Mohon tunggu...
Allan Changrawinata
Allan Changrawinata Mohon Tunggu... -

Master Degree dan saat ini memimpin perusahaan manufaktur peleburan besi dan baja

Selanjutnya

Tutup

Money

Kesiapan Industri Besi dan Baja Nasional Menghadapi ACFTA

27 Januari 2010   01:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:14 1377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Saat ini Indonesia benar-benar sudah berada di era perdagangan bebas regional, yaitu ACFTA (Asean China Free Trade Agreement) atau kesepakatan perdagangan bebas kawasan Asean - China. Sekitar Tujuh tahun yang lalu, tepatnya di bulan November 2002 ACFTA ini ditandatangani oleh negara-negara yang tergabung dalam ASEAN dengan negara China. Mulai dari saat itu juga isu mengenai kesepakatan perdagangan bebas regional ini sudah dibicarakan dengan sangat intensif di negara kita, baik oleh pemerintah sebagai pembuat regulasi dan policy, pengamat ekonomi dan pelaku dunia usaha di tanah air. Tanpa kita sadari bahwa terhitung mulai tanggal 1 Januari 2010 yang lalu, kesepakatan regional perdagangan bebas untuk kawasan ASEAN dan China sudah dimulai. Itu artunya, 7 tahun sudah kita lewati mulai sejak penandatangan nota kesepakatan ACFTA.

Pertanyaannya adalah “ Sudah siapkah industri besi dan baja Indonesia menghadapi ACFTA tersebut ? ”

Kalau pertanyaan ini mesti dijawab, maka akan ada pro dan kontra. Bagi yang pro, jawabannya adalah kapan bangsa ini bisa maju kalau kita tidak siap atau menyiapkan diri. Bagi yang kontra, jawabannya adalah industri peleburan besi dan baja Indonesia masih belum siap untuk menghadapi era perdagangan bebas regional ini. Ada yang menulis di media cetak, kondisi ini ibarat gajah (China) dan semut (Indonesia).

Hal ini merupakan hal yang biasa di Indonesia, karena yang selalu dicari oleh para orang pintar dan birokrat di Indonesia adalah lagi-lagi perbedaan pandangan dan bukan mencari persamaan untuk solusi yang terbaik. Bagi masyarakat awam, pada umumnya tidak mengerti apa itu ACFTA dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian nasional. Bagi pelaku industri di industri ini, suaranya juga sangat sulit untuk sampai ke telinga birokrat dan teknokrat di negeri ini karena regulasi maupun kebijakan pemerintah terkadang berjalan sendiri tanpa melihat kondisi dunia industri terkait.

Untuk itu, penulis ingin memberikan pandangan berdasarkan sudut pandang dari dua aspek yang berbeda sehingga pembaca akan melihat dua sisi mata uang pada saat yang sama, sehingga pembaca bisa menjustifikasi apakah industri besi dan baja Indonesia sudah siap untuk menghadapi era perdagangan bebas regional ini.

Sesungguhnya, penandatanganan ACFTA ini bukan baru dilaksanakan 1 Januari 2010 atau satu dua tahun kemarin, melainkan sudah tujuh tahun yang lalu. Namun, walaupun sudah dibicarakan dengan sangat intensif dan komprehensif, tetapi pelaksanaannya (execution) nya hampir tidak ada sama sekali. Baik dalam bentuk regulasi dan policy, peningkatan daya saing industri, menghilangkan high cost economy, infrastruktur, penyediaan sumber energi yang lebih kompetitif, peningkatan kualitas sumber daya manusianya itu sendiri, kondisi ketenagakerjaan dan lain sebagainya. Seharusnya tujuh tahun adalah waktu yang cukup untuk mempersiapkan industri besi baja Indonesia guna menghadapi sang gajah tadi. Tetapi apa dilakukan oleh negara ini selama tujuh tahun tersebut ? Kita seolah-olah tertidur lelap dan menganggap bahwa Indonesia sudah cukup mampu untuk memasuki era perdagangan bebas regional. Karena inilah yang ada di pikiran pemerintah waktu itu pada saat akan menandatangani kesepakatan yang tertuang dalam ACFTA. Penulis tidak yakin bahwa pemerintah masih punya keraguan mengenai siap atau tidaknya negara ini menghadapi era perdagangan bebas tersebut, karena pejabat pemerintah kita diisi oleh orang-orang pintar dan ahli di bidangnya. Pemerintah pada saat itu pasti berpikir bahwa, pelaksanaan ACFTA itu sendiri akan berlaku mulai 1 Januari 2010, jadi Indonesia masih memiliki waktu yang cukup panjang untuk berbenah dan mempersiapkan diri guna menghadapi era perdagangan bebas regional.

