[caption caption="Sungai Kapuas yang melintas kota Sintang terlihat kering kerontang dan kabut asap menyelimuti, gambar diambil Rabu (14/10/2015), Jam 17:15 WIB | Dok. Pribadi"][/caption] Jawaban surat dari mas S. Aji, Surat Buat Bang Aldy Aripin: Kami Masih Dikepung Asap
Assalamualaikum,
Mas Aji, mohon maaf jika lima hari terakhir saya tak meninggalkan jejak pertualangan di Kompasiana, Bukan ingin menghindar dari kenyataan dan ketidaknyamanan karena asap, tapi karena tugas dan kewajiban sebagai kepala keluarga. Sejatinya kabar saya baik-baik saja mas, seperti kabar sahabat-sahabat lain yang kenyang terpapar asap.
Saya sedang marah mas…
Marah pada diri sendiri yang tidak mampu mengusir asap dari bumi khatulistiwa, marah pada para petinggi yang pintarnya cuma wacana, marah pada pada pejabat yang tidak lagi punya harkat dan martabat. Marah pada menteri yang tahunya hanya bicara gengsi, tapi tak perduli saya hampir tak lagi bisa bernafas dan mungkin tak lama lagi mati.
Andai tak ada koruptor, mungkin pajak yang saya bayar bisa untuk membeli mesin-mesin pemadam api yang canggih, mungkin bisa membangun kanal-kanal untuk menyekat sebaran api dilahan gambut, mungkin bisa untuk membangun rumah sakit yang lebih banyak, mungkin bisa beli masker yang lebih baik kualitasnya, ach…terlalu banyak kemungkinan.
Lihatlah mas…
Kemarau masih doyan ongkang-ongkang kaki, sungai mengering kerontang, pasir disungai mendidih terpanggang matahari, air sungai keruh karena penambangan emas tanpa ijin dan asap, masih seperti kemarin, masih bergembira ria menyelimuti saya sepanjang pagi, siang dan senja bahkan dimalam buta.
Sungai Melawi, sungai Pinoh tak lagi bisa dilalui, bahkan sekarang dijadikan lapangan bola, karena pasir sungai sudah memenuhi lebih dari 90 persen permukaan sungai. Sementara jalan darat belum sepenuhnya bisa diandalkan, lubang-lubang jebakan masih menunggu, jembatan belum terbangun semua, entah uangnya terbang kemana, bahkan setanpun enggan mengakui menikmatinya.
Mas Aji…
Saya hanya bisa berharap dan berdo’a, karena hanya itulah sisa-sisa upaya yang bisa saya lakukan, tak ingin saya menyerah dengan keadaan, tapi saya dipaksa dan diperkosa oleh biang-biang pembacot dan pemamah amanat rakyat Mas. Mereka lebih ganas dari gergaji, lebih rakus dari tikus dan lebih mengerikan dari liang lahat. Tapi, apalah daya mas, saya hanya berusaha sebelum benar-benar kalah.
Ditengah porak-porandanya hati dan kepercayaan, saya baik dari yang terburuk mas, masih bisa bernafas dengan tersengal, semoga tak lama lagi semuanya berakhir. Do’a mas Aji dan sahabat kompasianer, akan selalu menguatkan saya untuk menghadapi ini semua, saya berharap mas Aji dan semua sahabat yang terpapas asap keparat tabah dan kuat menghadapi cobaan dan kenyataan.
Wassalam dari saudaramu, yang bernasib tak lebih baik dari yang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H