Dalam percaturan global saat ini, dunia sedang dilanda krisis humanisme hingga level terendah. Tercatat, sudah ada sekitar 23 Negara melegalkan pernikahan sejenis yang kemudian memunculkan benih-benih LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) dan efeknya langsung menjalar ke Indonesia. Pertanyaan yang menyeruak : Apakah Indonesia juga akan melegalkan pernikahan sesama jenis? Ditolerirkah LGBT itu?
Beberapa hari yang lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama para pemuka agama memberikan pernyataan sikap tentang maraknya propaganda dan upaya legalitas LGBT. Mereka menyatakan bahwa LGBT bertentangan dengan ajaran agama, Pancasila, UUD 1945, dan UU Perkawinan, serta berdampak negatif terhadap tatanan sosial. Ditambahkan, bahwa para pelaku LGBT pantas dilindungi dari kekerasan dan disembuhkan/direhabilitasi.
Jika dicermati, bahwa sikap MUI dan pemuka agama yang menentang propaganda dan upaya legalitas LGBT itu merupakan sikap yang sudah sesuai dan pas dengan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Di satu sisi, Pelaku LGBT ditempatkan sebagai warganegara seperti kita semua yang juga memiliki hak untuk dilindungi dari ancaman, kekerasan, penindasan, dan sejenisnya, namun disisi lain, negara juga harus melindungi warganya yang bukan pelaku LGBT dari keresahan maraknya propaganda LGBT yang dapat menggerus dan merusak nilai-nilai luhur, budaya, dan pandangan hidup bangsa.
Terlepas dari hal di atas, faktanya sampai hari ini, memang belum ada aturan yang secara tegas melarang propaganda LGBT. Hal inilah yang kemudian memicu pro-kontra kehadiran aktivitas LGBT di media online, media massa, hingga media sosial. Eskalasi propaganda dan upaya melegalkan LGBT yang dilakukan oleh aktivis LGBT itu sampai saat ini mengalir deras. Bagi saya, sehebat apapun eskalasi itu, walaupun belum ada aturan yang secara tegas melarang propaganda LGBT, bukan berarti propaganda LBGT mendapatkan tempat untuk bersinggah. Mengapa? Karena bangsa kita memiliki nilai luhur, budaya, dan pandangan hidup bangsa yang berbeda dari negara-negara lainnya khususnya negara yang melegalkan LGBT.
HAM & Pandangan Hidup Bangsa
Para aktivis LGBT dalam berpropaganda selalu membawa isu Hak Asasi Manusia (HAM). Inilah yang dijadikan “jurus pamungkas” untuk mendesak negara agar mengakui eksistensi LGBT. Dalilnya jelas, bahwa mereka ingin diakui, diterima, dan dihormati sebagai komunitas yang bebas sesuka hatinya. Sementara nilai luhur, budaya, dan pandangan hidup bangsa dipinggirkan atas nama HAM.
Terkait dengan hal itu, saya berpandangan, Pertama, Jika isu HAM yang dijadikan jurus, mari kita melihat Pasal 1 angka (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Di situ didefinisikan bahwa “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Jadi jelas konteksnya, HAM merupakan karunia Tuhan dan HAM adalah hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Maka disini berlaku prinsip kemanusiaan dan ketuhanan. Anugerah Tuhan yang menciptakan kita berpasang-pasangan dengan lawan jenis sudah menjadi standar dalam agama apapun. Suka dengan sesama jenis sudah jelas melecehkan anugrah-Nya dan melanggar fitrah kemanusiaan.
Apalagi, di Indonesia HAM yang berlaku bukanlah HAM yang individual dengan hanya melindungi kepentingan pribadi atau satu kelompok saja, melainkan HAM yang bersifat komunal, yaitu untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Titik aksentuasinya adalah HAM komunal, bukan individual. Kita tidak bisa menyamakan konsep HAM kita seperti HAM barat ataupun HAM negara-negara lainnya. Lihatlah dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Rumusan pasal itu jelas, bahwa HAM dikonstruksikan untuk melindungi kepentingan bersama. Maka, pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum harus menjadi landasan untuk melarang propaganda dan upaya legalitas LGBT.
Kedua, LGBT bukan hanya soal HAM, namun juga tentang nilai luhur, budaya, dan pandangan hidup bangsa. Menggiring perdebatan LGBT hanya menjadi persoalan HAM hanya akan melahirkan analisa yang cacat dan tidak utuh. Secara teori, kehidupan itu tidak terdiri dari penggalan-penggalan sektor yang berdiri dan bekerja sendiri-sendiri. Mengutip Fritjof Capra dalam bukunya “The Web of Life”, sesungguhnya kehidupan ini, termasuk kehidupan sosial, bahkan ekonomi, dan politik merupakan suatu jaringan kehidupan (web of life), sehingga satu sama lain berkelindan dengan erat. Memisahkan aspek-aspek kehidupan itu hanya akan menghasilkan analisis dan diagnosa yang tidak utuh dan cacat (Capra, 1997). Maka, membahas LGBT harus dibenturkan dengan nilai luhur dan budaya yang ada di Indonesia. Dalam kaitannya dengan budaya, tidak ada satu budaya dari daerah manapun di Indonesia yang menerima adanya LGBT. Selain itu, LBGT nyata-nyata bertentangan dengan nilai-nilai luhur warisan para pendiri bangsa.
Ketiga, dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kita semua sudah sepakat untuk bersandar pada Pancasila. Berkaca pada sejarah, Pancasila dirumuskan sebagai suatu konsensus sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisi seperti ini, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, dan moralitas bangsa. Kita bisa melihat dalam sila pertama tentang ketuhanan dan sila kedua tentang kemanusiaan. Sila Ketuhanan dirumuskan menjadi sila pertama dengan harapan, bahwa moral Ketuhanan sebagai dimensi transendental harus memandu langkah-gerak seluruh penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara sila kedua, menekankan akan nilai-nilai humanisme. Prinsip kemanusiaan yang beradab adalah akhlak yang mulia yang dicerminkan dalam sikap dan perbuatan manusia yang sesuai dengan kodrat, hakikat, dan martabat manusia. Kedua sila ini harus menjadi jiwa yang menginspirasi seluruh pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berdasarkan ketiga hal di atas, adanya fenomena LGBT sangat nyata-nyata bertentangan dengan HAM, budaya, nilai-nilai luhur, serta pandangan hidup bangsa. Jika kita semua dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara konsisten bersandar dengan nilai-nilai luhur, budaya, dan pandangan hidup bangsa, maka hal-hal yang dapat merongrong dan menggerogoti ketiganya harus dilawan. Dalam melawan LGBT, yang harus dilawan adalah perbuatannya, bukan orangnya. Kita boleh benci dengan LGBT, namun kita juga harus tetap adil karena pelaku LGBT merupakan sesama warga negara. Terlebih, negara juga harus memperlakukan secara adil terhadap pelaku LGBT, karena mereka adalah warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan penindasan. Tetap memperlakukan kaum LGBT secara adil juga sesuai dengan firman Tuhan, bahwa janganlah kebencian kita terhadap suatu kaum justru membuat kita berlaku tidak adil. Wallahu’alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H