[caption id="attachment_407816" align="aligncenter" width="525" caption="Presiden Joko Widodo | indopos.co.id"][/caption]
“Harga BBM Naik…”, BBM lancer jaya.
“Rupiah anjlok…, lha yang bikin anjlok siapa?
“Sembako naik…”, wajarlah, pedagang juga mau untung.
“Harga gas mahal….”, pake kayu bakar, palingan ditangkap Polisi Kehutanan.
“Kerja Kabinet Kerja amburadul…”, kalau sampeyan jadi menteri ada garansi lebih kinclong?
Akhir-akhir ini, sering terdengar para pengamat politik, pengamat ekonomi, dan segala macam pengamat termasuk saya, angkat bicara (memangnya bicara bisa diangkat?), semuanya bermuara pada satu orang, Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo (panggilan sayangnya Jokowi ~ red).
Mengapa harus Jokowi? Mengapa bukan Yusuf Kalla? Mengapa Bukan DPRI-RI?
Karena Jokowi, Presiden Republik Indonesia.
Mengapa bukan para Menteri Kabinet yang konon kabarnya didiami para ahli yang mumpuni serta sakti mandraguna?
Mengapa bukan para pengamat dan pemerhati hebat, setiap ngeceng di tipi. Kalau sudah bicara orang lain salah semua, padahal dia sendiri sudah salah?
Mengapa bukan penulis saja? Mengapa…oh mengapa….
Lagi, lagi dan lagi karena Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia.
Ibarat sedang naik kapal, Pak Jokowi adalah sang Nahkoda, orang yang bertanggung jawab pernuh terhadap keselamatan kapal berserta muatannya yang bernama “Indonesia”. Dan kebetulan, menurut sebagian penumpang kapal, kinerja nahkoda tidak memadai, membahayakan keselamatan penumpang dan barang, berpotensi tersesat karena tidak dibekali navigasi yang canggih, bahwa diduga dengan perasaan bersalah dan tidak berdosa, suatu saat nanti, kapal menabrak karang dan tak tenggelam, Heh? Ternyata kapal kandas…
Jadilah Penumpang yang baik.
Keselamatan sebuah kapal tidak hanya tergantung pada Nahkoda, semua elemen yang terdapat dalam kapal, menjadi tanggung jawab bersama, dengan tingkat tanggung jawab dan pekerjaan berbeda. Jika bertugas dibagian tukang buang air, buanglah air sampai ludes, tandas dan bila perlu tak berbekas. Jika bertugas sebagai koki, buatlah makanan murah, layak konsumsi dan sesekali berilah penumpang kapal makanan gratis. Tak perlu berteriak, hanya karena sebuah ember untuk bertugas membuang air bocor, tak perlu mematikan kompor hanya karena bahan makanan yang dimasak tidak sesuai dengan bahan yang dipesan, Jika hanya karena hal-hal seperti ini saja sudah ribut, bagaimana kapal dapat berlabuh di dermaga yang dituju?
Andai kehadiran kita hanya sebagai penumpang, jadilah penumpang yang baik, walau terkadang kita menerima perlakuan kurang menyenangkan dari anak buah kapal, jangan karena kelas VIP, ketika kapal sudah mau tenggelam yang dilakukan hanya berteriak minta tolong. Percaya atau tidak, semua orang mungkin tidak akan menghiraukan teriakan kita. Lha mereka juga sibuk menyelamatkan jiwa mereka sendiri. Saya tidak habis mengerti dan semoga tidak pernah mengerti.
Analogi diatas memang sederhana bahkan terlalu sederhana, karena saking sederhananya, semua menjadi tidak mengerti, tidak memahami, tidak perduli dan tidak diambil hati. Karena hati yang adapun sudah tak layak konsumsi, mengandung belatung benci dan lalat dengki.
Saya pilih you jadi presiden, jadilah presiden yang amanah…
Menjadi seorang Presiden tak semudah meneriakinya, tak semudah menghinanya, bahkan tak semudah memujinya. Saya mencoba merenungi kondisi yang saya alami, andai saya jadi Presiden saat ini, mungkin dalam waktu 2x24 jam dari sekarang, sudah berada diruangan ICCU dan 3x24 jam kedepan, saya sudah tersenyum karena saya “berhalangan tetap sebagai presiden”. Mengapa? Karena saya membayangkan betapa mudahnya saya mengkritik, mengejek, mempermalukan bahkan tak sungkan menghina presiden saya sendiri. Bagaimana jika posisi saya ditukar?
Memangnya kalau ente yang pilih, kemudian ente boleh meneriaki beliau semaunya? (masbro, tetangga sebelah bilang, orang yang tidak memilih, tidak boleh bicara). Ingat ya, Jokowi dipilih untuk menjadi pemimpin, yang milih juga iklas, rela dan mungkin sedikit pamrih. Sekarang mari dibalik, kalau kita mau pemimpin yang baik, maka jadilah orang yang mau dipimpin. Title-nya memilih pemimpin, begitu terpilih, eh…giliran ente yang atur-atur, trus itu pemimpin mau dijadiin patung selamat jalan?
Kalau ada yang meremehkan, menganggap Jokowi tidak mampu, wajar saja, setiap kepala punya isi dan volume yang berbeda. Silahkan memberi kritik terbaik, tapi jadi menghina. Apalagi dengan hinaan terbaik, hindarilah. Dari pada tertanam karma buruk, kita juga yang merasakannya.
Lagi…
Menghina pribadi, orang-perorang, saja sudah tidak baik, apalagi mengejek bahkan menghina kepala Negara. Bagi saya, memberikan kritikan tajam atau menerima kritikan bukan sebuah masalah, tapi ketika disertai dengan ejekan bahkan sampai pada penghinaan, satu dua kali mungkin masih ditoleransi, tapi kalau berulang-ulang, saya memilih untuk tidak melihat dia lagi.
Jadi…
Maksud tulisan ini apa?....nggak tahu juga….tadi cuma nulis gitu aja, wong para pakar menulis menyarankan, kalau mau menulis ya tulis saja. [ Selamat Makan Siang].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H