Saat ini setelah tujuh tahun penandatangan nota kesepakatan ACFTA, barulah wakil rakyat kita dan pengamat ekonomi di sana sini teriak bahwa Indonesia belum siap untuk menghadapi era perdagangan bebas regional ini, sehingga anggota DPR komisi VI harus memanggil sejumlah menteri, diantaranya menteri perdagangan,menteri perindustrian, menteri keuangan, menteri negara BUMN, dan menteri negara koperasi dan pengusaha kecil. Pertemuan tersebut pada intinya, anggota DPR komisi VI meminta pemerintah untuk melakukan renegosiasi 228 pos tarif yang dianggap masih belum siap untuk menghadapi era tersebut. Di antara 228 postarif tersebut, salah satunya menyangkut industri besi dan baja nasional.

Jadi, apa yang dilakukan pemerintah dan wakil rakyat kita selama masa 7 tahun yang lalu ? Mengapa desakan renegosiasi terhadap 228 pos tarif tersebut baru muncul pada saat ACFTA tersebut berlaku secara efektif dan kenapa tidak jauh-jauh hari sebelumnya ? Apa peran pemerintah untuk menciptakan iklim industri yang tadinya dianggap cukup waktu dalam hal persiapan menghadapi era perdagangan bebas regional ini ?

Inilah Indonesia, negara besar dengan populasi penduduk yang juga cukup besar, potensi sumber daya alam yang juga luar biasa besarnya, memiliki ahli-ahli ekonomi dan birokrat yang ahli-ahli di bidangnya, namun kita semua terlena. Anggapan bahwa sudah biasa di Indonesia untuk menyiapkan payung pada saat hujan sudah turun adalah memang benar adanya. Jadi kapan negara ini bisa memberikan kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya, apabila tata cara kelola negara ini hanya untuk memperebutkan kekuasaaan dan bukannya duduk bersama dari semua komponen bangsa ini untuk mencari solusi untuk memajukan negara tercinta kita ini.

Dari sudut pandang penulis dari aspek pro terhadap kesiapan industri besi dan baja nasional menghadapi ACFTA adalah :

Dengan memakai pepatah umum bahwa kalau kita tidak siap sekarang, kapan baru kita bisa siap ?

Memang pepatah ini adalah benar adanya, rakyat kita sering ternina bobo, kurang memiliki semangat inovatif, kurang berpikir kreatif, kurang berusaha keras untuk lebih maju. Mungkin efek kolonialisme jaman dulu masih meninggalkan noda terhadap karakter bangsa ini. Dimana, rakyat kita yang mudah untuk dipecah belah, yang selalu mencari perbedaan pendapat dan saling menyalahkan, dan yang suka menaruh tangan di bawah (meminta) ketimbang memberi. Sebagai contoh karakter bangsa German, di mana setelah pulang kerja, mereka sangat jarang terlihat berada di tempat-tempat umum. Mereka lebih mementingkan pulang ke rumah untuk kumpul dengan keluarga dan melanjutkan kreativitas mereka dengan terus berpikir dan berpikir. Ini yang menyebabkan negara German menjadi negara yang kuat dan maju di bidang teknologi. Hal ini sangat kontras dengan di Indonesia, orang kita lebih suka mengunjungi tempat-tempat keramaian seperti mall, dan kalaupun di rumah, rakyat kita lebih suka menonton sinetron. Jadi, dengan ilustrasi ini, maka kesiapan industri dan peningkatan daya saing industri kita tidak hanya mengandalkan peran pemerintah semata, tetapi pelaku dunia industri juga haruslah mampu menyiapkan diri dalam peningkatan daya saing dan inovasi tiada henti untuk membangun industri yang kuat, yang mampu bersaing di era perdagangan bebas regional ini.

Banyak kendala yang berkaitan dengan regulasi dan policy pemerintah yang sangat tidak pro terhadap industri nasional, tetapi di saat yang sama pemerintah punya visi untuk menjadi negara industri maju 2020.

