Mohon tunggu...
Oka NB
Oka NB Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan swasta bergelar S.Pd yang enggak mau jadi guru.

Blog: februarian.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bapakku

22 Juni 2019   13:55 Diperbarui: 22 Juni 2019   14:04 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Nggak gitu, neng. Nyikatnya dua kali-dua kali. Gini nih."

Begitu kurang lebih sepenggal kalimat Bapak saat mengajariku cara menyikat gigi, dulu sekali saat aku mungkin masih berusia dua atau tiga tahun.

Bayangan Bapak yang mempraktekan cara membersihkan gigi juga masih kuingat samar-samar. Kuingat juga, dia telaten dan sabar.

Masih kuingat pula setiap hari saat sore tiba, jam 5 tepatnya, aku menunggu Bapak pulang bekerja. Di teras rumah, kutajamkan pendengaranku agar bisa menangkap bunyi dari suara motor Bapak yang sangat khas. Dari jauh, aku pasti sudah bisa mengenali suara motor itu. Dan, betapa senangnya aku saat melihat Bapak memasuki pekarangan rumah, mengendarai motor kesayangannya. Oh, dan senyumnya.

Namun, terkadang Bapak pulang tidak tepat waktu. Jam 5 atau 6 berlalu, aku masih menunggu. Seringkali sambil menangis, takut kalau-kalau Bapak mengalami sesuatu.

"Nanti Bapak juga pulang, ayok makan dulu," kata Ibu menenangkan. Jangankan ingin makan, rasanya tidak karuan perasaanku saat itu. Dan saat sayup-sayup terdengar bunyi knalpot motor Bapak, pasti aku langsung berlarian keluar rumah, menyambutnya.

Jika Bapak sudah datang, senangku pasti bukan kepalang. Kubuatkan teh manis panas, kusiapkan piring untuk kemudian kami makan bersama. Khusus piring Bapak, kusiapkan yang lebih besar karena kutahu Bapak pasti lapar setelah seharian bekerja.

Aku tidak ingat apa yang sering kami bicarakan dulu di meja makan. Tapi kuingat, Bapak sangat pemilih kalau urusan makanan. Kadang kulihat Bapak makan dengan lahap jika menunya semur telur atau olahan ayam. Kalau sayuran? Bapak makannya pelan-pelan, sambil mengobrol dengan ibu membahas topik ini-itu.

Pernah juga saat di meja makan obrolan Bapak dan Ibu berubah memanas. Mereka berselisih paham, Bapak marah hingga memecahkan satu atau dua piring dan mungkin juga gelas. Tidak tersisa di ingatanku apa yang mereka bicarakan waktu itu. Tapi aku mengingat aku takut, sambil menangis aku menuju kamar dan meninggalkan sisa makanku.

Keesokan paginya, Bapak dan Ibu sudah kembali seperti biasa. Duduk di teras rumah sambil bercengkrama, ditemani secangkir teh dan kokokan ayam yang kami pelihara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun