Melalui tulisan ini, kita akan mengambil ibrah dari persahabatan antara dua cendekiawan terkemuka Tanah Air: Soekarno dan HAMKA --- selanjutnya ditulis Buya. Eratnya persahabatan di antara keduanya, tidak menghalangi bagi seorang Buya untuk "melepaskan" diri dengan memilih prinsip hidup yang berseberangan dengan sahabatnya, Buya memilih memperjuangkan negara yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam sementara Soekarno bersikukuh mendirikan negara berdasarkan Pancasila.
Namun, lebih dari hal tersebut, sebuah ibrah mengagumkan berikutnya dari seorang Buya adalah kemampuan beliau untuk MENYATU dengan dunia penjara, MELEPASKAN kesenangan dunia luar dan juga kecintaannya akan dakwah, dan bahkan begitu keluar dari penjara beliau MENGHASILKAN sebuah karya monumental: TAFSIR HAMKA. Subhanallah!
Cerita bermula ketika Minggu, 21 Juni 1970, negeri tercinta Indonesia dirundung duka. Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) mengulang-ulang warta meninggalnya Presiden Soekarno.Â
Sosok berusia 69 tahun itu mengembuskan napasnya yang terakhir pada pukul 07.00 WIBB setelah menjalani perawatan intensif di RSPAD, Jakarta. Dalam waktu singkat berita wafatnya Presiden Soekarno itu langsung tersebar ke seluruh pelosok negeri.
Meski Buya sudah mendengar kabar meninggalnya Bung Karno sejak sore hari, tetapi beliau belum juga memiliki niat untuk berziarah ke rumah duka. Hal itu bukan disebabkan kejadian pahit yang pernah dialaminya, imbas perbedaan pandangan politik dengan tokoh nasionalis itu. Juga bukan karena Bung Karno telah menyuruh aparat kepolisian untuk menangkap dan memasukkan beliau ke dalam penjara enam tahun silam.
Beliau belum berencana karena memang banyak agenda yang harus dihadiri. Selesai memimpin salat isya berjamaah di Masjid Agung Al-Azhar, beliau langsung pulang.Â
Beliau tidak menerima konsultasi agama dari para jamaah seperti yang dilakukan di malam-malam biasanya. Hal itu disebabkan sebelum memimpin salat berjamaah ada salah seorang jamaah yang menyampaikan pesan dari Siti Raham. Istri beliau meminta agar beliau segera pulang karena ada tamu yang sedang menunggu di rumah.
Begitu sampai rumah, Buya melihat dua orang lelaki duduk di serambi rumah. Satunya berbaju militer lengkap dan satunya lagi berpakaian resmi dan berkopiah. Setelah dekat Buya baru mengetahui jika salah seorang itu adalah Drs. Kafrawi Ridwan.
"Mari silakan duduk Pak Kafrawi," kata Buya.
Drs. Kafrawi Ridwan mengangguk.
Buya menoleh ke arah lelaki gagah yang berdiri di samping Drs. Kafrawi Ridwan. "Mohon maaf ini dengan Bapak ...?" tanya Buya sambil mengulurkan tangan.