Beberapa hal yang bisa penulis utarakan disini dari hasil analisa penulis dari aspek yang kontra terhadap kesiapan Industri besi dan baja nasional menghadapi ACFTA adalah :

1.Tidak adanya persiapan yang komprehensif dari pemerintah selain hanya berbicara yang komprehensif tanpa ada pelaksanaan terhadap rencana-rencana yang telah dibicarakan ataupun yang telah disepakati. Sehingga tidak adanya proteksi ataupun policy yang bisa menciptakan kesiapan industri besi dan baja nasional dalam bentuk regulasi bea masuk bahan baku. Sebagai contoh : importasi bahan baku untuk besi dan baja seperti ferro alloys, pasir, iron ore, serta bahan baku dan penunjang lainnya yang tidak tersedia atau belum mampu diproduksi di dalam negeri harus dikenakan bea masuk oleh pemerintah. Padahal bahan baku dan penunjang ini diperlukan industri besi dan baja nasional. Jadi, sesungguhnya yang diproteksi itu adalah industri nasional yang membutuhkan bahan baku dan penunjang tersebut atau industri negara lain ? China merupakan salah satu produsen bahan baku untuk industri besi dan baja, jadi volume importasi bahan baku dan penunjang untuk industri besi dan baja nasional banyak melakukan impor dari negara China. Dengan kondisi importasi bahan baku dan penunjang yang dikenakan bea masuk ditambah ongkos pengiriman, bagaimana industri dalam negeri yang diibaratkan semut bisa bersaing dengan China yang diibaratkan Gajah. Hasil industri besi dan baja nasional kita sulit bersaing dengan China di dunia internasional dikarenakan salah satunya oleh faktor ini.

Belum lagi high cost economy yang menghadang dunia industri kita, seperti contoh apabila kita secara rutin melakukan importasi bahan-bahan tersebut baik yang bukan merupakan bahan kimia maupun yang tergolong bahan kimia, institusi bea dan cukai selalu meminta proses pemeriksaan laboratorium yang memakan waktu berhari-hari. Padahal, importasi barang sejenis sudah sangat sering dilakukan oleh industri terkait karena bahan tersebut merupakan bahan baku dan penunjang produksi. Contoh lain adalah, bagi pelaku industri yang mendapatkan kemudahan dan fasilitas untuk importasi barang modal, harus mengeluarkan biaya siluman kepada oknum untuk mempermudah proses pengeluaran barang modal tersebut. Padahal jelas-jelas sudah ada ketentuan dari pemerintah bahwa pemegang fasilitas dibebaskan atau ditangguhkan dari pembayaran bea masuk dan pajak-pajaknya.

2.Regulasi terhadap ekspor bahan baku yang sama sekali luput dari perhatian pemerintah kita karena pemerintah dituntut untuk menghasilkan devisa yang tidak hanya dari sumber minyak dan gas, melainkan juga dari sumber-sumber yang tergolong non-migas. Seperti contoh, Indonesia merupakan pengekspor bahan baku Nickel, namun kebutuhan Nickel untuk industri besi dan baja nasional harus dilakukan dengan cara mengimpor dari luar negeri, ataupun harus melewati trader atau importer yang mana harganya sudah sangat tidak kompetitif lagi. Sudah umum di negera tercinta ini, keuntungan yang didapat oleh trader atau importer lebih besar ketimbang pelaku industri, sehingga menyebabkan lemahnya daya saing industri nasional kita. Belum lagi bahan baku lainnya seperti scrap besi ataupun scrap stainless steel yang di ekspor ke trader di Singapura, China, Jepang dan Korea dengan alasan bahwa di Indonesia belum ada stainless steel mills yang mampu menyerap bahan baku scrap tersebut, ataupun harga di luar lebih mahal ketimbang di dalam negeri. Padahal di China, pemerintahnya memproteksi dan melakukan pengawasan yang sangat ketat atas ekspor bahan-bahan tertentu dikarenaka untuk alasan melindungi dan meningkatkan daya saing industri dalam negerinya.

3.Regulasi di bidang perpajakan, yang menyangkut restitusi pajak atas transaksi ekspor. Walaupun sudah ada kebijakan untuk memberikan prioritas pengembalian pajak atas ekspor namun pelaksanaan di lapangannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dihadapi di institusi bea dan cukai, karena pelaku industri berhadapan dengan oknum yang dengan sengaja mempersulit pelaku industri tanpa memikirkan bagaimana industri tersebut harus bersaing di tengah ketatnya persaingan industri global. Hal ini sangatlah kontras dibanding apa yang terjadi di negara China, restitusi pajak dilakukan dengan sangat mudah tanpa ada oknum yang berani mempersulit pelaku industri. Belum lagi pada waktu beberapa tahun yang lalu, pemerintah China memberikan apa yang disebut dengan insentif/subsidi ekspor atas komoditi-komoditi tertentu. Disini, terlihat peran pemerintah China dalam hal melindungi industri dalam negeri mereka untuk mampu bersaing di dunia internasional. Hasilnya, saat ini China menjadi negara pengekspor nomor satu di dunia. Mengapa hal ini bisa ? Jawabnya adalah karena pemerintah China memiliki cetak biru untuk melindungi dan membangun industri nasional mereka jauh-jauh hari guna menghadapi persaingan bebas saat ini.

4.Di bidang perbankan, suku bunga yang sangat tinggi membuat pelaku industri harus bekerja ekstra keras untuk membayar tingkat bunga yang sangat tinggi tersebut. Walaupun tingkat suku bunga Bank Indonesia sudah turun di bawah 7 %, tetapi pelaku industri harus membayar bunga 2 kali lipat bahkan lebih. Hal ini sangat kontras dengan industri di China atau bahkan di negara maju yang mana tingkat bunga bank yang harus ditanggung oleh industri mereka adalah tidak sampai separuh dari tingkat bunga di Indonesia. Jadi, bagaimana industri nasional kita bisa maju dan berkompetisi di tengah-tengah era perdagangan bebas dengan komponen biaya bunga yang sebegitu tidak kompetitifnya ?

5.Di bidang infrastruktur, pembangunan infrastruktur di Indonesia selama 7 tahun terakhir sangatlah rendah dan apabila kita bandingkan dengan apa yang dilakukan China dalam kurun yang sama adalah sangat kontras dengan apa yang dihadapi oleh pelaku industri di Indonesia. Sebagai contoh, infrastruktur jalan di Indonesia, khususnya di Jabodetabek dan pulau Jawa secara keseluruhan sangatlah tidak memadai. Kemacetan yang luar biasa yang menyebabkan arus distribusi menjadi terhambat dan mahal, arus impor-ekspor juga mengalami keterlambatan dan biaya yang mahal. Belum lagi kalau kita bicara pelabuhan laut yang mampu melakukan ekspor secara langsung juga sangat terbatas, sehingga jalur pelayaran yang menjadi urat nadi ekspor Indonesia ke manca negara menjadi sangat terbatas. Kalaupun harus di ekspor, maka mesti melalui jalan darat yang cukup jauh dan menyebabkan freight cost Indonesia juga cukup mahal, apalagi ditambah dengan letak geografis Indonesia yang kurang mendukung untuk jalur pelayaran ekspor.

6.Di bidang penyediaan energy, baru-baru ini di negara tercinta kita yang kaya akan sumber daya energy harus menerima kenyataan bahwa negara kita mengalami shortage energy listrik. Untuk itu, Perusahaan Listrik Negara harus melakukan pemadaman listrik secara bergilir, bukan hanya di Indonesia bagian barat saja tetapi sampai saat ini di sebagian wilayah Indonesia bagian timur pun masih harus mengalami kondisi yang sama. Upaya lain yang dilakukan oleh PLN adalah menaikkan tarif dasar listrik untuk industri dengan alasan tingginya demand di tengah-tengah terbatasnya supply energy listrik yang bisa disediakan oleh PLN. Upaya pemerintah untuk menyediakan sumber energy alternatif juga tidak tersedia, demikian juga pembangunan pembangkit listrik baru dengan menggunakan energy batubara ataupun panas bumi yang lebih murah dibanding minyak, dengan program 10,000 MW nya juga terlambat karena dilakukan pada saat krisis listrik mulai mendera negara kita dan tersandung dengan pembiayaan atas investasinya. Pemerintah kurang jeli dalam menghitung kebutuhan konsumsi energy listrik terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang menjadi sasaran pemerintah, sehingga kesalahan tersebut harus ditanggung dan menjadi beban pelaku industri. Dengan kondisi seperti ini, dunia industri yang sangat terkena dampaknya atas pemadaman bergilir serta kenaikan tarif dasar listrik adalah salah satunya industri besi dan baja, karena industri ini sangat mengandalkan energy listrik.

