[caption caption="Gadis-gadis Negeri Seberang (Malaysia) menggunakan masker pada saat melakukan aktifitas diluar rumah, karena kabut asap sudah memasuki tahap membahayakan | merantionlien.com"][/caption]Beberapa waktu belakangan ini Pemerintah Singapura mengeluhkan “banjir asap”, warga Singapura complain, turis Singapura mengeluhkan hal yang sama, exportir asap asal Indonesia dipersalahkan, tanya kenapa? Karena mereka merasa dirugikan. Bayangkan saja, baru merasa dirugikan saja sudah complain apalagi kalau dirugikan. Kalau merasa untung ada komentar? Nope. Bayangkan lagi, baru merasa diuntungkan saja tidak ada komentar apalagi kalau untung.
Saya tidak mengelak, enggan memungkiri atau tak hendak ngeles bahwa dalam kasus asap ini kita sebagai warga dan bagian dari pemerintah memang salah. Antisipasi yang lambat, reaksi pejabat yang sporadis, penangangan yang tidak terkoordinasikan dengan baik dan bermacam-macam penyebab, jika disebutkan satu-satu bisa-bisa server kompasiana error. Cukup akui, kita salah. Habis perkara. The End. Tetangga terpapar asap? Biarin saja, toh yang makan asap bukan cuma mereka, kita malah lebih parah. Baru asap kiriman saja sudah ngeluh. Cemen!
Sekarang kita balik keadaaanya, saat cuaca cerah, matahari bersinar terang, awan kebiruan, udara terasa segar dan kenikmatan alam lainnya, pernah pemerintah Singapura mengucapkan terima kasih? Pernah rakyat Singapura bilang matur tengkiu? nggak tahu kompasianer lain (kalau ada angkat tangan), kalau dengan saya sih belum pernah, sudah beberapa kali bertemu dengan warga singapura di tempat kerja saat udara sedang baik. Mereka nggak ngomong apa-apa tentang udara, yang diomongkan malah bagaimana cara memproduksi kayu bulat sebanyak-banyaknya secara efisien dan menguntungkan. Nah lo.
Apa mereka mau mengakui jika segarnya udara disebagian besar kehidupan mereka berasal dari hutan kita? Apa meraka mau bayar karbon yang dihasilkan hutan kita dalam skema REDD? Pemikiran sederhananya jika mau mengeluh ketika dirugikan harusnya mau juga berbagi keuntungan. Mau bagaimana, coba?, kehidupan tradisional kita, saat mengolah ladang ya dibakar. Mau mengubahnya? Bagaimana caranya jika modal tidak ada. Kan sederhana, bantulah mereka cara mengolah ladang tanpa membakar. Sesederhana itu.
Mari kita telaah sedikit mengenai perkebunan sawit. Pertanyaan pertama, siapa eksportir sawit terbesar didunia? Indonesia dan Malaysia. Siapa penguasa asing terbesar perkebunan sawit di Kalimantan? Googling saja sendiri, pasti tahu. Jika banyak perkebunan sawit saat membuka lahan dengan membakar, pernahkah pemerintah Malaysia memberikan hukuman atau minimal menghibau para pengusahanya agar tidak membakar lahan karena pada ujungnya akan berdampak juga pada masyarakat mereka? Selama ini saya malah belum pernah mendengar. Yang mencuat kepermukaan justru para manager perkebunan mereka memerintahkan membunuh orang utan karena mengganggu satu dua batang sawit yang mereka tanam. Dasar Biadab!
Jadi, mereka silahkan saja protes jika benar telah berkontribusi secara nyata dalam upaya penyelamantan hutan Kalimantan dan Sumatera, jika masih terbatas MoU, mereka belum melakukan apa-apa. Sepanjang mereka tidak memberikan kontribusi, ya sudah cuek saja. Jangan karena mereka protes keberatan, rakyat sendiri ditekan, dipersalahkan tapi kejahatan lingkungan yang dilakuka oleh perkebunan dan pelaku usaha kehutanan dalam skala korporasi justru didiamkan saja. Masyarakat pedalaman yang dikatakan sebagai manusia primitive dan terkebelakang juga bagian dari rakyat negeri ini, mereka juga butuh sandang dan pangan. Selama pengetahuan mereka hanya bisa membakar ladang untuk mendapatkan makanan buat keluarga, selama itu pula mereka akan melakukannya.
Janganlah kami yang hanya sekedar menghidupi keluarga dijadikan kambing hitam, karena kami bukan kambing. Kalaupun kami tidak berfikir kesehatan lingkungan, kami orang primitive dan terkebelakang, belumlah sampai cara kami berfikir, lagi pula, sejak nenek moyang kami belum menggunakan celana, kami sudah berladang dan setiap musim menjelang kering kami membakar ladang, tidaklah banyak asap seperti sekarang. Kami memang bodoh tapi kami tak rela dibodoh-bodohi. Semoga, sesembahan kami yang menguasai jagat semestara mengampuni orang-orang yang telah menganggap kami sebagai pengganggu dan perusak kehidupan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H