SEKITAR sebulan yang lalu dalam sebuah obrolan tentang media dan kerja jurnalis atau wartawan di warung kopi, ada yang masih mengganjal di benak saya. Kata kuncinya adalah eksploitasi, kata yang tentu saja tidak nyaman bagi jurnalis atau wartawan jika mendengarnya.
Siapa yang mengeksploitasi, tentu saja pimpinan media atau yang punya media. Sedangkan jurnalis sebagai pihak yang tereksploitasi.Â
Disitu secara spontan saya terang terangan agak terusik ketika saat ini di era milenial seperti sekarang ini jurnalis tereksploitasi. Dalam pemahaman saya eksploitasi itu mengandung makna yang tersakiti, teraniaya, termarjinalkan, atau makna lain yang intinya bukan hal yang menyenangkan bagi sang jurnalis.
Saya katakan waktu itu, oke wartawan memang bekerja dengan penuh tekanan yang tinggi, tidak hanya beban tugas peliputan, tapi juga tuntutan - tuntutan lainnya yang diminta perusahaan medianya. Tetapi apakah iya sekarang dengan teknologi yang menawarkan berbagai kemudahan dalam menunjang kerja wartawan kemudian wartawan tereksploitasi ?.
Bagi saya, wartawan sekarang tidak tepat kalau tereksploitasi. Nyatanya sekarang wartawan dengan mudah dan santainya mengerjakan rutinitas pekerjaan yang seperti liputan, menulis berita dan mengirimkannya ke meja redaksi. Bukan hal yang asing lagi bahwa sekarang wartawan tidak ada di lokasi kegiatan pun bisa membuat beritanya, dalam mengirimkan berita pun tidak perlu menghadap komputer dan bisa dilakukan sambil piknik atau jalan - jalan ke Bandung lah, ke Bali lah, ke Malang lah, atau ke tempat wisata lainnya.
Wartawan sekarang jauh lebih enak dibandingkan wartawan jaman dulu, misal wartawan era orde baru yang kalau tidak datang ke lokasi kegiatan ya tidak dapat berita. Sudah datang ke lokasi kegiatan saja kadang juga tidak dapat berita.
Dulu wartawan juga tidak bisa seperti sekarang kirim berita sambil ngopi ngopi di cafe atau bersantai ria di rumah. Wartawan harus ke kantor, yang saat di kantor ada obrolan dengan wartawan lainnya atau dengan redaksinya. Ada diskusi diantara teman redaksi yang sebelum berita ditulis kemudian ditayangkan.
Kesimpulan saya, sekarang ini kalau wartawannya tidak merasa tereksploitasi dan dianya juga nyaman - nyaman saja dalam menjalani rutinitas, lalu apakah masih relevan kata eksploitasi bagi wartawan sekarang.
Saat itu banyak kawan yang ikut dalam forum ngobrol ringan itu tidak setuju dengan pandangan saya. Beberapa mengatakan bahwa teknologi memang semakin memudahkan kerja wartawan, tetapi tetap saja wartawan itu tereksploitasi. Ada kawan lain juga mengingatkan saya bahwa dalam pemikiran Karl Marx, disana memang harus ada eksploitasi yang kemudian teralienasi. Kawan saya ini juga mengerti kalau saya sebenarnya paham akan konsep Marx akan eksploitasi dan alienasi itu. Yaa, tema obrolan di forum ini memang seputar eksploitasi dan alienasi Marx pada wartawan.
Dalam silang pendapat tersebut, kawan saya yang juga dosen saya mencoba memberikan pemahaman lebih dalam tentang ajaran Marx. Sang dosen kemudian juga memberikan istilah yang kemudian agak membuat saya menerimanya, yakni eksploitasi yang dirayakan.
Bagi masyarakat umum, kata dirayakan bisa jadi berkaitan dengan sesuatu hal yang menyenangkan, sehingga dirayakan. Seperti misalnya ulang tahun, dapat hadiah, juara lomba dan lain sebagainya. Inilah yang kemudian saya dalam tanda kutip menerima, dan perdebatan pun selesai.
Namun apakah benar, bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan seperti eksploitasi itu juga bisa dirayakan ?. Misalnya kalah dalam sebuah lomba kemudian dirayakan, lantas apanya yang dirayakan.Â
Jika menilik konsep Marx bahwa semua kehidupan apapun profesinya berlandaskan pada asas ekonomi.Â
Bagi Marx, menurut berbagai sumber buku, eksploitasi merupakan suatu bagian penting dari ekonomi kapitalis, di dalam kapitalisme adalah bahwa eksploitasi dilakukan oleh sistem ekonomi yang impersonal dan objektif. Kapitalis membayar para pekerja kurang dari nilai yang mereka hasilkan dan meraup keuntungan untuk diri mereka sendiri.Â
Hal ini kemudian dikenal konsep sentral Marx tentang nilai surplus, nilai surplus didefinisikan sebagai perbedaan antara nilai produk ketika dijual dan nilai-nilai elemen-elemen yang digunakan untuk membuat produk tersebut ( termasuk kerja para pekerja).
Nilai surplus, seperti halnya kapital, merupakan relasi sosial partikular dan suatu bentuk dominasi, karena kerja merupakan sumber nilai surplus yang sebenarnya. Angka nilai surplus merupakan ekspresi yang paling tepat bagi tingkat eksploitasi tenaga kerja oleh kapital atau eksploitasi para pekerja oleh kapitalis.
Sekarang pertanyaannya, ketika produk jurnalistik yang dimiliki wartawan bisa mendatangkan nilai yang jauh lebih besar dari yang didapat perusahaan medianya, apakah masih pantas wartawan dikatakan tereksploitasi.
Sekali lagi teknologi sangat menjanjikan sebuah nilai yang bisa melebihi dari yang diperkirakan. Melalui berbagai media sosial seperti YouTube, Instagram, Facebook, Twitter dan media sosial lainnya, wartawan bisa mengeruk nilai yang jauh lebih besar dari nilai yang didapat perusahaan media atas produk jurnalistik yang dimilikinya.
Bahkan nilai yang didapat wartawan bisa berlipat lipat dan dari berbagai media, tidak hanya dari perusahaan medianya sendiri.Â
Lalu apakah konsep eksploitasi Marx yang dicetuskan jaman dulu kala masih relevan disematkan bagi wartawan di era milenial sekarang ini. Yang setuju ya silahkan, yang tidak sepakat ya tidak dilarang. Bagi saya ini adalah kajian yang menarik tentang dinamika wartawan dan media di era milenial.Â
Saya termasuk orang yang mengamini bahwa semua kehidupan itu dinamis, dan teknologi berperan besar dalam setiap dinamika perubahan jaman. Kalau kita tidak tergerak untuk mengikuti dinamika tersebut maka kita akan habis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H