Tidak hanya Soeharto yang memakai teknik politisasi makna, bahkan politisi dewasa ini masih menggunakannya. Contoh yang paling solid adalah konstruksi makna yang dilakukan oleh gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Dalam pidato pertamanya sebagai gubernur, Ia yang mendapatkan PhD ilmu politik dari Norther Illinois University dan dipilih 58% warga Jakarta mengatakan bahwa inilah saatnya pribumi berkuasa.
Melihat dari kondisi DKI Jakarta pada saat itu, Anies Baswedan seakan memberikan label bahwa yang 'berkuasa' alias pemimpin Jakarta dulu adalah non-pribumi. Ia menyempitkan makna 'pribumi' yang tadinya bermakna bangsa Indonesia, menjadi 'pribumi' yang bermakna 'orang Indonesia asli' atau 'orang-orang yang tidak mempunyai darah diluar melayu a.k.a. Cina, Arab, India dan lain-lain'.
Selanjutnya, dengan memasangkan kata 'pribumi' dan kata 'berkuasa' mengartikan bahwa yang selayaknya memimpin Jakarta adalah 'pribumi' yang sudah disempitkan maknanya.
Terjadinya surplus makna bahwa non-pribumi tidak layak berkuasa, menghasilkan antagonisme diantara warga Jakarta dan bangsa Indonesia secara luasnya.
Kondisi menyedihkan ini adalah hasil dari kehausan politisi untuk berkuasa dan mendapatkan legitimasi rakyatnya.
 Yang lebih menyedihkan adalah rakyatnya yang hanya menerima saja makna yang dipolitisasi tersebut. Semakin diamnya rakyat, semakin beringas serangan politisasi makna tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H