Mohon tunggu...
Aldy M. Aripin
Aldy M. Aripin Mohon Tunggu... Administrasi - Pengembara

Suami dari seorang istri, ayah dari dua orang anak dan eyang dari tiga orang putu. Blog Pribadi : www.personfield.web.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jakarta oh Jakarta…

1 April 2015   01:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:42 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14278264781655515934

[caption id="attachment_406950" align="aligncenter" width="448" caption="Tugu Monumen Nasional | gambardanfoto.com"][/caption]

Wakil DPRD Jakarta Muhammad Taufik mengatakan bahwa peserta demo dibayar sah-sah saja.  Bukan rahasia lagi jika demo-demo yang terjadi selama ini tak lepas dari uang, tapi justifikasi bahwa demo dibayar adalah sah hanya Bung Taufik yang melakukannya. (kompas.com)

Sekarang saya dan teman-teman udik saya, mengerti, mengapa orang Jakarta paling doyan demonstrasi, ada masalah seuprit saja sudah demo.  Orang kampong seperti kami, tidak pernah berfikir jika demo menuntut hak, menuntut kesetaraan, menuntut perlakuan adil ternyata dibayar, ternyata digaji.  Dalam benak kampong saya, demo dilakukan dengan iklas, dengan kelapangan dada, karena demo memperjuangkan hak-hak pribadi yang diabaikan oleh pihak penguasa atau pihak lain yang lebih berkuasa.

Tak pernah terbayangkan, jika demo dengan cara menghujat, menghina, orasi berisi kalimat sara dan menyerang pribadi ternyata dibayar bahkan hanya Rp. 50.000,00 perhari.   Kok bisa? Jika begini kebenarannya saya sungguh bersyukur terlahir sebagai anak udik, biarlah orang-orang mengatakan kami primitive, terkebelakang, berpendidikan rendah, bahkan orang eropa menjuluki kami kaum “head hunter”, tapi kalau hanya dibayar Rp. 50.000,00 untuk berdemostrasi dibawah terik matahari, dikelilingi polusi udara yang tidak terkendali sambil menghina pihak lain yang ternyata melakukan kebenaran untuk memperbaiki nasib yang berdemo, maaf saja, kami tak sudi.

Ini sama saja dengan penghinaan terkoordinasi, menafikan derajat sebagai manusia dan disyahkan oleh wakilnya wakil rakyat.  Orang Jakarta mungkin lupa, sebagai ibu kota Negara, Jakarta beserta penghuninya masih menjadi contoh orang-orang udik seperti saya dan teman-teman udik lainnya.  Kami sering ternganga dengan status metropolis Jakarta bahkan sering menghayal ingin berkunjung ke Jakarta.  Betapa bangganya kami jika pernah bertemu dengan orang Jakarta, ada rasa gimana gitu.  Betapa bangganya kami telah mengunjungi ibukota Negara.

Tapi sayang sejuta sayang, Jakarta ternyata sangat tak pantas dijadikan contoh.  Bahkan kondisinya terbalik, jika seperti ini sebaiknya orang Jakarta mencontoh ke manusia udik, bagaimana caranya mencari nafkah yang baik, menjadi penimpin dilingkungan adat yang terhormat, jaub dari politik uang apalagi bermandikan uang korupsi.

Statmen bung Taufik membangunkan kami dari hayalan indah tentang Jakarta, secara tidak langsung telah membuka tabir selubung, mengapa Orang Jakarta tidak pernah bosan berdemo, dia telah menelanjangi dirinya sendiri dan ternyata ada borok dan kurap yang tidak mungkin lagi disembuhkan.  Terkecuali sang induk semang dimusnahkan.

Selanjutnya gimana dong? Wes sak karape dhewe wae… orang Pontianak bilang “suke-suke dielah wak, kote, kote die, barang die yang punye, ente bise ape?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun