[caption id="" align="aligncenter" width="780" caption="Ketua KPK non aktif, Abraham Samad mendatangi Polda Sulselbar untuk diperiksa dalam kasus pemalsuan dokumen | kompas.com"][/caption]
Pada Selasa (28/4/2015) malam, Abraham Samad (AS), ketua KPK non aktif, akhirnya resmi ditahan oleh Polda Sulselbar terkait pemalsuan dokumen, Alasan penahana AS, seperti yang disampaikan oleh Dir Reskrimum Polda Sulselbar Komisari Besar Polisi Joko Hartanto, karena dikhawatirkan AS melarikan diri dan mengulangi perbuatannya. (Kompas.com)
Mungkinkah karir cemerlang Abraham Samad berakhir di penjara?
Menarik untuk disimak, bahwa perlakuan polisi terhadap seorang ketua KPK non aktif seperti memperlakukan seorang kriminal kelas kakap padahal tuduhanya hanya memalsukan dokumen. Pernyataan Dir Reskrim Polda Sulselbar terhadap kekhawatiran Abraham Samad akan melarikan dan mengulangi perbuatanya seakan-akan menunjukan betapa rendahnya profesionalisme Polisi. Terlalu naif bagi seorang Ketua KPK non aktif melarikan diri hanya kerena urusan pemalsuan dokumen, apalagi mau memalsukan lagi sebuah dokumen, sepertinya hal yang tidak mungkin.
Polisi Sumselbar dalam kasus Abraham Samad, justru menampar muka sendiri tanpa mereka menyadarinya, melakukan penahanan karena takut melarikan diri dan mengulangi perbuatan, sebuah alasan yang kurang rasional. Abraham Samad justru datang sendiri ke Polda Sulselbar, memenuhi panggilan pemeriksaan, bukan dijemput paksa. Melakukan penahanan memang hak penyidik jika terdakwa diindikasikan kuat kemungkinan bakal melarikan diri, jika tidak maka penahanan tidak diperlukan.
Masih diperlukan proses yang cukup panjang untuk memastikan apakah Abaraham Samad akan memasuki jeruji besi atau tidak, persidangan belum dimulai dan berkas baru akan diserahkan oleh kepolisian seminggu yang akan datang dan seminggu bahkan bisa lebih, Abraham Samad untuk sementara menikmati jeruji besi milik polisi. Apakah ini pelajaran sekaligus peringatan dari polisi agar tidak “bermain-main” dengan para petinggi polisi? hanya Tuhan dan Polisi-lah yang tahu.
Belajar dari kasus AS, sebetulnya kasus yang umum terjadi, merupakan hal yang jamak bagi keluarga di Indonesia menolong keluarga, kerabat atau teman untuk mendapatkan KTP, SIM atau Passport dengan meminjam atau menumpang Kartu Keluarga milik keluarga. Carut marutnya sistem administrasi kependudukan, menjadi biang ini semua dan sial bagi seorang Abraham Samad, pertolongan yang diberikan kepada Feriyani Lim dibalas dengan tuba dan dimanfaatkan dengan cerdik (licik) oleh Chairil Chaidar Said dengan melaporkannya ke Bareskrim Mabes Polri pada 29 Januari 2015.
Andai Abraham Samad bukan ketua KPK dan tidak bermasalah dengan Polri, kasus seperti ini tidak akan diungkap dan akan menjadi seperti pertolongan yang pernah dilakukan oleh warga negara lainnya. Sebagai warga negara saya merasa Polisi membuat saya semakin takut, alih-alih memberikan rasa aman dan perlindungan yang terjadi justru kriminalisasi. Dan saya merasa tidak perlu lagi memberikan pertolongan, karena khawatir orang yang saya bantu justru sifatnya sama seperti Feriyani Lim, ditolong malah mentung.
Belum lagi jika ternyata ada teman atau kenalan yang tidak senang, lantas memanfaatkan peluang seperti Chairil Chaidar Said, maka dinginnya hotel prodeo menjadi bayangan menakutkan. Mungkin saya terlalu skeptis terhadap polisi, bisa jadi saya terlalu khawatir adanya mahluk seperti Feriyani Lim, tak menutup kemungkin saya apriori terhadap teman-teman saya sendiri, tapi dalam kondisi seperti ini waspada ditambah sedikit curiga mungkin pilihan terbaik. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H