Hari ini Anas Urbaningrum (AU) akan menjalani sidang lanjutan (ke-15) terkait kasus Proyek Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya di Pengadilan Tipikor, Kuningan, Jakarta Selatan. Agenda sidang hari ini masih seputar mendengarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. Harapan Jaksa, tentu bahwa keterangan-keterangan saksi nanti dapat memberatkan sang terdakwa setelah sidang-sidang sebelumnya tidak ada SATU saksi pun yang dihadirkan Jaksa KPK yang keterangannya memberatkan AU. Melainkan semua keterangan saksi justru meringankan AU. Berkaitan dengan hal tersebut, seminggu yang lalu Jaksa KPK telah diingatkan oleh Hakim Ketua, Haswandi : “Saya ingatkan penuntut tolong hadirkan saksi a charge, bukan saksi a de charge. Saksi a de charge itu gilirannya terdakwa”. Peringatan tersebut, jika dianalisis sebenarnya adalah hal yang sangat wajar. Basisnya adalah bahwa sepanjang sidang yang beragendakan mendengar keterangan saksi-saksi, persidangan justru menjadi ajang bagi para saksi untuk membantah dan mementahkan dakwaan jaksa.
Saya mencatat sudah 10 kali sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi digelar dan dilaksanakan. Dalam setiap kali sidang dengan agenda tersebut, bantahan demi bantahan terhadap dakwaan disampaikan oleh para saksi. Dakwaan jaksa terhadap AU yang isinya begitu “bombastis” menjadi tidak memiliki arti dalam persidangan. Dua sidang terakhir (yang beragenda mendengar keterangan saksi-saksi) yang dilaksanakan hari Kamis (7 Agustus 2014) dan Senin (11 Agustus 2014) menambah riwayat panjang bantahan-bantahan para saksi. Persidangan tersebut menjadi semacam tempat yang memilukan bagi jaksa KPK karena saksi-saksi yang ia hadirkan sendiri justru mementahkan isi dakwaannya.
Pada sidang Kamis 7 Agustus, tiga kader Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, Mirwan Amir, dan Saan Mustopa kompak membantah menerima uang dari AU saat maju sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pada 2010. Sedangkan pada Senin 11 Agustus, sejumlah mantan Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat semuanya kompak mengaku tidak pernah dijanjikan mendapat uang dan telepon genggam Blackberry oleh AU terkait pemenangannya di Kongres PD 2010. Tentu kumpulan-kumpulan bantahan setiap kali sidang digelar dan dilaksanakan tidak boleh dianggap remeh baik secara yuridis maupun non-yuridis.
Fakta Persidangan Jangan Dianggap Sampah
Kita ingat bahwa pada Kamis (19 Juni 2014), setelah eksepsinya ditolak oleh majelis hakim, AU pernah berpesan bahwa “Fakta persidangan jangan dianggap sebagai sampah. Kalau dianggap sampah, ya buat apa persidangan ini” . Intinya AU berharap bahwa fakta-fakta persidangan harus dipertimbangkan untuk memutus kasusnya nanti. Dalam Hukum Acara Pidana, keterangan saksi-saksi yang dihadirkan dipersidangan merupakan salah satu basis pertimbangan bagi hakim dalam memberikan putusan. Setiap putusan selain harus berdasarkan surat dakwaan, requisitoir penuntut umum, juga harus berdasarkan segala fakta dan keadaan-keadaan yang terbukti dalam sidang pengadilan (Rusli, 2007 : 199).
Fakta persidangan sampai saat ini masih berpihak kepada AU. Saya menyebutnya AU dibela oleh fakta persidangan. Satu per satu saksi yang dihadirkan oleh Jaksa memberikan keterangan apa adanya berkaitan dengan kasus yang menjerat AU. Ada saksi yang kenal, ada pula saksi yang tidak kenal dengan AU. Pada intinya, mereka semua baik yang kenal maupun yang tidak kenal menyampaikan keterangan yang secara “tidak sengaja” mementahkan dakwaan Jaksa.
Jaksa KPK dan hakim yang menangani kasus AU pastinya sudah mendengar- mengetahui, dan mencatat segala fakta yang ada dipersidangan. Bagi Jaksa, fakta persidangan bisa digunakan untuk merumuskan tuntutan. Bagi Hakim, fakta persidangan bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam putusan nanti. Jadi, fakta persidangan mempunyai kegunaan dalam suatu proses peradilan pidana. Oleh karena itu, fakta persidangan tidak boleh dianggap sebagai sampah.
Ujian Integritas
Di luar persidangan, media sedang tidak memihak AU. Berbagai pemberitaan dan opini di luar persidangan telah mengaburkan fakta yang sebenarnya. Publik sudah terlanjur melihat AU sebagai seorang yang pasti bersalah (karena dijadikan tersangka oleh KPK). Banyak yang beranggapan jika seseorang ditetapkan tersangka oleh KPK maka pasti orang itu bersalah dan KPK selalu dan pasti benar. Perlu digarisbawahi bahwa anggapan tersebut merupakan hal yang sesat dalam kaitannya dengan upaya pemberantasan korupsi. Anggapan semacam itu justru sebanarnya berbahaya bagi lembaga KPK itu sendiri. Saya sendiri yakin bahwa KPK tidak mau dianggap sebagai lembaga yang selalu dan pasti benar karena pada dasarnya lembaga KPK membutuhkan kritik dan saran. Tanpa kritik dan saran, maka pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK akan datar-datar saja. Justru dengan kritik dan saran itulah KPK dapat tumbuh sebagai lembaga yang besar dan kredibel dalam memberantas korupsi.
Setiap kita tentu memiliki kejelian dan kearifan dalam melihat dan mencermati suatu peristiwa. Pun dalam kasus yang menjerat AU kita harus jeli dan arif dalam melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Ada yang perlu ditegaskan bahwa ternyata keadaan di luar tidak seheboh keadaan di dalam (persidangan). Saya yakin jaksa KPK dan hakim tidak akan terpengaruh oleh hal-hal di luar persidangan dan benar-benar objektif melihat keadaan yang sesungguhnya.
Terungkapnya segala fakta yang ada dipersidangan menjadi ujian integritas bagi jaksa KPK dan hakim dalam menangani kasus yang menjerat AU. Dengan melihat fakta persidangan, setidaknya ada alasan bagi jaksa untuk menuntut bebas AU. Jangan terlalu dipaksakan apabila AU memang tidak bersalah (merujuk pada fakta persidangan). Hakim juga tidak perlu ragu-ragu untuk membebaskan AU dari segala tuduhan. Kepada Jaksa KPK dan hakim saya berharap keadilan dan kebenaran dalam kasus AU benar-benar terwujud!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H