Mangga Dua Mall, Jakarta. 05 Januari 2019. Pukul 08.00 pagi, saya sudah duduk di anak tangga pintu masuk. Pintu-pintu masih terkunci. Di samping kanan saya, ada seorang laki-laki yang sedang duduk. Di samping kanannya lagi, ada seorang laki-laki yang juga sedang duduk.
Mereka saling tertunduk. Memandang gawainya masing-masing. Lalu laki-laki sebelah kanan saya, yang saya perkirakan usianya 50-an tahun, meminjam korek api ke laki-laki sebelah kanannya. Mungkin usianya baru seperempat abad.
Korek api sudah ia dapatkan. Sebatang rokok dinyalakan. Kemudian, kedua laki-laki itu terlibat obrolan. Sementara saya lanjut membaca buku. Beberapa saat kemudian obrolan terhenti. Lalu laki-laki paruh baya itu menoleh ke kiri. Ke arah saya.
"Suka baca buku, Dik ?" Tanyanya.
Saya tersenyum sambil menjawab, "Suka sedikit, Pak."
"Kamu mengingatkan pada anak saya. Muda, kurus, dan buku. Ya, anak saya suka banget baca buku. Banyak koleksi bukunya di rumah saya."
Saya kembali tersenyum seraya menutup buku yang sedang saya baca. "Saya punya anak dua, Dik. Tapi dua-duanya nggak akur. Udah sekian lama. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan."
Di dalam keluarga, saya dua bersaudara. Adik saya laki-laki. Sedari kecil saya dan adik kerap ribut. Mulai dari merebutkan mainan, jajanan, sampai merebutkan suapan makan dari ibu. Saya ceritakan kisah itu padanya.
"Kedua anak saya ini parah, Dik. Sepanjang tahun selalu berdebat. Satu rumah nggak pernah tatap muka. Sebagai adik kakak, mereka acuh tak acuh."
Saya mengerutkan dahi. Laki-laki itu tersenyum, lalu menghisap rokoknya yang masih membara.
"Perkara pandangan politik, Dik. Persetan dengan politik. Yang perlu Adik tahu! Kedua anak saya itu bukan anggota partai apalagi caleg. Kedua anak saya cuma rakyat biasa. Rakyat yang terbelah menjadi dua kubu.