Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Borneo

2 Maret 2022   04:10 Diperbarui: 2 Maret 2022   04:15 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari sinarnya mulai menyengat. Sepulang dari pasar, Mbah Trimah merapikan tebaran biji cengkeh. Ia mengangkat sebuah tampah dan menyandarkannya di bagian depan tubuhnya. Jemari tangannya yang mulai menua, penuh oleh guratan otot berwarna biru kehitaman menyusuri butir demi butir cengkeh di atas tampah. Meratakannya berulang-ulang. Ke kiri dan ke kanan.

        Mbah Trimah menjadi teringat masa-masa kecil sang cucu, Asih. Asih adalah cucu satu-satunya dari kedua buah hati yang dibesarkannya. Anaknya yang pertama, Sukri, sekarang sudah bekerja di Kalimantan. Sukri diajak oleh Pak De Tumiran merantau ke seberang. Waktu Pak De pulang Lebaran, ia cerita ke Sukri tentang keberhasilannya di Kalimantan.

        “Kri, kamu kan sudah lulus SMEA, belum dapet kerjaan to? Ikut Pak De saja gimana?”

        “Belum Pak De.”

        “Pak De sudah 20 tahun di Kalimantan. Pak De awalnya ikut rombongan tenaga kerja dari Kecamatan yang akan diberangkatkan ke Kalimantan. Pak De sangune waktu itu cuma 10.000, sama pakaian melekat di badan.”

        “Terus Pak De?”

        “Hari pertama di sana Pak De tinggal sama rombongan di rumah bedeng. Ukuran 3 x 5 meter. Ndak ada jendela karena dindingnya terbuat dari tripleks semua. Sementara bagian atasnya seng. Sudah di luar panas, kalau pas Pak De lagi giliran ndak kerja, di dalam rasanya sudah seperti di neraka.”

        “Neraka?”

        “Upomo itu Le. Di pinggir hutan Le. Kalau Pak De mau minum ya harus cari sungai buat ambil air terus dimasak. Kalau ndak ada minyak ya kadang Pak De minum air mentah. Pak De hidupnya rekoso. Apalagi makan. Sudah ndak tentu Le. Pagi-pagi buta Pak De harus ikut konvoi truk ke hutan kelapa sawit. Sesampai di hutan, Pak De harus menyiangi rumput-rumput liar, memangkas pelepah-pelepah tua, dan mengambil nira. Kalau ndak hati-hati Pak De pernah hampir dipatuk kobra. Untung Pak Lek Marno sigap menghalau ularnya. Panjangnya satu meter ada bercak kuning dan hitamnya. Nanti kalau sudah dapat niranya, sore Pak De baru pulang lagi ke rumah bedeng. ”

        “Makannya kapan Pak De?”

        “O iya, ya sepulang dari hutan Le. Pak De ndak pernah sarapan. Kadang kalo lagi ada rezeki, sopir truknya kadang ngasih Pak De telo pendem. Tapi yo ndak tiap hari. Pelan-pelan Pak De belajar nabung. Waktu ke Kalimantan kan Pak De sudah kawin sama Bu De Marni. Karena kerja Pak De tekun, Pak De dikasih tanah buat digarap sama yang punya hutan.”

        “Kebun atau hutan Pak De?”

        “Hutan, Le. Bosnya Pak De orang kaya. Dia punya hutan, bukan punya kebun seperti yang Simbahmu punya yang di Tegalgede. Hutannya di Kalimantan hitungannya sudah bukan lagi hektar, tapi pulau. Itu belum yang di Sumatera, Le.”

        “Pak De dikasih hutannya?”

        “Pak De dikasih kebunnya. Tapi itu Pak De garap tenanan. Pak De kini sudah nambah luas kebunnya. Punya rumah sendiri dan alhamdulillah punya kendaraan rodo papat. Di sana tanah masih luas sementara penduduknya sedikit. Ndak kaya di kampung sini, Le. Bu De juga terus tak ajak pindah Kalimantan sama saudaramu si Sugeng. ”

        “Wah, makmur nggih Pak De?”

        “Alhamdulillah, syarate tekun lan ojo lali karo sing Kuoso.”

        “Mbah ….”,

        Panggilan itu membuyarkan lamunan dan ingatan Mbah Trimah. Di usia yang sudah mendekati kepala sembilan itu, ingatan dan juga penglihatan Mbah Trimah memang masih istimewa. Ia jarang lupa dan bahkan masih mampu membaca tarian kata-kata yang dikirim Sukri melalui pos dari Kalimantan ketika Sukri berhalangan pulang untuk berlebaran. Barangkali ini adalah karomah yang diberikan oleh sang Kuasa.

        Mbah, Sukri sehat, kabar Mbah bagaimana? Lebaran ini Sukri belum bisa pulang ya Mbah. Ini Sukri kirim uang buat Mbah beli inang sama baju Lebaran. Sukri juga lagi nabung Mbah, mudah-mudahan nanti bisa menghajikan Mbah ke Tanah Suci. Doakan Sukri ya Mbah, agar kelak bisa menemani Mbah lagi mengambil kleyang di hutan. 

        Tiba-tiba kelopak mata Mbah Trimah mulai membasah. Sukri. Gemulai jemarinya masih terus menelusuri berulang-ulang permukaan biji cengkeh yang dijemurnya.

        “Sreek  … sreek … sreek.”

        Ia merasakan seperti sedang membelai-belai kepala Sukri. Sukri kecil memang lebih suka mengikuti ke mana pun Mbah Trimah pergi. Sepulang sekolah, Sukri biasanya ikut Mbah Trimah pergi ke hutan memunguti kleyang. Saat Mbah Trimah sibuk memunguti daun-daun yang berguguran, Sukri biasanya akan bermain air ke sungai.

        “Mbahhh … aku dapet batu intan!”

        Sukri lalu membawa batu-batu kecil dengan bercak kekuningan mirip emas itu ke rumah. Meletakkannya di samping dipan tempat tidurnya. Dan jika ia kelelahan karena menaiki dan menuruni lekukan tanah-tanah liat di pinggiran sungai, Sukri akan lekas tertidur beralas karung beras di bawah pohon cengkeh di dekat Mbah Trimah.

      Usai mengaji di langgar dengan Pak Kyai, Sukri akan langsung tengkurap di dipan dan meminta Mbah Trimah mendongeng.

        “Mbah sekarang mau mendongeng apa?”

        “Alkisah, pada zaman dahulu hiduplah seorang wanita bersama anak laki-lakinya. Anak laki-laki ini bentuk tubuhnya agak aneh. Ia memiliki badan seperti periuk. Karena itulah ia sering dijuluki dengan sebutan Joko Kendil. ”       

        “Terus, Mbah?”

        “Meskipun seperti periuk, Ibunya sangat mencintainya ….”

        “Mbah … Simbah ….”       

        “Uhuk … e … iya, Nduk.”

        Untuk kedua kalinya panggilan itu membuyarkan lamunan Mbah Trimah. Asih keluar dari dalam rumah membawakan teh pahit dan jadah. Sementara Mbah Trimah agak terhenyak lalu tak berapa lama mencoba meletakkan tampah yang ada di hadapannya ke atas kursi kayu. Jadah dan teh pahit memang kegemaran Mbah Trimah. Ia jarang sekali makan gorengan, biskuit, kerupuk, atau roti-roti yang sering ia lihat saat di pasar. Apalagi saat menjelang Lebaran.

Matahari mulai naik. Mbah Trimah pergi ke belakang rumah. Ia menuju ke sebuah kandang yang berisi tiga ekor kambing. Dulunya, Mbah Trimah bertemu dengan salah seorang pedagang kambing di Pasar Seton. Setiap Sabtu Mbah Trimah memang selalu berjualan nasi dan lauk di pasar kambing di kampungnya.

“Mbah,” kata Pak Mitro.

“Inggih,” sahut Mbah Trimah.

“Mekaten Mbah, saya ini punya rencana buat ibadah kurban. Tapi kandang yang ada di rumah sudah ndak muat lagi Mbah,” kata Pak Mitro.

“Lajeng Dospundi?” tukas Mbah Trimah

“Kalo ndak keberatan saya mau nitip dua kambing di tempat Mbah, nanti kalo beranak dua, buat Mbah satu buat saya satu, bagaimana Mbah?” pinta Pak Mitro

Mbah Trimah sebenarnya bukan tidak ingin menolak permintaan Pak Mitro. Tapi dengan satu kambing yang sudah ada Mbah Trimah sudah kerepotan. Untuk mencari rumput untuk satu ekor kambing, Mbah Trimah harus pergi ke kebun mencari dedaunan atau rerumputan. Masih bersyukur kalau hari kemarau. Kalau hujan, Mbah Trimah tidak bisa merumput dengan jumlah yang banyak.

Rupanya, anaknya yang paling sulung, Sugeng, mau mengurus kedua kambing itu. Jadi selama ini Mbah Trimah bisa istirahat di rumah.

Satu ekor kambing itu kini tengah hamil tua. Paling tidak tujuh atau delapan hari lagi diperkirakan akan segera melahirkan.

“Geng, kalo cari rumput jangan sore-sore, yo,” pesan Mbah Trimah sambil memasukkan kotoran-kotoran kambing ke dalam kandi. Kotoran-kotoran kambing itu rencananya akan dibawanya ke hutan untuk ditaburkan di pangkal-pangkal pohon cengkih dan mahoni sebagai pupuk alami.

Mbah Trimah menggendong kandi berisi pupuk di punggungnya dan menenteng sabit di tangan kanannya. Sabit itu akan ia gunakan untuk menyisir tanaman palawija yang dua hari lagi akan ia jual lagi di pasar.

Di pasar, hasil bumi seperti cengkih dan palawija tergolong dihargai tinggi. Per kilogramnya untuk cengkih bisa mencapai Rp90.000,00 hingga Rp100.000,00 bahkan jika sedang musim bagus bisa mencapai Rp140.000,00 per kilogram. Di hutan yang dikelolanya ada sekitar 60 pohon cengkih yang biasanya akan panen bersamaan sekali setahun. Bisa dibayangkan jika satu pohon cengkih saja bisa menghasilkan 40 - 60 kilogram, berapa banyak uang akan Mbah Trimah bawa pulang? Itu belum termasuk hutan di kampung lain yang juga kepunyaan Mbah Trimah.

Ah, andaikan saja Mbah Trimah tinggal di kota, bisa jadi setiap tahun akan bolak-balik dealer untuk mengambil satu demi satu Mercedes-Benz tipe E-Class. Karena tinggal di kampung, maka yang dilakukan adalah membangun rumah gedong, menyekolahkan Sukri hingga SMEA, merawat anak yatim untuk dijadikan sebagai anak angkat, atau plesiran zambil ziarah ke makam Imogiri di Bantul.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun