Mohon tunggu...
Allan SyakaBuana
Allan SyakaBuana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka fotografi dan videografi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Perdata Islam di Indonesia Mengenai Pernikahan dan Perceraian

21 Maret 2023   23:07 Diperbarui: 21 Maret 2023   23:13 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Hukum perdata islam di Indonesia adalah suatu hukum atau ketentuan di dalam islam yang mengatur tentang adanya hubungan perseorangan dan kekeluargaan diantaranya dari warga Indonesia yang menganut agama islam. Dari sebagian hukum islam ini yang telah berlaku secara yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia. Contohnya seperti hukum perkawinan, kewarisan dan pengaturan masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, wasiat, hibah zakat, perwakafan ekonomi syariah aturan jual beli, pinjam meminjam, persyarikatan (kerjasama bagi hasil), pengalihan hak dan segala yang berkaitan dengan transaksi.

Menurut Prof. Subekti, S.H tentang Hukum Perdata Islam di Indonesia Hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum "privat materiel", yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H tentang Hukum Perdata Islam di Indonesa Hukum perdata adalah hukum antar-perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat.

Menurut Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn tentang Hukum Perdata Islam di Indonesia Hukum Perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang objeknya ialah kepentingan-kepentingan khusus dan yang soal akan dipertahankannya atau tidak, diserahkan kepada yang berkepentingan.    

PRINSIP PERKAWINAN UU 1 TAHUN 1974 DAN KHI

Pada Undang-Undang 1 tahun 1975 bahwa suatu perkawinan   atau   pernikahan   dapat dikatakan "sah" apabila dilaksanakan menurut berbagai cara yang ada seperti menurut hukum adat, menurut hukum agama, dan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga   suatu   perkawinan   atau   pernikahan tersebut diakui dan "sah". Prinsip dalam UU 1 tahun 1974 sebagai berikut:

  • Syarat perkawinan
  • Menurut UU 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 6:
  • Perkawinan harus ada persetujuan oleh kedua mempelai
  • Jika belum berumur 21 tahun maka harus mendapat izin dari orang tua
  • Jika kedua orang tua meninggal maka izin bisa meminta kepada saudara lebih tua/orang tua yang mampu memberikan izin
  • Jika orang tua tidak mampu memberikan izin maka bisa meminta kepada wali lain atau saudara tertua yang masih memiliki garis keturunan
  • Pencatatan perkawinan
  • Dalam UU No.1Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini adalah satu-satunya ayat    yang    mengatur     tentang     pencatatan perkawinan.  Dalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali yang dimuat di dalam   PP   No.   9 Tahun 1975 yaitu:
  • Tidak   ada   perkawinan   di   luar hukum agama.
  • Hukum agama termasuk ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah undang-undang yang mengatur kehidupan beragama dan kehidupan sosial masyarakat Muslim di Indonesia. Di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), adapun prinsip perkawinan diatur dalam Bab IV, Pasal 26-34. Berikut adalah penjelasan prinsip-prinsip perkawinan dalam KHI:

  • Persetujuan para pihak: Pasangan yang akan menikah harus memberikan persetujuan secara sukarela dan tanpa paksaan. Kehendak dan kesepakatan kedua belah pihak harus dijaga dalam proses pernikahan.
  • Wali nikah: Calon pengantin wanita harus memiliki seorang wali nikah yang sah dan bertanggung jawab untuk melindungi kepentingan calon pengantin wanita. Wali nikah haruslah memiliki hubungan keluarga yang sah dan juga merupakan seorang Muslim.
  • Mahar: Mahar adalah hak yang dimiliki oleh calon pengantin wanita yang diberikan oleh calon pengantin pria sebagai bentuk tanggung jawab dan penghargaan kepada calon pengantin wanita. Besar mahar bisa ditentukan oleh kedua belah pihak, namun tidak boleh berupa barang haram.
  • Syarat-syarat pernikahan: KHI juga mengatur syarat-syarat pernikahan yang harus dipenuhi, seperti usia minimal calon pengantin, status kewarganegaraan, dan agama. Calon pengantin pria harus beragama Islam dan tidak sedang dalam ikatan perkawinan dengan wanita lain.
  • Ijab kabuL: Pernikahan harus dilakukan dengan ungkapan ijab kabul, yaitu pernyataan dari kedua belah pihak bahwa mereka telah sepakat untuk menikah dan menerima segala hak dan kewajiban dalam perkawinan.
  • Saksi-saksi: Perkawinan harus disaksikan oleh minimal dua orang saksi yang dewasa, Muslim, dan merdeka.
  • Akad nikah: Perkawinan harus dilakukan melalui akad nikah yang sah dan dihadiri oleh pihak yang berwenang, seperti pejabat kantor Urusan Agama (KUA).
  • Dalam kompilasi hukum Islam, prinsip-prinsip di atas sudah diatur untuk menjamin kepastian dan keamanan dalam pernikahan sesuai dengan ajaran agama Islam dan norma-norma masyarakat.

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN DAN DAMPAKNYA

            Pencatatan dalam perkawinan sangat penting karena memiliki beberapa manfaat kemudian secara sosiologis dapat memberikan bukti hukum yang sah dan dapat diakui oleh negara untuk mengetahui status pernikahan pasangan suami dan istri di antaranya:

  • Mencegah perkawinan ganda: Dengan adanya pencatatan perkawinan, akan mudah untuk mengetahui status perkawinan seseorang. Hal ini dapat mencegah terjadinya perkawinan ganda yang dapat merusak hubungan keluarga dan sosial.
  • Perlindungan hukum bagi pasangan: Pencatatan perkawinan juga memberikan perlindungan hukum bagi pasangan, seperti hak atas harta bersama, hak asuh anak, dan hak waris.
  • Meningkatkan kesadaran hukum: Dengan adanya pencatatan perkawinan, masyarakat akan lebih sadar akan hak dan kewajiban hukum mereka dalam perkawinan. Hal ini dapat meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
  • Meningkatkan keamanan sosial: Dengan pencatatan perkawinan, dapat memperkuat tali persaudaraan dan hubungan sosial antar keluarga dan masyarakat.
  • Memudahkan pengurusan administrasi: Pencatatan perkawinan memudahkan pengurusan administrasi seperti penerbitan akta kelahiran anak, pembuatan surat keterangan domisili, dan pembuatan paspor.

Secara keseluruhan, pencatatan dalam perkawinan ini memiliki manfaat penting bagi keamanan, perlindungan hukum, dan kesadaran hukum masyarakat, serta memudahkan pengurusan administrasi dalam kehidupan keluarga dan sosial.

            Secara yuridis berdampak dengan adanya hal-hal yang mempengaruhi yaitu:

  • Tidak dapat perlindungan hukum: Pasangan yang tidak mencatatkan pernikahan secara yuridis mendapatkan perlindungan hukum yang seharusnya itu dapat diberikan kepada mereka
  • Tidak memperoleh dokumen resmi: Pasangan yang tidak dapat atau memperoleh dokumen resmi seperti akta nikah, karena dokumen ini dapat untuk mengajukan pelayanan publik ataupun kredit bank.
  • Tidak dapat mengajukan gugatan: Jika ada masalah dalam rumah tangga pasangan yang tidak mencatat pernikahan tidak dapat mengajukan gugatan.                                                                                                                                                                                                                        Secara religius adapula beberapa hal yang memepengaruhi yaitu:
  • Kepastian agama
  • Dalam pencatatan ini memastikan bahwa kedua belah pihak menganut agama yang dianut sekarang
  • Meningkatkan kualitas hubungan suami istri
  • Dalam pencatatan ini dapat dilihat karena adanya hubungan suami istri
  • Meningkatkan tanggung jawab sosial
  • Dalam pencatatan ini dapat dipahami karena perkawinan secara religius ini dapat meningkatkan tanggung jawab sosial

PENDAPAT ULAMA DAN KHI PERKAWINAN WANITA HAMIL

            Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai pernikahan wanita hamil. Namun, mayoritas ulama menyatakan bahwa pernikahan wanita hamil adalah sah dan tidak dilarang dalam agama Islam. Berikut adalah beberapa pendapat para ulama mengenai pernikahan wanita hamil:

  • Imam Syafi'i

Imam Syafi'i berpendapat bahwa pernikahan wanita hamil adalah sah dan tidak dilarang dalam agama Islam. Menurutnya, kehamilan seorang wanita bukan menjadi alasan untuk mencegah atau melarang pernikahan.

  • Imam Ahmad bin Hanbal

Imam Ahmad bin Hanbal juga berpendapat bahwa pernikahan wanita hamil adalah sah dan tidak dilarang dalam agama Islam. Menurutnya, kehamilan tidak mempengaruhi kesahihan pernikahan.

  • Imam Malik

Imam Malik berpendapat bahwa pernikahan wanita hamil adalah sah dan tidak dilarang dalam agama Islam. Menurutnya, kehamilan tidak mempengaruhi kesahihan pernikahan dan tidak menimbulkan keraguan.

  • Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pernikahan wanita hamil adalah sah dan tidak dilarang dalam agama Islam. Menurutnya, kehamilan tidak mempengaruhi kesahihan pernikahan dan tidak menimbulkan keraguan.

Tetapi beberapa ulama mengeluarkan pandangan bahwa pernikahan wanita hamil dapat menimbulkan keraguan dan harus dihindari, terutama jika kehamilan tersebut berasal dari hubungan di luar nikah atau melanggar norma-norma sosial dan agama. Oleh karena itu, sebaiknya calon suami dan keluarga wanita hamil mempertimbangkan dengan baik sebelum memutuskan untuk menikah. Namun, secara umum, mayoritas ulama menyatakan bahwa pernikahan wanita hamil adalah sah dan tidak dilarang dalam agama Islam

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak secara khusus untuk mengatur tentang pernikahan wanita hamil. Pada  Pasal 2 ayat (1) KHI menyatakan bahwa "perkawinan ialah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing". Sehingga, jika pernikahan wanita hamil dilakukan menurut hukum agama Islam dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan hukum lainnya, maka pernikahan tersebut sah menurut KHI. Namun, perlu diingat bahwa KHI juga memberikan persyaratan-persyaratan lain yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perkawinan, seperti adanya wali sah dan saksi-saksi yang hadir pada saat akad nikah. Jadi, selain mengikuti aturan hukum Islam, calon suami dan keluarga wanita hamil juga harus memastikan bahwa semua persyaratan KHI untuk sahnya perkawinan juga dipenuhi.

CARA MENGHINDARI PERCERAIAN

Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dan mencegah terjadinya perceraian dalam rumah tangga:

  • Membangun komunikasi yang baik
  • Faktor utama yang menyebabkan perceraian adalah kurangnya komunikasi yang baik antara pasangan. Jadi, sangat penting bagi suami dan istri untuk membangun komunikasi yang terbuka dan jujur satu sama lain. Dengan saling mendengarkan, menghargai dan memahami perasaan dan kebutuhan pasangan, maka dapat meminimalisir terjadinya konflik dalam rumah tangga.
  • Menyelesaikan masalah dengan bijak
  • Setiap pasangan pasti akan menghadapi suatu masalah dalam rumah tangganya. Namun, yang membedakan adalah bagaimana cara pasangan tersebut menyelesaikan masalah tersebut. Jadi, sangat penting bagi suami dan istri untuk menyelesaikan masalah dengan bijak dan dewasa, tanpa mengambil keputusan yang terburu-buru atau emosional.
  • Membangun kepercayaan
  • Kepercayaan adalah faktor paling penting dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Jadi, sangat penting bagi suami dan istri untuk saling membangun kepercayaan satu sama lain. Hal ini dapat dilakukan dengan cara tidak menyembunyikan apapun dari pasangan, jujur dan terbuka dalam berkomunikasi, serta selalu menepati janji dan komitmen.
  • Menjaga hubungan intim yang baik
  • Hubungan intim juga merupakan faktor penting dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Dengan saling memberikan perhatian dan kasih sayang dalam hubungan intim, maka dapat meningkatkan keintiman dan kebersamaan dalam rumah tangga.
  • Menjaga keseimbangan dalam kehidupan
  • Sibuk dengan pekerjaan atau kegiatan lainnya dapat membuat suami dan istri kurang memberikan perhatian satu sama lain. Jadi, sangat penting bagi pasangan untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan, sehingga tidak terlalu terfokus pada satu hal saja dan mengabaikan pasangan.
  • Mengambil langkah-langkah preventif
  • Suami dan istri juga dapat mengambil langkah-langkah preventif dalam menjaga keutuhan rumah tangga, seperti mengikuti konseling pernikahan atau membaca buku-buku tentang hubungan dan komunikasi dalam rumah tangga.

Melakukan hal-hal di atas tidak menjamin terhindarnya dari perceraian, namun dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya perceraian dan membantu menjaga keharmonisan dalam rumah tangga.

REVIEW BOOK

Judul Buku: Perceraian Berdampak Pada Psikologis Anak Usia Remaja

Nama Pengarang: Risnawati, S. Kep., Ns., M. Kes.

Kesimpulan: Dengan membaca buku ini kita dapat mengambil pelajaran dalam menjalin rumah tangga yang baik bagaiman dan mencegah perceraian karena akan berdampak pada pskologis anak. Di buku ini sudah mencakup semua pembahasan yang bisa di pahami sebelum melakukan perceraian yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi perceraian, permasalahan yang dihadapi remaja ketika ditinggal cerai orang tua, perkembangan pskologis anak remaja dan dampak pskologis anak remaja akibat dari perceraian orang tua. Dari pembahasan diatas dapat kita ambil bagaiman cara untuk mencegah perceraian dan jangan mengambil keputusan dengan matang-matang saat emosi tiba, apalagi sampai dengan proses perceraian.

            

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun