[caption id="" align="aligncenter" width="569" caption="Ilustrasi | Kompas.com"][/caption] Jurnalis Suara.com, Wita Ayodya Putri, menuding Albiner Sitompul Kepal Biro Pers Istana telah mendiskriminasi dirinya saat melakukan peliputan kegiatan Presiden Jokowi di Yogyakarta, pada Senin (4/5/2015).
Bahkan Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Yogyakarta melalui Ketuanya Hendrawan Setiawan menuduh Albiner melakukan pelecehan  dan intimidasi terhadap Wita, karena Albiner dinyatakan telah menjewer telinga Wita sebanyak dua kali, memegang pinggang dan membentak. Menurut AJI sikap Albiner telah melanggar UU No 40 tahun 1999 tentang Pers pada pasal 4 ayat 1, 2 dan 3. Dalam keterangan tertulis, AJI Yogyakarta meminta Albiner meminta maaf secara tertulis kepada Wita dan media tempat dia bekerja serta meminta Presiden mengganti Kepala Biro Pers Istana dengan orang yang mengerti UU Pers.
Sementara Albiner Sitompul, membantah telah menjewer dan memegang pinggang Wita. Albiner juga menegaskan bahwa dirinya menghormati profesi wartawan dengan cara memfasilitasi wawancara dan keinginan wartawan kepada Presiden.
Bantah membantah dalam kasus seperti ini sebenarnya jamak, siapapun orangnya dalam sebuah perkara pastilah selalu membenarkan tindakannya. Siapa yang benar dan siapa yang salah sebetulnya sangat mudah untuk diketahui, tidak perlu saling adu pernyataan, pertemukan saja kedua belah pihak, bicarakan permasalahan dengan kepala dingin, pasti semuanya selesai.
Jika setiap masalah masing-masing mengemukakan ego dan merasa benar, bukan penyelesaian masalah yang didapat, tetapi malah perseteruan semakin meruncing.
Permintaan AJI Yogyakarta agar Presiden mengganti Kepala Biro Pers Istana terkesan berlebihan, janganlah merasa media memiliki kebebasan lantas bebas tak terkendali, ada pejabat salah sedikit minta presiden untuk mengganti, ada selip sedikit presiden diminta turun tangan mengatasi. Kalau begini terus, kapan kerjanya Presiden.
AJI tentu memiliki jalur dan cara diplomasi yang lebih elegan dan terhormat, apakah sulit bagi seorang ketua AJI Yogyakarta untuk melakukan komunikasi dengan Albiner Siptompul untuk membicara hal-hal semacam ini. Menurut saya, lebih terhormat jika permasalahan ini dibicarakan langsung dengan Kepala Biro Pers istana, dari pada membuat pernyataan tertulis dan disebarkan kepada media. Sebagai wanita, Wita seharusnya berani berontak jika benar pinggangnya dipegang walau dengan ancaman dicubit, Masa iya, pinggang dipegang laki-laki lain diam saja? Coba bayangkan betapa malunya Albiner jika Wita berani bersuara pada saat itu, kenapa baru bicara setelah semuanya berlalu?
Kepala Biro Pers Istana, Albiner Sitompul ,jika benar melakukan hal yang dituduhkan, wajib meminta maaf kepada Wita dan Media yang menugaskannya, Idealnya selaku kepala biro tidak melakukan tindakan dan perbuatan yang dapat memancing syak wasangka pihak tertentu, apalagi perbuatan yang tidak terpuji seperti yang dituduhkan. Dan bukan jamannya lagi mencegah media dengan cara membentak dan ancaman, pencegahan bisa dilakukan dengan cara lebih terhormat, dan tidak patut Kepala Biro Pers Istana mencegah media mewawancarai Presiden sementara presiden sendiri tidak berkeberatan.
Penyelesain terbaik masalah ini, AJI Yogyakarta bisa menjadi mediator untuk mempertemukan Wita dengan Kepala Biro Pers Istana untuk membicarakan kesalahpahaman yang terjadi, dengan cara seperti ini akan lebih bermartabat bagi keduanya.
Sumber : Kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H