[caption caption="Ratusan mahasiswa Universitas Riau berunjuk rasa sebagai bentuk keprihatinan terhadap bencana kabut asap kebakaran lahan dan hutan, di Kota Pekanbaru, Riau, 23 Oktober 2015. Mahasiswa menuntut Presiden Jokowi bersikap tegas dalam penegakan hukum pembakaran hutan | Tempo.co/ANTARA/FB Anggoro"][/caption]Kebakaran hutan dan lahan telah menimbulkan bencana asap, merugikan secara fisik dan psikis. Tahun 2015, diperkirakan merupakan bencana asap paling parah yang pernah dialami Indoneisia. Dan tidak perlu mencari siapa yang salah dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, karena Negara, Kementrian dan Gubernur mengijinkan dilakukan pembakaran saat membuka lahan.
Pembukaan lahan dengan cara membakar diperbolehkan oleh negara yang dikukuhkan melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam tulisan sebelumnya telah dijelaskan, bahwa dalam pasal pasal 69 ayat (2) menyebutkan :
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
Dalam penjelasan UU Nomor 32, pasal 69 ayat (2), menjelaskan :
Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Mengacu pada Undang-undang tersebut, selama pembakaran dengan keluasan 2Ha kebawah, dinyatakan tidak melanggar undang-undang yang berlaku.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 tahun 2010, tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan, pada pasal 4 ayat (1), tertulis “Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektare per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa.”
Walaupun pembakaran tersebut harus diberitahukan kepada kepala desa dan selanjutnya kepala Desa akan memberitahukan kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota (ayat 2) dan tidak dibenarkan melakukan pada saat curah hujan dibawah normal, kemarau panjang dan iklim kering (ayat 3), sulit untuk menjamin bahwa ketentuan pada ayat 2 dan 3 dijalankan sebagaimana mestinya, karena sulitnya melakukan pengawasan dilapangan.
Jika undang-undang sudah mengijinkan membuka lahan dengan cara membakar, maka Peraturan-peraturan yang ada dibawahnya hanya sebagai bentuk implementasi dan uraian secara detail dari yang dimaksud dalam Undang-undang.
Yang dilakukan oleh Gubernur Kalimantan Tengah, melalui Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2010, tidaklah sepenuhnya salah, karena hanya bentuk akomodatif dari pelaksanaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 tahun 2010. Demikian juga yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau melalui Peraturan yang disahkan tahun 2007 dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi Riau tentang Pedoman Pengendalian Kebakaran Hutan, Lahan, dan Lingkungan Hidup. Peraturan tersebut membolehkan pembakaran lahan untuk pertanian, perkebunan, dan perladangan. Syarat pembakaran diatur melalui Pasal 3 Ayat 4 ketentuan mengenai perizinan pembakaran lahan diatur peraturan tingkat desa dan kabupaten terkait hak ulayat.
Walaupun benar secara hukum, harus dikaji dan dipertimbangkan kembali untuk dilakukan amandemen terhadap Undang-undang tersebut, karena bukan tidak mungkin peluang tersebut disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan secara nyata bahwa pembukaan lahan dengan cara membakar telah menimbulkan dampak negatif yang luar biasa.