Mohon tunggu...
Syahrir Alkindi
Syahrir Alkindi Mohon Tunggu... Konsultan - Mencari

Penulis dan konsultan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bias Media terhadap Suku Asli Nusantara

21 September 2018   15:54 Diperbarui: 21 September 2018   16:20 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media sudah menjadi sumber informasi dan perumusan opini yang paling aktual. Persepsi dan common sense selalu bisa diciptakan lewat media. Pertanyaannya; apakah media sudah adil dalam menjalankan fungsinya dalam memaparkan informasi ke publik?.

Beragam suku dan etnis yang ada di Indonesia memiliki kekayaan dan keberagaman budaya yang luar biasa. Media seharusnya bisa memahami dan menyampaikan beragam kebudayaan tersebut lewat narasi yang netral dan membangun, terlepas dari stereotyping ataupun peyorasi. Sekarang kita pelan-pelan memberikan distingsi makna terhadap 'suku asli' dan 'pribumi'.

Sejarah bangsa ini melawan kolonialisme telah meromantisasi kata-kata 'pribumi' sehingga manusia Indonesia modern yang mengakui institusi norma dan agama tertentu dikategorikan pribumi, sedangkan beragam kebudayaan dan etnis yang memilih menggunakan adat dan kebiasaan leluhur mereka seutuhnya kerap kita katakan 'suku asli'.

Pemilahan kata ini tentu memberikan persepsi bahwa 'Suku Asli' itu ada diluar tiap-tiap diri kita yang mengaku 'Pribumi'. Distingsi ini kemudian menimbulkan persepsi, bahwa 'Suku Asli' memiliki dimensi kehidupan yang benar-benar berbeda dengan kita dan tentu saja hal ini berpengaruh terhadap bagaiman kita menyikapi mereka yang kita sebut 'Suku Asli'.

Peran media massa menjadi krusial disini. Tone pemberitaan dan pendekatan jurnalisme yang digunakan berpengaruh besar dalam menciptakan opini dan persepsi publik terhadap apa yang selama ini kita anggap 'yang lain'.

Konsep 'yang lain' memisahkan antara 'kita' dan 'mereka'. Perbedaan itu memang sebuah keniscayaan, tapi jangan sampai malah menjadi awal mula penistaan. Saat kita cenderung memandang mereka yang berbeda sebagai bentuk negasi dan oposisi dari apa yang kita sebut kebudayaan dan peradaban, maka pada letak itulah kita sudah menistakan entitas lain yang hidup berdampingan dengan kita.

Premis kehidupan normal yang sudah dianggap mapan dalam ruang publik kerap menganaktirikan kehidupan dan pola kebudayaan suku-suku asli yang sangat berbeda dengan keseharian kita. Sebagai contoh, pemberitaan mengenai kepercayaan leluhur masih dianggap sensitif. Suatu suku dianggap normal apabila menganut satu dari agama yang katanya 'diakui' tersebut.

Kepercayaan atau tradisi yang menjadi premis minor atau atribut sebuah perayaan tertentu tidak dianggap bermasalah, selama tidak bertentangan dengan sistem agama 'resmi' tersebut. Namun, jika suatu suku asli memeluk agama dan kepercayaan lokal -- sebenarnya sudah diakui kesahannya oleh MK (Mahkamah Konstitusi sekalipun, yang bertentangan dengan kelima agama resmi tersebut maka kerap kita sebut mereka sebagai sebuah entitas yang perlu 'diluruskan'.

Suku Anak Dalam pernah merasakan menjadi suku yang 'diluruskan'. Mereka diarahkan untuk memiliki KTP dan agama resmi demi mendapatkan pelayanan publik seperti kesehatan dan Pendidikan. Tujuannya memang baik, penulis tidak pernah meragukan komitmen dan keseriusan pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya. Namun, yang perlu disoroti lebih lanjut adalah tindakan imperatif untuk memeluk agama tertentu tersebut.

Media pun kerap ikut dalam membina persepsi miring publik terhadap kepercayaan suku asli. Proses kepindahan agama tersebut dianggap sebagai sebuah capaian dan prestasi pemerintah yang membanggakan.

Seperti pemberitaan Okezone yang berjudul: Besok, 404 Warga Suku Anak Dalam Jambi akan Memeluk Islam. Dan Jawapos.com yang menulis: Ketika FPI Menuntun Suku Anak Dalam Masuk Agama Islam 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun