Mohon tunggu...
Allan Changrawinata
Allan Changrawinata Mohon Tunggu... -

Master Degree dan saat ini memimpin perusahaan manufaktur peleburan besi dan baja

Selanjutnya

Tutup

Money

Indonesia Menuju Era Industri Maju 2020

25 Januari 2010   06:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:16 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah mendengar di media televisi dan media cetak bahwa negara tercinta kita Indonesia memiliki target untuk menjadi negara Industri maju di tahun  2020 yang bisa disejajarkan dengan negara Industri maju lainnya.

Target ini merupakan cita-cita yang sangat mulia buat negara Indonesia, karena dengan adanya keinginan atau cita-cita, maka akan lahirlah suatu model pembangunan makro dan mikro industri dalam negeri atau umumnya disebut oleh orang-orang pintar kita adalah dengan istilah BLUE PRINT atau cetak biru. Dengan adanya cetak biru ini, maka akan diikuti dengan kemauan dan kerja keras dari segenap masyarakat Indonesia yang dimotori oleh para birokrat-birokrat yang bertindak sebagai pengambil kebijakan dan keputusan. Kemauan dan kerja keras inilah yang akan membawa Indonesia ke arah terciptanya era Industri maju di bumi pertiwi Indonesia. Pertanyaannya adalah, sejauh mana mental dan etos kerja bangsa kita apakah itu birokrat, politisi, pelaku ekonomi, dan masyarakat luas yang menjadi objek sekaligus subjek untuk menjadi sebuah negara Industri maju ?

Kedengarannya akan sangat puitis apabila kita hanya memiliki keinginan atau cita-cita tanpa dibarengi oleh suatu usaha yang keras secara bersama untuk mewujudkan itu semua. Belum lagi ditambah dengan mental kita yang selalu ingin mencari perbedaan pandangan dan bukan persamaan pandangan yang bisa digunakan untuk mencapai suatu keinginan bersama.

Secara mudah, konsep yang harus diperhatikan terlebih dahulu apabila Indonesia ingin untuk menjadi sebuah negara maju adalah sektor makanan. Apabila makanan ini bisa dipenuhi dan dijaga stabilitasnya, maka ini merupakan sebuah modal dasar kita untuk melangkah lebih maju. Ada perbedaan pandangan yang sampai dengan saat ini belum bisa diselesaikan oleh bangsa kita adalah, petani yang diharapkan sebagai produsen di sektor makanan menginginkan harga yang tinggi, sedangkan masyarakat luas yang bertindak sebagai pengkonsumsi makanan tersebut menuntut harga yang semurah mungkin. Ada 2 energi yang berbeda tanpa kita tahu cara untuk menemukan titik equilibrium nya di mana. Apabila harga ditekan serendah mungkin, maka petani akan menjadi malas untuk menghasilkan sumber makanan buat bangsa ini, dan terjadilah dampaknya area persawahan yang disulap menjadi perumahan, area industri dan sebagainya. Pada akhirnya Indonesia harus mengimpor bahan makanan dan itu sangat menguras devisa negara guna menghidupi 250 juta penduduknya. Kalau dipertahankan tinggi, maka inflasi akan meningkat dan daya beli masyarakat akan menurun. Ditambah lagi dengan masuknya sumber makanan dari impor yang dikarenakan harga di dalam negeri lebih mahal sehingga membuka celah bagi importir untuk melakukan impor baik secara legal maupun tidak legal. Managemen agro industri kita sangatlah lemah dibandingkan dengan negara lainnya. Sebagai ilustrasi : sekitar satu setengah dekade yang lalu, pulau Bangka merupakan salah satu produsen terbesar lada putih dunia, dan pada saat tersebut demand lada putih dunia secara perlahan meningkat di tengah-tengah supply yang tetap. Hal ini menyebabkan harga lada putih menembus harga di atas Rp 125.000 per kg, sehingga memicu pembukaan lahan besar-besaran di pulau bangka dengan membabat hutan untuk perkebunan lada. Selang beberapa tahun ke depan terjadilah yang namanya over production dan mengakibatkan harga lada turun drastis menjadi di bawah Rp 10,000 per kg. Kondisi ini membuat petani menjadi frustasi dan pada akhirnya mereka menebang pohon lada tersebut dan meninggalkan area yang tadinya hutan menjadi area yang tidak produktif. Saat ini tidak mudah untuk menemukan perkebunan lada di pulau bangka yang sebelumnya menjadi trade mark pulau tersebut. Hal ini menggambarkan berapa jelasnya bahwa kita belum memiliki managemen agro industri yang baik yang bisa menopang negara ini untuk menjadi negara agro industri maju dan belumlah menjadi negara industri maju yang ingin dicapai sesungguhnya di tahun 2020.

Sektor industri yang berkaitan dengan sumber makanan inilah yang seharusnya dibenahi terlebih dahulu oleh pemegang otoritas kebijakan di negara ini, sebelum kita melangkah ke tahapan anak tangga berikutnya yaitu negara industri maju secara utuh. Apabila agro industri di negara kita maju, maka secara langsung akan menyerap banyak lapangan kerja, dan banyak industri yang terkait dengan proses permesinan dan rekayasa industri akan berdiri. Maka secara tanpa kita sadari kita akan mulai menapak ke era industrialisasi, mulai dari industri yang menghasilkan sumber makanan, industri pengolahan, industri barang modal, dan industri pemasarannya.

Secara simultan, pembenahan sektor sumber daya manusia juga harus mengimbangi kemajuan ekonomi yang terjadi, sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam hal resources development. Industri Indonesia yang saat ini landasannya adalah industri oils & gas, menggantungkan hampir seluruhnya barang modal untuk industri ini dari importasi. Padahal, industri dalam negeri sudah mampu untuk memproduksi sebagian barang modal tersebut, namun akibat kebijakan yang tidak memihak industri dalam negeri dan kurangnya rasa nasionalisme untuk menghargai hasil industri dalam negeri, kebijakan pemerintah, serta adanya politik ekonomi yang mengharuskan industri tersebut harus menggunakan barang modal dari negara dan merek tertentu, mengakibatkan industri dalam negeri tidak berkembang. Sangat ironis banyak perusahaan-perusahaan dalam negeri yang produknya malah lebih dihargai oleh perusahaan-perusahaan industri raksasa di luar negeri seperti GE, Siemen, Alstom, TYCO, ABB dan lain-lain namun belum dan kurang dihargai oleh pelaku industri dalam negeri yang nyata-nyatanya adalah rakyat dari bangsa ini. Disinilah peran pemerintah dalam hal membuat kebijakan untuk pembangunan industri dalam negeri guna memayungi industri-industri nasional menuju era industri maju 2020. Penulis pernah dipanggil rapat dengan salah satu dirjen ILMEA ( Dept. perindustrian) untuk membahas kebijakan pemerintah terkait dengan CLUSTER INDUSTRY, namun tanpa adanya alasan yang jelas kebijakan untuk mengcluster industri menguap tanpa ada alasan lebih lanjut. Dengan berlakunya ACFTA, maka diperlukan kebijakan pemerintah yang tidak hanya cepat tetapi juga harus akurat, sehingga bayang-bayang gelap tidak akan menghantui industri nasional kita. Sebagai ilustrasi : mengapa negara China maju dengan sangat pesat ? jawabannya adalah karena semangat nasionalisme bangsa China yang telah membawa mereka ke sebuah era kemajuan yang sangat luar biasa dengan laju pertumbuhan ekonomi di atas 10 % bahkan di saat krisis kemarin, serta cadangan devisa yang berada di atas 1000 Milyar USD. Walaupun secara geografis negara yang berpenduduk 1,25 Milyar jiwa ini dekat dengan negara Jepang dan Korea, namun tidak mudah kita melihat mobil atau kendaraan roda dua yang buatan Jepang, Korea ataupun dari Eropa dan Amerika. Mereka lebih menghargai produk lokal, walaupun mereka tahu kualitas produk mereka tidak sebaik negara maju lainnya. Kondisi ini memicu industri automotive di China berkembang menjadi yang terbesar di dunia, dan pada akhirnya China dikenal sebagai negara industri automotive dan bahkan telah mengekspor produk mobil maupun kendaraan roda duanya. Mental rakyat yang nasionalis dan menghargai produksi dalam negeri inilah yang memberi peran kepada negeri China menjadi salah satu negara maju dan memiliki cadangan devisa terbesar di dunia. Sudah seharusnya kita jangan sampai dininabobokan dan terbuai oleh lagu "kolam susu", di mana disana dikatakan bahwa tanah kita adalah tanah Surga sehingga tongkat kayu pun tanpa perlu dipupuk bisa jadi tanaman.

Masyarakat dalam negeri maupun internasional pada umumnya tahu bahwa negara kita saat ini memiliki sumber daya (resources) yang luar biasa berlimpah, dan untuk itu kita melakukan ekplorasi besar-besaran dan di ekspor untuk menghasilkan devisa sektor migas dan non-migas dengan tujuan untuk kemakmuran bangsa. Tujuan yang sangat mulia, namun jarang ada yang perduli bahwa EVA (economy value added) atas ekspor bahan mentah sangat rendah dan sumber daya yang datangnya dari anugerah Tuhan tersebut akan secara perlahan habis karena merupakan sumber daya yang tidak terbaharukan. Sebagai ilustrasi lanjutan juga yang terjadi di pulau bangka, di mana sudah sejak jaman kolonial pulau ini dikenal sebagai penghasil timah dunia. Maka pemerintah kita pada waktu itu bangga akan status tersebut dan dilakukanlah ekplorasi secara besar-besaran melalui Unit Pertambangan Timah Bangka (UPTB Persero) sampai saat ini proses ekplorasi semakin menggila karena kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh pemerintah setempat kepada swasta untuk melakukan ekplorasi yang dulunya apabila dilakukan swasta dianggap sebagai ilegal dan melanggar hukum. Hasilnya, produksi timah dan ekspor timah yang berasal dari propinsi bangka belitung meningkat tajam, namun meninggalkan sejuta permasalahan lingkungan yang tanpa ada seorangpun bersedia bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang hebat di pulau bangka. Mungkin di negeri yang banyak diisi oleh ahli-ahli ekonomi ini, tidak ada satupun yang mampu menghitung EVA atas ekspor timah ini dengan biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Apakah dengan konsep pembangunan ekonomi semacam ini bisa membawa negara kita menjadi negara Industri maju di tahun 2020 ? Ekplorasi dan ekspor bahan mentah yang saat ini masih dilakukan di Irian, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera seharusnya dipertimbangkan dan dibuatkan cetak biru yang lebih komprehensif dalam rangka membawa negara tercinta kita ini menjadi negara industri maju di tahun 2020. Atau kondisi sebaliknya akan terjadi sebelum tahun 2020, sumber daya yang tidak terbaharukan tersebut habis dan tidak bisa menopang negara kita menjadi negara industri maju, melainkan menjadi negara yang kebutuhan domestik nya harus diimpor 100%. Terus, cita-cita kita untuk menjadi negara industri maju hanya tinggal cita-cita, dan kita tidak pernah tahu dampak apa yang akan terjadi pada anak cucu kita kelak karena kita semua yang hari ini masih bisa menikmati apa yang kita nikmati dari negara tercinta ini sudah kembali kepadaNya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun