dikatakan remeh: mobil, sepeda motor bahkan pesawat terbang. Semuanya dibuat sendiri dengan kandungan lokal di atas 80%.

Jika karya ini memang sudah cukup lama dikerjakan dan baru terendus pers ketika Jokowi mengangkatnya menjadi isyu nasional, berarti memang benar, ada masalah dengan pers kita yang cenderung mengejar sensasi dan sering melupakan kisah karya anak bangsa seperti ini. Pers cenderung memborbardir masyarakat dengan berita atau kisah miring tentang skandal korupsi dan percaturan politik, sedikit sekali kisah yang membanggakan negeri seperti kisah SMK ini diangkat ke permukaan. Anda bayangkan jika seorang Jokowi tidak mengangkatnya, mungkin atmosfir pemberitaan kita melulu hanya didominasi oleh kasus Nazar dan Yulianis, korupsi wisma atlet, skandal penyiksaan tahanan di bawah umur, dsb. Pusing dan rasanya tak ada yng bisa dibanggakan dari berita seperti itu. Memalukan malah.

Namun pers tidak sepenuhnya bisa disalahkan, karena berita sensasi akan meningkatkan oplah mereka. Media sosial seperti Twitter sekalipun tidak luput dari acuan nilai seperti ini, bukan oplah tapi follower. Twitter hanya sebuah alternatif pemberitaan yang menyuarakan sudut pandang yang berbeda dari sudut pandang pemberitaan mainstream. Namun Twitter juga bisa menjadi ajang gossip yang pada dasarnya masih satu keluarga dengan sensasi, yang memang disukai masyarakat pada umumnya. Itu sebabnya, admin atau pemilik akun seakan berlomba meraup follower sebanyak-banyaknya. Follower berarti pembaca, dan semakin banyak pembaca semakin banyak pengaruh dan opini yang bisa diciptakan. Dan itu semua kekuatan.

Menyadari kekuatan media sosial seperti ini, banyak politisi partai kemudian dipercaya menurunkan pasukan untuk mempengaruhi opini publik. Pro-kontra dipertandingkan secara 'live' dan disaksikan ribuan mata yang entah kenapa adrenalinnya ikut terpacu merasakan sensasi perang kata, yang diistilahkan twitwar. Publik pembaca bahkan ketagihan jika lama tidak menyaksikan twitwar, seperti twitwar pribadi seorang artis merangkap politisi, MH.

Jika dirunut sebab-musababnya sebagaimana terpampang jelas di berbagai blog, publik bakal tidak bisa memahami bahwa kejadian sepele di twitland bisa diangkat menjadi isyu 'nasional' ketika di dunia nyata kejadian tadi diseret-seret ke ranah hukum. Hukum di ranah media berlaku, bad news is a good news. Langkah artis yang juga politisi ini kemudian tidak bisa dibaca secara literal atau murni tentang konflik itu sendiri. Artis ini sedang berpolitik dengan cara menciptakan tokoh antagonis, ya dirinya sendiri itu, dengan cara yang tidak lazim seperti memamerkan gelar dan melebarkan konfliknya dengan keluarga seorang musisi (dan putranya). Tidak lazim tapi terbukti efektif.

Bisa jadi dia sengaja menciptakan sensasi konfliknya untuk tujuan lain, misalnya meningkatkan jumlah follower yang memang belakangan meningkat tajam, atau memberikan pressure terhadap lawan politik dengan cara menunjukkan taring kepada publik atau bluffing bahwa dia bisa melakukan apapun untuk membela kepentingannya, atau menciptakan suasana tidak nyaman bagi dosen penguji di IPB menjelang sidang terbukanya, atau yang lebih konyol lagi, sang artis memang benar sakit, narsistik stadium lanjut.

Semua itu hanya menambah daftar panjang keprihatinan kita semua. Prihatin karena kecenderungan media yang mencari berita sensasional. Prihatin dengan media sosial yang dimanfaatkan untuk semata-mata memperlebar dan memperkuat pengaruh terhadap opini publik. Prihatin dengan manusia-manusia yang menjadi aktor dalam media tadi, yang tidak lagi mengindahkan etika sosial dan membajak perhatian semata-mata untuk kepentingan pribadinya saja.

Kita rindu dengan kisah-kisah perjuangan inspiratif seperti yang dilakukan oleh SMK dengan mobilnya, yang menginspirasi banyak orang, yang membangkitkan keyakinan bahwa bangsa ini menyimpan potensi intelektual luar biasa yang selama ini tertutup oleh pemberitaan politik sensasional saja. Anak-anak SMK itu tidak memiliki gelar akademis - apalagi gelar S3 - yang bisa dibangga-banggakannya di depan publik seperti perilaku artis di atas, tapi mereka menyeruak mempersembahkan sebuah karya yang demikian membanggakan semua orang dengan cara yang mengejutkan dan mengagumkan.

Apakah kita akan terus membiarkan diri kita dicaplok oleh pemberitaan skandal politik dengan segala kepentingan tersembunyinya? Akankah atmosfir Indonesia akan selamanya ditutupi kabut pekat berita-berita negatif tanpa ada sedikitpun ruang bagi kita, manusia Indonesia, untuk duduk sejenak dan merenungkan semua ini?

Semuanya kembali kepada diri kita masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun