Penulis: Allia Yasmin G, Aziz Annaba, Sarah Fauziah A, Syifa Nurfitriani
Percepatan industrialisasi dan urbanisasi menjadi penyebab utama dalam peningkatan drastis timbulan sampah kota, khususnya limbah makanan. Sektor limbah makanan telah menjadi bidang perhatian utama karena menempati proporsi yang cukup besar dari total timbulan sampah kota. Dalam upaya untuk mengembangkan skema pengolahan limbah yang efisien, perlu dilakukan pembangunan fasilitas pengolahan limbah organik untuk mendaur ulang limbah makanan menjadi produk bermanfaat. Pengelolaan limbah makanan ini dapat memanfaatkan proses pengomposan.
Pengomposan merupakan proses penguraian bahan organik oleh organisme yang memanfaatkan bahan organik tersebut sebagai sumber energi. Faktor- faktor yang perlu diperhatikan selama proses pengomposan adalah : rasio C/N = 26 - 35 (substrat yang digunakan), mikroorganisme, kadar air 50-60%, temperatur 40-60⁰C , pH 5,5 - 8, dan aerasi. Pengolahan limbah makanan yang efektif pada dasarnya sulit dikarenakan bahan yang akan dikomposkan memiliki komposisi yang heterogen, kadar air tinggi, dan nilai kalor rendah. Oleh karena itu perlu dicari upaya untuk meminimalisir kesulitan-kesulitan tersebut. Proses pengomposan diantaranya dapat dipercepat dengan menambahkan Wooden biochip. Wooden biochip disini merupakan potongan kayu dari pohon yang memiliki daun seperti jarum (contoh: pinus). Struktur berpori yang dimiliki oleh Wooden biochip merupakan habitat yang cocok untuk perkembangbiakan mikroba dan memberikan kondisi aerobik yang ideal. Selain itu, penambahan Wooden biochip juga memberikan peningkatan luas permukaan sehingga mempercepat laju pengomposan.
Proses pengemposan menggunakan penambahan Wooden biochip telah dilakukan oleh Joonho Yeo pada tahun 2019 dengan sistem Smart Food Waste Recycling Bin (S-FRB) di Hongkong. Proses pengomposan dengan sistem S-FRB berlangsung sebagai berikut: limbah makanan dimasukan dalam sistem, pengomposan dilakukan di bawah suhu dan pengadukan yang terkendali, dehidrasi, dan keluaran produk. Dilakukan penambahan katalis platinum dan instrumen plasma untuk mengolah gas buangan secara termal untuk menghilangkan kemungkinan bau yang dihasilkan selama proses pengomposan.
Sistem S-FRB menunjukkan hasil yang baik pada pengurangan massa limbah makanan. Sampah makanan dengan massa 607 kg menjadi 182 kg setelah proses pengomposan. Massa produk akhir yang dihasilkan mewakili tingkat pengurangan massa limbah makanan sekitar 80%. Lingkungan yang sesuai pada sistem meyebabkan pengurangan kadar air pada limbah makanan yang awalnya mengandung kadar air 70% menjadi 5%. Kadar air ini dinilai memenuhi konsentrasi kelembaban optimal untuk pembuatan pelet komposit. Hal ini menjadi bukti bahwa sistem S-FRB dapat mengontrol kelembapan produk meskipun ada masukan limbah makanan secara konstan.
Jumlah input limbah makanan harian yang konstan dan proses pengomposan S-FRB yang hanya membutuhkan waktu kurang dari satu hari menyebabkan laju degradasi menjadi stabil. Hal ini menyebabkan kecenderungan peningkatan konsentrasi kandungan organik pada produk akhir limbah. Peningkatan kandungan organik produk akhir meningkatkan nilai kalor produk akhir. Hasil ini membuktikan kelayakan produk akhir sebagai sumber energi alternatif berupa pelet komposit. Sistem S-FRB dapat berkontribusi pada pengelolaan limbah makanan yang berkelanjutan dan sirkulasi limbah dengan menyarankan kompos limbah makanan sebagai sumber energi alternatif di sebagai pengganti pembuangan TPA. Selain itu, hasil pH (6,3), salinitas (0,1%), dan logam berat yang dikandung pada produk akhir penelitian ini memenuhi standar resmi untuk pupuk komersial.
Bau yang disebabkan oleh fasilitas pengolahan limbah harus menjadi perhatian karena kemungkinan berdampak pada kesehatan dan keselamatan penduduk yang tinggal atau bekerja di dekat fasilitas pengolahan limbah. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat bau sistem S-FRB dan lingkungan sekitarnya di bawah 6 unit bau (Odor Units/OU) dan termasuk level yang rendah. Tingkat ini merupakan tingkat bau sekitar yang umum di perkotaan dan jarang dianggap sebagai gangguan. Hal ini menunjukkan keefektifan instrumen plasma tambahan dan katalisis platinum untuk mengurangi tingkat bau pada sistem S-FRB.
Sistem ini melibatkan aktivitas mikroba dalam prosedur pengomposannya. Bakteri yang dominan pada proses S-FRB adalah Pseudomonas, Lactococcus, Leuconostoc dan Bacillus. Bakteri-bakteri ini menyebabkan adanya pembusukan protein, karbohidrat dan glukosa dan menunjukkan peran dari aktivitas mikroba dalam sistem S-FRB. Pada hasil ini, keragaman utama mikroba pada S-FRB menunjukkan kemungkinan stabilisasi populasi mikroba saat proses pengomposan sisa makanan. Keragaman mikroba yang berkurang dari waktu ke waktu dapat mendukung sistem yang stabil secara fungsional.
Di Indonesia sendiri, upaya pengolahan limbah makanan sudah mulai dilakukan. Salah satu caranya yaitu Food Waste Recycler dengan metode Conductive Drying. Metode ini merupakan metode pengeringan dengan sistem pemanas yang terpisah dari bahan yang akan dikeringkan sehingga disebut dengan pengeringan tidak langsung (indirect drying). Pengolahan sampah dengan cara ini hanya untuk meminimalisasi volume sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Namun dengan diterapkannya sistem S-FRB dengan segala kelebihannya di Indonesia, diharapkan mampu mengatasi tiga permasalahan sekaligus yaitu dapat mengatasi limbah makanan, mampu menghasilkan produk berupa kompos, dan dapat menghasilkan energi berupa biogas. Dengan demikian hal tersebut membantu mengurangi permasalahan sampah dan lebih efisien dalam pengolahan limbah makanan.
Referensi :
Benito, T., Yuli, A. Zamzam, B., & Sudiarto, B. (2012). Identifikasi Bakteri yang Dominan Berperan pada Proses Pengomposan Filtrate Pengolahan Pupuk Cair Feses Domba (Identification of Dominant Bacteria in The Composting of Filtrate of Liquid Fertilizer Making Process of Sheep Feces). Jurnal Ilmu Ternak, 12(1): 7-10