Wacana pemberian paspor hitam (paspor diplomatik) untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah dikemukakan oleh Ketua DPR Setya Novanto pada pidato sidang paripurna pembuka masa sidang ketiga di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada Senin (23/3/2015), dengan alasan bahwa penerbitan paspor hitam tersebut guna memfasilitasi tugas dan misi diplomatik para anggota DPR (detiknews.com/10/2/2016).
Baru-baru ini, wacana paspor hitam kembali mencuat ke permukaan, dan seperti koor, beramai-ramailah anggota DPR memberikan dukungan dengan berbagai alasan dan pendapat sesuai dengan kapasitas ilmu dan jabatannya masing-masing.
Wakil Ketua Komisi I, Tantowi Yahya, dalam keterangan tertulisnya kepada news.detik.net mengatakan, bahwa penerbitan paspor hitam bagi anggota dewan bersifat mendesak dan menganggap bahwa permintaan tersebut tidak berlebihan karena sudah banyak negara yang memberlakukannya, tanpa menyebutkan nama negara yang dimaksud.
Dalam rapat tertutup bersama antara Komisi I DPR RI dengan Menteri Luas Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi tanggal 9 Februari 2016, anggota Komisi I kembali mendesak Menlu Retno segera mengeluarkan paspor hitam, karena menurut Dave Laksono (Anggota Komisi I DPR RI), pemberian paspor hitam merupakan amanat UU MD3.
Permintaan Paspor Hitam oleh anggota DPR telah menuai kritik dari Guru Besar Hukum Internasional Hikmahanto Jumawa, seperti dikutip oleh detik.com, Hikmahanto khawatir, kepemilikan paspor hitam akan disalahgunakan.
Sementara itu, Istana Neraga melalui Menteri Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, menegaskan pemberian paspor hitam hanya diberikan kepada pribadi atau orang yang bertindak sebagai diplomat sebagaimana yang jelaskannya di Istana Negara (11/2/2016).
Melihat kondisi ini, agak mengherankan jika para anggota DPR setengah memaksa untuk mendapatkan paspor hitam yang memang dibuat secara khusus untuk diplomat. Tapi kalau kita kaji lebih jauh tentang orang-orang yang meminta paspor hitam itu, spontan kita akan merutuk dalam hati.
Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhomat itu tidak memerlukan paspor hitam, cukupi saja dengan paspor hijau dan paspor biru, karena mereka tidak membutuhkannya secara terus-menerus. Kekebalan politik yang mereka dapatkan dari memegang paspor hitam bisa jadi disalahgunakan sebagaimana disinyalir oleh Hikmahanto. Karena sudah sangat maklum dengan perangai serta tingkah laku para politikus Senayan.
Dan diharapkan kepada para anggota DPR agar sedikit mengurangi hawa nafsu kepemilikan paspor hitam, karena paspor itu bukan dibuat sebagai fasilitas para nggota DPR, tapi khusus untuk diplomat. Dengan minimnya kuantitas, kualitas kerja dan moral sebagai anggota DPR, seharusnya mereka malu meminta berbagai fasilitas dan kemewahan yang berlebihan agar tidak menimbulkan cemooh dari berbagai kalangan.
Sebagai anggota DPR, jika mereka bekerja dengan benar dan betul-betul peduli terhadap konstituen khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya, rakyat dengan sendirinya akan membela mereka jika ada yang mencoba mengusik ketenangan mereka bekerja.
Begitu juga saat mereka melakukan kunjungan ke luar negeri, selama mereka mematuhi hukum yang berlaku di negara yang dkunjungi, tidak ada alasan bagi mereka untuk takut dan khawatir petugas keamanan setempat akan menciduk mereka, lain ceritanya jika mereka datang dalam konidisi berkasus di negara yang dikunjungi.