Mentari menyemburat di ufuk timur. Aku bergegas menuntaskan sarapan pagi berupa sepiring nasi dan sup ayam hangat berikut segelas susu buatan istriku. Aku kemudian memanaskan motor untuk beberapa saat, mengenakan jaket, balaclava, dan terakhir helm kesayanganku. O ya, aku memiliki satu ritual lagi saat pagi hari seperti itu: mengaitkan kantung plastik berisi sampah di stang sebelah kiri motorku.
Aku berangkat menyisir kompleks Perumahan Pinang Griya Permai, Ciledug, Tangerang. Rumahku terletak di deretan depan kompleks sehingga tidak terlalu jauh untuk lekas sampai di pintu gerbang masuk kompleks. Aku menikmati pemandangan pagi: membunyikan klakson saat berpapasan dengan Mas Heri, sang penjual bubur ayam, yang tengah mendorong gerobak, menganggukkan kepala kepada Mpok Rahma, si penjual nasi uduk di ujung jalan depan rumah, atau melambaikan tangan kepada Ibu Is atau Uda, tetangga sebelah rumah. Tentunya kuiringi dengan tatap mata yang teduh atau sebuah senyuman kecil kepada para manusia-manusia hebat itu. Meminjam ungkapan ala Kemenko Maritim: teriring Gerakan Budaya Bersih dan Senyum.
Aku akhirnya sampai di gerbang masuk kompleks perumahan. Gerbang kompleks ini berhadapan langsung dengan Jalan Raya Ciledug, Tangerang, Banten. Saat aku akan membelokkan sepeda motorku, aku biasanya sudah meyakini jika nanti tidak jauh di sisi sebelah kiriku akan ada sebuah gerobak sampah kecil. Dan memang benar adanya. Kali ini lengkap dengan truk sampah Dinas Kebersihan Kota Tangerang. Gerobak sampah kecil ini memang biasa digunakan untuk memungut sampah di dalam kompleks perumahan sebelum kemudian dipindahkan ke dalam truk besar dari Dinas Kebersihan.
Jika gerobak kecil itu sedang tidak kelihatan. Atau truk besar pengangkut sampah itu tidak kutemukan. Biasanya aku akan membuangnya di dekat tempat kerja istriku di salah satu kompleks di kawasan perumahan Graha Raya. Di tempat itu, model tempat pembuangan sampah sudah dikelola secara lebih maju. Di beberapa sudut terlihat tulisan sampah organik dan nonorganik. Aku ingin selalu memastikan bahwa meskipun aku menenteng-nenteng sampah, aku harus selalu menuju tempat pembuangan akhir. Dan bukan malah membuangnya di tempat-tempat pembuangan sampah dadakan: yang selain membuat jalan menjadi kotor, aromanya yang menyengat membuat para pengguna jalan juga menjadi gerah.
“Pak Jamhur.” “Bu Rohmah.” Sapaan-sapaan itu masih berlanjut selepas aku memarkirkan sepeda motorku di area parkir sekolah. Kadang aku salut dengan para Bapak dan Ibu itu, yang sudah datang pagi buta ke sekolah untuk melakukan pekerjaan mereka: memantau kondisi, menyapu lantai, mengelap meja, membuatkan minuman, atau membawa tong-tong sampah ke tempat pembuangan akhir. Satu yang aku tahu, saat aku datang, sekolah sudah bersih.
Seperti keseharianku di sekolah. Aku membiasakan mengajar di perpustakaan sekolah. Selain suasana yang tenang, di tempat ini tersedia ratusan koleksi baik media berbentuk cetak maupun digital. Itu berarti membantuku dalam mengajar dan juga mempermudah murid-muridku dalam mendapatkan sumber informasi.
Dan biasanya persis saat akhir pekan, aku mengunjungi perpustakaan level SMA. Tujuanku hanya satu: menanyakan koran “bekas”. Perpustakaan di sekolahku memang berlangganan koran setiap hari. Kata “bekas” sengaja aku beri tanda petik karena menurutku “bekas” bagi seseorang namun bisa jadi adalah barang “baru” buat orang lainnya. Aku menyapa sang pengelola perpustakaan, Pak Heri.
“Ada yang bisa aku gunakankah?”
“O ya cek saja di ruangan, kalau yang hari ini jangan ya?”
“Oke.”
Meski usiaku sudah mendekati kepala empat. Namun mendengar dan merasakan bahwa sebentar lagi aku akan mengoleksi koran-koran “bekas” itu menjadikanku merasa seperti kembali ke masa kecil. Koran-koran itu menjadi semacam hadiah-hadiah kecil yang mampu memberi ruang-ruang pencerahan bagi pikiran dan hidupku. Entah seperti apa cara kebanyakan orang menyikapi koran “bekas” itu. Namun aku seolah selalu mengerti bagaimana memanfaatkan potensi koran “bekas” itu menjadi beberapa hal yang berdaya guna.