7.Pembangunan sumber daya manusia yang tidak mampu mengimbangi perubahan arus globalisasi dan perkembangan teknologi. Pembangunan sumber daya manusia bukan dimulai di bangku sekolah ataupun bangku kuliah, melainkan harus dimulai dari lingkup keluarga. Dari lingkungan keluarga inilah sumber daya manusia Indonesia masa depan mulai dibentuk karakternya. Apabila keluarga sudah salah mendidik anak-anaknya, maka janganlah kita mengharapkan sumber daya manusia generasi berikutnya bisa diandalkan. Belum lagi tidak tersedianya hitung-hitungan pasti mengenai tingkat pendidikan, umur produktif dan non produktif dari total populasi rakyat Indonesia yang hampir mencapai 250 juta jiwa. Ini akan mengakibatkan area abu-abu mengenai angkatan produktif dari penduduk Indonesia untuk 5-10 tahun mendatang. Apabila, dalam satu dasawarsa ke depan, penduduk Indonesia memiliki angkatan non-produktif, maka daya saing sumber daya manusia Indonesia juga akan sangat tidak bisa diandalkan. Belum lagi sebagian besar dari rakyat Indonesia masih kesulitan dalam hal akses terhadap sekolah maupun universitas yang berkualitas baik atau jumlah anak-anak yang tidak memiliki kesempatan untuk duduk di bangku sekolah. Jadi, pembangunan sumber daya manusia bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun keluarga juga memegang peranan yang sangat penting. Sebagai ilustrasi, apabila kita sudah salah mendidik anak kita sejak dia lahir, maka akan sangat sulit bahkan tidak mungkin kita bisa memperbaiki karakter anak tersebut kalau dia sudah beranjak dewasa. Jadi, dengan kondisi seperti ini, Indonesia akan mengalami tidak hanya shortage energy listrik dan bahan baku di masa yang akan datang, namun juga akan mengalami shortage sumber daya manusia yang bisa bersaing di era globalisasi.

8.Di bidang ketenagakerjaan, sudah menjadi pemahaman umum bahwa tenaga kerja Indonesia tidak memiliki daya saing produktivitas kerja, kecakapan dan ketrampilan yang layak. Banyak sekali anak-anak lulusan sekolah kejuruan teknik yang sama sekali tidak dibekali dengan kemampuan teknis yang bisa mendukung mereka untuk masuk ke dunia kerja. Belum lagi kualitas lulusan universitas yang juga belum memiliki keahlian yang memadai yang dikarenakan sistem pendidikan kita terlalu berorientasi ke teori dan bukan dalam hal peningkatan kompetensi. Sehingga, industri besi dan baja nasional kekurangan engineer-engineer di bidang metalurgy yang berkualitas dan berdaya saing. Belum lagi rendahnya produktivitas sumber daya manusia, karena adanya unsur tarik menarik antara serikat pekerja dengan pengusaha, ibarat telur dan ayam mana yang lebih dahulu. Penghasilan yang tinggi akan meningkatkan produktivitas kerja karyawan, atau produktivitas yang tinggi akan meningkatkan penghasilan karyawan.

9.Jiwa nasionalisme rakyat Indonesia juga menjadi sangat penting, karena hampir sebagian besar dari kita kurang bangga atas hasil produksi dalam negeri. Para pengambil keputusan lebih bangga untuk menggunakan produk luar negeri walaupun produk dari luar negeri tersebut kualitasnya lebih rendah dari produk hasil produksi dalam negeri. Seperti yang penulis jelaskan di tulisan sebelumnya, bahwa sungguh ironis perusahaan-perusahaan raksasa indsutri dunia seperti GE, TYCO, SIEMEN, ABB, ALSTOM dan lain-lain lebih menghargai hasil produksi dalam negeri kita dibanding kita sendiri sebagai orang Indonesia. Sebagai contoh, kebutuhan renewal part untuk engine lokomotif buatan GE harus diimpor dari Amerika, padahal spare part tersebut adalah buatan Tangerang yang diekspor ke Amerika, untuk kemudian diimpor lagi untuk kebutuhan renewal part engine lokomotif yang dioperasikan di Indonesia. Dengan kondisi seperti ini, apakah pemerintah kita kekurangan informasi ataukah pemerintah kurang perduli dengan industri besi dan baja nasional kita ? Mungkin ada yang salah dalam hal pengelolaan dunia industri dan perdagangan yang seharusnya menjadi tanggung jawab kementerian perindustrian dan kementerian perindustrian R.I.

10.Peran pemerintah dalam menggalakkan ekspor industri besi dan baja nasional sama sekali tidak terlihat. Peran BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional) seperti kehilangan semangat dan tenaga untuk memacu pertumbuhan ekspor dari sektor ini. Menurut pengalaman dan pengamatan penulis pada saat mengikuti atau meninjau pameran-pameran internasional, baik di China, Taiwan, dan Eropa, banyak sekali negara-negara yang diwakili oleh Export Development Board (semacam BPEN nya di Indonesia) yang memayungi pelaku-pelaku industri nasional mereka untuk berpartisipasi di pameran tersebut secara kolektif dan sebagian biayanya malah merupakan subsidi dari pemerintah mereka. Hal ini dilakukan hanya semata-mata untuk memperkuat industri besai dan baja nasional masing-masing negara mereka. Hal yang berbeda terjadi di Indonesia, di mana peran BPEN sama sekali sangat terbatas guna mendukung untuk memperkuat peran industri besi dan baja nasional di tingkat regional dan internasional yang pada akhirnya mampu secara mandiri untuk bersaing di era perdagangan bebas.

11.Yang terakhir adalah kebijakan pemerintah (policy) untuk memayungi industri besi dan baja nasional hanya dilakukan sebatas definitif dengan melakukan kampanye “aku cinta produksi dalam negeri” ataupun dengan perangkat-perangkat kebijakan yang berupa peraturan pemerintah ataupun keputusan presiden R.I. Untuk mendukung ke arah terciptanya kekuatan industri besi dan baja nasional, maka tidak cukup hanya dengan menggunakan kalimat-kalimat definitif ataupun peraturan-peraturan sejenis, tetapi harus dengan tindakan riil di dalam melakukan proteksi. Sebagai contoh, industri minyak dan gas merupakan industri yang sangat mengandalkan industri besi dan baja, karena hampir sebagian besar kebutuhan barang modal yang dipergunakan oleh industri minyak dan gas adalah berasal dari industri besi dan baja. Apabila kita mau jujur, negara kita membuang devisa sangat besar terhadap importasi barang-barang modal tersebut, padahal sebagian besar barang modal tersebut sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Namun, upaya pemerintah yang membiarkan kondisi ini terjadi mengakibatkan industri barang modal sebagai turunan industri besi dan baja nasional tidak berkembang yang akhirnya tidak mampu bersaing di dunia internasional. Alasan klasik yang bisa dijawab oleh birokrat adalah karena Indonesia belum mampu untuk memproduksi barang modal tersebut. Perlu kita sadari, pada saat kita lahir ke dunia ini, kita juga tidak mampu untuk berbicara, berjalan, ataupun makan sendiri. Melainkan hanya bisa menangis dan mengandalkan orang tua kita untuk menjaga dan mengajari kita. Jadi, pernyataan ini sudah seharusnya dipahami oleh para birokrat pengambil kebijakan, bahwa kalau tidak kita mulai dari sekarang untuk menjaga, melindungi dan mengajari industri besi baja nasional kita yang merupakan industri strategis, maka pastilah kita akan selamanya diinjak oleh Gajah. Anjuran Presiden SBY yang mengharuskan industri minyak dan gas untuk menggunakan barang modal dalam negeri apabila barang modal tersebut sudah mampu diproduksi di dalam negeri haruslah ditindaklanjuti secara serius oleh kementerian terkait. Anjuran ini merupakan salah satu langkah strategis yang dilakukan oleh Presiden tercinta kita.

Dengan kondisi seperti ini, penulis mengembalikan sepenuhnya kepada pembaca untuk menjustifikasi apakah industri besi dan baja nasional kita sudah siap atau belum dalam menghadapi ACFTA.

Terlepas dari apakah kita sudah siapa atau belum, tentu sudah seharusnya pemerintah Indonesia menata kembali dunia industri nasional, khususnya industri besi dan baja yang seharusnya menjadi industri strategis yang bisa membawa Indonesia menjadi negara industri maju. Penulis menyarankan, mumpung Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini yang masih baru menapaki usia hari ke-100 dan juga diisi oleh menteri perindustrian yang baru, sebaiknya melakukan terobosan untuk mengadakan semacam konvensi nasional untuk semua pelaku industri besi dan baja nasional bersama dengan kementerian perindustrian dan kementerian perdagangan. Duduk bersama untuk mencari pandangan yang sama atas permasalahan yang dihadapi dan mencari solusi demi meningkatkan kemampuan daya saing industri besi dan baja nasional kita guna menghadapi ACFTA. Pemerintah kita harusnya lebih tahu atas apa yang harus dilaksanakan dengan sudah berlakunya ACFTA untuk melindungi semut dari pijakan sang gajah.

Penulis : Allan Changrawinata

Pekerjaan : Memimpin salah satu perusahaan peleburan besi dan baja yang berorientasi ekspor.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun