Mohon tunggu...
Allessandra Tobing
Allessandra Tobing Mohon Tunggu... -

A student who enjoys the quietness of life yet always far from it

Selanjutnya

Tutup

Politik

Post-Truth Politics: Matinya Rasionalitas Rakyat

10 April 2017   21:13 Diperbarui: 11 April 2017   05:00 1398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awal tahun ini Indonesia digemparkan dengan dilangsungkannya Pilkada serentak. Pilkada, yang biasanya menarik sangat sedikit perhatian, membangunkan hampir seluruh masyarakat Indonesia. Demokrasi pada masa-masa ini sangat hidup dan berwarna. Terutama kontestasi politik di ibu kota yang menarik untuk diteliti.

Tahun lalu, Indonesia dihebohkan dengan maraknya berita tentang kasus penistaan agama. Membangun rasa ingin tahu, dugaan penistaan agama ini dilakukan oleh sang petahana DKI Jakarta. Pada saat itu, Ia sedang berorasi di hadapan masyarakat Kepulauan Seribu dan mengutip ayat Al Quran. Ia mengatakan masyarakat janganlah dibodohi oleh kaum yang memakai ayat suci (Al Maidah ayat 51) untuk membohongi dan menakuti mereka dalam ajang Pilkada yang akan dilangsungkan.

Selang sembilan hari kemudian, Buni Yani dibantu oleh media sosial mengupload versi hoax pidato tersebut. Melalui akun facebook-nya, Ia mengupload video berserta transkrip pidato Ahok dengan menghilangkan satu kata. Selang beberapa jam, rakyat Indonesia menonton pidato versi hoax tersebut. Agar terkesan benar dan asli, beberapa ormas keagamaan yang merasa agamanya dinistakan dan tidak memerlukan tabayyun melaporkan Ahok ke polisi. Setelah permintaan maaf yang kurang diterima baik, petahana DKI tersebut tunduk pada hukum dan mengikuti prosedur pemeriksaan dan pengadilan.

Yang menarik untuk diteliti disini adalah pemuka ormas keagamaan yang merasa agama mereka dinistakan. Menarik karena dua hal, yaitu dedikasi dan kegigihan mereka dalam menyuarakan opini mereka, serta mereka merasa tidak perlu untuk ber-tabayyun. Walaupun sidang demi sidang telah berlalu dengan pengakuan saksi-saksi yang membuat seluruh masyarakat Indonesia tertawa, mereka tetap pada pandangan mereka. Pertanyaan muncul di benak, mengapa mereka tetap pada opini mereka walaupun bukti menyatakan Ahok tak bersalah?

Saya menarik kesimpulan bahwa kasus ini berhubungan dengan merebaknya fenomena politik post-truth. Post-truth, menurut Oxford Dictionary adalah “relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief.” Diartikan dalam bahasa Indonesia, post-truth adalah saat opini masyarakat lebih mudah dibentuk melalui emosi atau perasaan mereka terhadap sesuatu dibandingkan dengan fakta-fakta objektif. Melihat banyaknya pengikut ormas keagamaan tersebut, dapat dikatakan opini mereka mempunyai kekuatan dalam membentuk opini publik.

Fenomena post-truth yang terjadi sangat berpengaruh pada masa kampanye pilkada DKI Jakarta. Seperti yang telah disebutkan, ormas keagamaan tersebut mempunyai banyak pengikut setia. Dapat disimpulkan mereka sebisa mungkin menggagalkan petahana dalam pilkada. Ormas tersebut melangsungkan demonstrasi besar-besaran untuk meyakinkan seluruh umat muslim Indonesia bahwa agama mereka telah dinistakan. Mereka merekayasa jumlah para demonstran dan menghadiri nama-nama besar wakil rakyat. Seluruh kekuatan dan pikiran mereka curahkan untuk menumpulkan kemampuan rakyat dalam berpikir secara rasional melalui keterikatan emosi.

Lain halnya dengan yang terjadi di meja hijau dimana fakta-fakta dipamerkan. Saksi demi saksi dihadirkan dengan keterangan yang tidak valid. Selain itu, rakyat yang menyaksikan langsung orasi Ahok, merasa tidak dinistakan agamanya. Lebih jauh lagi, perdebatan mengenai tafsiran Quran yang keliru dalam Bahasa Indonesia dan menurut para pakar, salah satunya Gus Ishom, yang sekali lagi mengatakan Ahok tidak bersalah.

Namun, tetap saja mereka bersikeras dan membuahkan hasil yang cukup mencengangkan. Melihat dari jumlah asli para demonstran, pengaruh mereka cukup menakjubkan. Selain para demonstran, respon berupa opini rakyat melalui media sosial juga mencerminkan pengaruh mereka. Sayangnya, hasil ini dituai bukan dari pemilih sah DKI Jakarta. Pemilih Jakarta dominan memilih pemimpin yang sudah membuahkan prestasi. Dengan hasil perhitungan suara lebih dari 40%, Ahok maju ke putaran kedua.

Melihat dari fenomena yang diuraikan diatas, kesimpulan dapat diambil. Pertama, mayoritas rakyat Indonesia mempunyai kemampuan literasi yang kurang baik. Kedua, memperburuk suasana akibat kesimpulan pertama, mayoritas rakyat masih dominan menggunakan emosi daripada rasionalitas dalam membangun opini dan pandangan mereka. Ketiga, rakyat mayoritas tidak ingin tahu dengan fakta-fakta objektif. Keempat, post-truth adalah fenomena yang real yang sedang terjadi di tanah air. Kelima, strategi post-truth sangat pamungkas mengontrol rakyat seperti yang telah disebutkan. Melihat kelima kesimpulan tersebut, sudah seharusnya rakyat Indonesia keluar dari kungkungan emosi dan ketidak ingintahuan sehingga dapat bangun. Berpikir secara jernih hanya dapat terjadi bila emosi berada dalam kekuasaan pikiran diri manusia. Sudah saatnya rakyat sadar dan berpikir secara rasional dan jernih.

Terjemahan Al Maidah ayat 51: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliyaa(mu)…”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun