"Terbentang jurang yang dalam, antara dua dunia, yang satu mega warna merah, penuh nafsu angkara murka.. Yang satu lagi disini, di tepi danau dan kali, diantara kerumunan lalat bertahan demi kehidupan."
Syair diatas adalah sebuah penggalan lagu yang dibuat oleh anak-anak jalanan. Tak jelas siapa yang menciptakan. Pada tahun 1995 lagu ini cukup hits di kalangan kaum jalanan di Pulau Jawa. Jika anda pernah menggunakan jasa bus, angkot maupun jalan raya, tentunya lagu ini sering dinyanyikan oleh anak-anak jalanan yang berprofesi sebagai pengamen. Jelas terlihat bahwa syair lagu tersebut dibuat untuk mengemukakan ekspresi (pendapat, perasaan) kaum marginal (pinggiran) yang berada dijalanan. Begini, anak jalanan tumbuh pesat sewaktu Indonesia mengalami krisis makro, yang mengakibat seluruh sektor ekonomi nasional turun drastis. Ketika inflasi melambung tinggi tak kenal kompromi, harga bahan pokok juga ikut latah. Sehingga menimbulkan gejolak resah bagi kaum miskin. Pabrik-pabrik mulai memPHKkan buruh-buruhnya. Harga padi dan sektor lainnya dijual murah pada tengkulak dan di jual mahal ke pasar. System perekonomian menjadi carut marut, tak jelas juntrungannya. Bagi kaum miskin kota, untuk menyambung hidup harus lah berani bertarung agar dapat bertahan. Lahan ekonomi alternatif dilakukan, baik berdagang kecil-kecilan, menjadi TKI, menjadi pelayan toko, menjadi tukang parkir, bahkan menjadi pengemis (masih banyak lagi sektor ekonomi alternatif lainnya) dilakukan. Dijalanan sendiri, angka anak-anak yang beraktifitas (hidup dan bekerja) dijalanan menaik tajam. Menurut laporan DEPSOS (Departement Sosial) pada tahun 2004, sebanyak 3.308.642 anak termasuk ke dalam kategori anak terlantar. Kantong-kantong miskin dikota-kota besar menyuplai anak-anaknya menjadi bahagian dari denyut kehidupan kota. Jakarta, Surabaya, Bandung, Jogyakarta, Semarang dan Medan sepertinya lahan subur untuk dapat mengepulkan asap dapur. Ironisnya, disela gegap gempitanya media massa menelanjangi aparat birokrat kita yang terganjal kasus korupsi - sudah tentu merugikan negara berpuluh-puluh trilyun rupiah- yang sekarang santer menjadi konsumsi publik. Tetap saja kebijakan untuk perlindungan anak lebih khususnya anak-anak jalanan belum -bahkan tidak - menjadi prioritas. Bagaimana tidak, ini seperti duri dalam daging. Dicari tak kelihatan, tak dicari menusuk-nusuk menyakitkan. Ambiguitas pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini hanya sekedar menjaring lewat razia (dadakan), dikirim ke Panti Asuhan (katanya untuk pembinaan). Tetapi tetap saja tidak menyelesaikan persoalan yang semakin hari semakin kompleks saja. Baiklah kita kembali ke fokus pada tulisan ini, bahwa persoalan anak jalanan tidak hanya persoalan kekerasan fisik yang dialami, melainkan kekerasan strukural yang kerap dialami oleh kaum marginal jalanan. Lajur pembangunan yang terus terjadi mengakibatkan terjadinya keberpihakan para pemodal. Masyarakat yang memiliki pangsa modal (setidaknya menengah dan atas) maka akan dapat mengikuti lajur pembangunan tersebut. Tak heran, untuk masyarakat ekonomi lemah, maka turun kejalan untuk menciptakan ruang ekonomi alternatif akan terus menjamur. Fenomena anak jalanan menjadi diskursus yang tak pernah usai untuk dibincangkan. Ironisnya, Indonesia telah meratifikasi KHA (Konvensi Hak Anak) pada tahun 1990 dan juga telah menerbitkan sebuah peraturan (undang-undang) yang notabene melindungi anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun. Itu termaktub di UUPA (Undang-Undang Perlindungan Anak) pada tahun 2003. Lalu menerbitkan Perda (Peraturan Daerah) ataupun instrument hukum yang mengikat tentang Perlindungan Anak pada level daerah. Sekali lagi saya katakan ironis, tetap saja berbagai persoalan anak-anak di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Disana sini akan kita lihat bahwa masih banyak anak-anak yang tereksploitasi secara ekonomi, sosial dan budaya, seperti anak-anak yang bekerja di sektor buruh Industri, di sektor peternakan, disektor penangkapan ikan ditengah laut, disektor kaki lima dan banyak lagi. Belum lagi ditambah kasus-kasus anak-anak yang mendapat perlakuan kekerasan baik fisik maupun non-fisik, juga eksplotasi lainnya. Sayangnya kekerasan struktural yang telah dilakukan negara terhadap anak-anak jalanan menyebabkan terbentangnya jurang yang dalam antara 2 kelompok masyarakat. Mainstream society (masyarakat mainstream) tetap menjadikan anak-anak jalanan (masyarakat yang berada - bekerja, tinggal dan hidup - dijalanan) menjadi suatu kelompok yang keluar dari adat kebiasaannya. Kaum jalanan menjadi kelompok diluar masyarakat mainstream atau disebut sub-culture. Media perlawanan segera - bahkan telah - dibentang oleh kaum sub-culture. Melawan norma-norma yang menurut mainstream society itu baik. Bentuk perlawanannya bukan perlawanan bersenjata melainkan perlawanan ruang. Ruang disini adalah matrealisme dialektis, yaitu bentuk nyata kebebasan berekspresi, berpendapat, berpartisipasi dan mendapatkan perlakuan setara yang tidak mendiskriminasi. Perlawanan dialektis ini menjadi penyeimbang tentang anggapan bahwa kaum jalanan menyukai kekerasan padahal sebenarnya TIDAK. Simbol-simbol yang digunakan memang terkesan 'menyeramkan", secara psikologis itu akan terbentuk dengan sendirinya, sebab itu didapatkan ketika berada dijalanan. Dan Negara yang selalu menggusur/merazia dengan menggunakan kekerasan juga mengambil andil kenapa simbol-simbol "menyeramkan" itu muncul. Dan saya tidak akan mengulas lebih jauh tentang simbol-simbol perlawanan tersebut. Suatu saat akan saya tuangkan disini. Itu sebabnya kelompok-kelompok minoritas selalu tidak mendapat tempat untuk dapat mewarnai demokrasi di Negara ini. Intelektual muda yang progresif seakan tumbang di amuk pragmatisasi. Hanya sibuk mendiskusikan dan mewacanakan persoalan sosial ini, sementara jurang pemisah ini semakian dalam ternganga. (alley)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H