Empat atau lima hari yang lalu, saya dihubungi oleh sales bank. Ia mengabarkan bahwa saya mendapatkan formulir pengajuan kartu kredit. Jika saya setuju, formulir itu akan dikirim ke alamat saya. Sales itu menyebutkan alamat lengkap saya. Pas. Tidak ada yang terlewat.
Satu pertanyaan saya, atas dasar apa saya dapat formulir itu? Padahal saya tidak mengajukan apapun perihal kartu kredit ini
Sebelum saya mempertanyakan itu, seseorang yang berada di seberang telepon sana menjelaskan, "Menurut data kami, keuangan Bapak tidak ada masalah. Gaji Bapak memenuhi standar."
Lalu saya memotong penjelasan yang sedang berlangsung, "Maaf, untuk saat ini saya belum membutuhkan kartu kredit."
"Kenapa, Pak? Kartu kredit yang kami tawarkan banyak pormonya, loh. Nanti Bapak bisa belanja dengan banyak potongan. Dan proses pembuatan kartu kredit ini tidak akan sulit. Berbeda jika Bapak mengajukan sendiri ke bank. Kalau Bapak tidak ingin memakai kartu kredit ini, Bapak tidak perlu mengaktifkannya ..."
Kurang lebih seperti itu. Namun, penjelasan saya potong kembali. Saya merasa ini hanya basa-basi. Dalam akhir percakapan saya bilang, "Saya nggak mau, Mbak/Mas. Maaf ya."
Sebelum-sebelum ini, saya banyak mendapat cerita dari teman-teman yang sudah merasakan manfaatnya kartu kredit. Indah sekali ceritanya. Belanja bulanan, tinggal gesek. Mau beli ponsel baru, gesek aja. Keuangan di akhir bulan lagi nanggung, tinggal gesek. Munculah uang di rekening. Masalah beres.
Saya juga dapat cerita dari teman-teman yang terjebak utang karena kartu kredit. Kali ini mengenaskan. Gaji yang baru saja turun, istilahnya "cuma lewat aja". Blass, habis. Blass, sisa ratusan ribu. Bisa juga dengan jalan berutang lagi untuk menutupi utang sebelumnya.
Untuk hidup ke depannya beberapa teman harus mencari tambahan dari usaha ini dan itu. Apapun caranya. Harus peras keringat lebih untuk makan dan minum. Ia merasa utang tidak akan selesai. Sampai-sampai teman saya itu memberi istilah "gali lubang tutup empang" bukan "gali lubang tutup lubang". Mungkin karena sudah pelik. Saya tidak tahu pasti kadarnya seberapa.
Satu teman lagi berpendapat lain, "Zaman sekarang kalau nggak kredit, kita nggak punya apa-apa". Ya, itu benar. Saya tidak menyalahkan. Pernyataan lainnya, "Ya udah kredit wajar, kok. Udah banyak orang yang kredit. Apapun itu."
Saya melihat, semua itu wajar karena kita sudah terbiasa dengan kredit. Dan secara tidak sadar kondisi hidup kita diarahkan masuk ke dalam dunia utang. Apa sih yang tidak bisa kredit?