Pasal 22D UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-IX/2012 menggarisbawahi bahwa dalam hal pembahasan Rancangan Undang-undang atau Revisi Undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah maka wajib hukumnya melibatkan DPD sejak proses pembahasan awal sampai sebelum tahap persetujuan terhadap RUU. Termasuk disini ialah melibatkan DPD dalam Revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang digulirkan oleh Kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR.
Kedua kubu tersebut telah sepakat akan merevisi UU MD3 sebagai jalan damai kedua belah pihak. Akan tetapi rencana revisi UU MD3 ini mendapatkan kritikan keras dari berbagai kalangan yang menilai bahwa revisi UU MD3 hanyalah ‘akal-akalan’ kedua kubu untuk saling mendapatkan dan mengamankan kekuasaan melalui kursi pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dan sejumlah badan di DPR.
Salah satu kritik datang dari Wakil Ketua DPD, Farouk Muhammad (23/11/2014) yang menyebut bahwa revisi UU MD3 hanya untuk menyelesaikan permasalahan antara KMP dengan KIH dan tidak menyentuh tataran substansi. Bahkan DPD menegaskan, jika kedua koalisi tersebut memaksakan revisi UU MD3 dengan tidak melibatkan DPD maka prosedur awal pembentukan UU tersebut mengalami cacat formil atau cacat prosedur. Konsekuensinya UU MD3 yang nantinya akan disahkan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Peringatan Wakil Ketua DPD tersebut tentunya tidak boleh dianggap sepele khususnya oleh anggota DPR dari kedua kubu. Jika dicermati, peringatan oleh wakil ketua DPD tersebut bukanlah hal yang berlebihan dan justru malah memiliki landasan konstitusional yang kuat sebagai basis argumentasinya. Merujuk pasal 22D UUD 1945 dan putusan MK Nomor 92/PUU-IX/2012, ditegaskan dalam hal pembahasan RUU atau Revisi UU yang menyangkut kewenangan DPD, maka lembaga DPD wajib diikutsertakan. Pembahasan wajib dilakukan dengan mekanisme tripartit (Presiden, DPR, dan DPD) jika pembahasan itu menyangkut RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD. Jika RUU yang tidak berkaitan dengan kewenangan DPD, maka pembahasannya dilakukan antara DPR dan Presiden (bipartit).
Lebih lanjut, menurut Mahkamah Konstitusi, pembahasan itu harus dimaknai DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan wewenang DPD, bersama DPR dan Presiden, yang melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat I ( pengantar musyawarah, mengajukan dan membahas Daftar Inventarisasi Masalah serta penyampaian pendapat mini) oleh komisi atau Pansus DPR dan menyampaikan pendapat pada Pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan. Alangkah lucu jika dalam proses pembahasan revisi UU MD3 dimana didalamnya juga mengatur terkait dengan kewenangan DPD tetapi justru pihak terkait tidak dilibatkan.
Dengan tidak melibatkan DPD dalam proses pembahasan UU MD3 sejatinya para anggota DPR tidak menaati putusan MK. Hal yang ironis ketika pembuat undang-undang justru tidak taat hukum. Padahal, secara hukum, kekuatan atas putusan tersebut adalah final dan mengikat bagi pihak-pihak yang terkait terutama DPR. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan dalam kaitannya dengan proses pembentukan dan pembahasan undang-undang, maka dapat dipastikan bahwa prosedur awal dalam pembentukan undang-undang tidak terpenuhi. Konsekuensinya jika prosedur itu tidak terpenuhi, maka dapat dikatakan prosesnya cacat formil. Jika sebuah UU mengalami cacat formil maka UU tersebut batal demi hukum dan otomatis tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Check and Balances dalam Parlemen
Putusan MK Nomor 92/PUU-IX/2012 telah mendudukkan kembali bagaimana fungsi legislasi sesungguhnya berlangsung sesuai kehendak UUD 1945 setelah perubahan. Implikasi positif dari putusan tersebut ialah yang Pertama, Secara konstitusional, dengan pola baru yang ditawarkan, putusan MK tidak hanya sebatas memperjelas fungsi legislasi DPD, tetapi juga mengembalikan makna pembahasan bersama yang diatur konstitusi. Dikatakan demikian karena UUD 1945 secara eksplisit menyatakan, pembahasan dilakukan antar-institusi (DPR-DPD-Presiden atau DPR-presiden). UUD 1945 memang jelas merumuskan pembahasan RUU dilakukan melalui mekanisme lembaga (DPR, DPD, dan Presiden).
Kedua, Secara politik dan ketatanegaraan, pasca putusan MK tersebut sesungguhnya DPD mempunyai bargaining position yang cukup kuat secara kelembagaan dalam kaitannya dengan proses pengajuan dan pembahasan RUU tertentu. Dengan DPD yang kuat, berarti demokrasi juga akan menguat karena di internal sistem perwakilan sendiri terdapat check and balances yang sehat dan saling mengisi. Dengan itu, proses check and balances akan terjadi di dalam kamar parlemen.
Sudah saatnya kedua implikasi positif tersebut di atas dapat dimaknai dengan sungguh-sungguh kaitannya dengan proses pembahasan Revisi UU MD3. Sudah saatnya para anggota DPR mengajak DPD dalam membahas revisi UU MD3. Tentunya publik berharap bahwa pembahasan tersebut diarahkan kepada hal-hal yang sifatnya lebih substansial dan bukan pembahasan yang mengarah pada perebutan kekuasaan. Jika DPR tetap ngotot mengesahkan Revisi UU MD3 tanpa melalui pelibatan DPD dalam proses pembahasan, maka langkah hukum yang dapat ditempuh ialah : Uji Formil UU MD3 ke MK. Kita berharap ini tidak terjadi.