[caption id="attachment_413612" align="aligncenter" width="520" caption="dok. pri"][/caption]
Hamparan hijau sawah di dusun kecil yang terletak di kaki pegunungan Muller-Schwaner itu, nyempil diapit bebukitan ilalang, belukar muda karamunting, sekelompok kecil hutan yang tersisa di sisi Sungai Ella Hulu. Ancana, begitu masyarakat setempat menamakannya, masuk ke dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi Kalimantan Barat.
Dengan jumlah Kepala Keluarga tak lebih dari bilangan dua jari, dulunya mereka mencari nafkah dengan berladang dalam rotasi dan area cukup terstruktur, tapi orang cerdik pandai menyebutnya peladang berpindah, perambah hutan, perusak ekologi dan lingkungan.
Masuknya perusahaan kayu swasta (PT.SBK), memberikan berkah berupa pengobatan gratis di klinik perusahaan, transportasi ke kota lebih mudah dan dibangun sawah beririgasi. Musim tanam dulunya hanya sekali setahun, sejak ada sawah musim tanam menjadi dua kali dalam setahun. Dengan hasil panen 3 sampai 3,5 ton per hektar setiap musim tanam, turut meningkatkan taraf kehidupan penduduk setempat. Bermimpi bisa menyamai hasil panen seperti di Pulau Jawa hanyalah keniscayaan, tetapi setidaknya mereka telah belajar bertani secara menetap.
[caption id="attachment_413613" align="aligncenter" width="520" caption="dok. pri"]
Gotong-royong masih menjadi bagian dari ciri masyarakat pedalaman termasuk saat mulai musim tanam dan pada saat musim panen.
Keterangan yang didapat dari salah seorang tetua, awalnya semua keperluan petani dipenuhi oleh perusahaan, kemudian setelah dianggap mampu, perusahaan hanya membantu penyuluhan dengan menempatkan petugas khusus di dusun. Selain itu pemerintah daerah juga menempatkan penyuluh dan membantu pupuk bagi penduduk setempat.
Pola tanam kemudian dikembangkan oleh perusahaan dengan mengajarkan pola tanam mina padi. Selain ditanam pagi, pada petak sawah ditaburi benih ikan mas dan ikan nila. Nilai tambah ini sangat membantu masyarakat meningkatkan pendapatan dan gizi keluarga.
[caption id="attachment_413615" align="aligncenter" width="468" caption="dok. pri"]
Selain dari sawah dengan pola tanam mina padi, penduduk juga mendapatkan tambahan pendapat dari beternak ikan. Panen ikan selain didapat dari sistem pertanian mina padi juga dari empang-empang yang taburi bibit ikan mas, mujair, nila dan jelawat ekor merah. Hasil panen selain untuk konsumsi sendiri juga dijual ke perusahaan atau ke kota kecamatan terdekat.
[caption id="attachment_413617" align="aligncenter" width="520" caption="dok. pri"]
Kebun sayur seperti kacang panjang, kangkung dan sawi, seperti halnya hasil dari empang, penjualan hasil pertanian lebih banyak ditujukan kepada karyawan perusahaan terdekat. Dari sisi pasar, masyarakat setempat telah memilikinya, tinggal melakukan variasi tanaman sehingga pasar tidak jenuh dengan jenis sayuran yang sama untuk jangka waktu terlalu lama.
Hal paling sulit dilakukan terhadap masyarakat pedalaman Kalimatan Barat adalah mengubah paradigma dari kebiasaan peladangan tradisional ke pola pertanian menetap, mereka terbiasa membuka ladang dengan sistem tebang-bakar-tanam-panen. Dengan pertanian menetap, mereka harus membiasakan diri menggunakan peralatan pertanian seperti cangkul, penggunaan pupuk secara benar, menjaga sistem pengairan secara berkala dan berkelanjutan, menciptakan nilai tambah dan menjaga kualitas hasil panen sehingga layak jual.
[caption id="attachment_413618" align="aligncenter" width="520" caption="dok. pri"]
Yang menggembirakan, saat ini mereka mulai terbiasa dengan itu semua, harapan ke depan, perladangan berpindah yang hasilnya tidak maksimal secara perlahan mulai ditinggalkan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H