Manusia dan identitas selalu beriringan, apapun tendensinya. Habitat dan lingkup hidup manusia mengharuskan adanya identitas yang dikenali sebagai bentuk rekognisi dan identifikasi subjek dalam lingkungannya.Â
Relasi intersubjektif menjadi lebih mudah saat identitas dikenali sebagai sarana komunikasi, bukan alasan berkomunikasi. Subjek yang beridentitas mengandaikan dirinya ter-representasikan di ruang publik dalam pola tertentu.
Pola interaksi yang buruk akan menyebabkan subjek berasumsi bahwa dirinya dinilai secara stigma-stigma dan stereotipe negatif tertentu dalam masyarakat. Saat subjek berasumsi terhadap identitas lain, maka segregasi bahkan konflik tidak dapat dihindari. Inilah Distopia yang sedang kita hadapi saat ini.
Relasi dan komunikasi selalu mengalami distorsi dan disrupsi, hal ini tidak dapat dielakkan seiring dengan berkembangnya teknologi. Teknologi menciptakan simulasi, realitas semu, hiper-realitas dan situasi-situasi lain yang mereduksi dimensi eksistensial manusia sebagai subjek dalam ruang publik. Teknologi memang sebuah keniscayaan, dari ilmu dan teknik sudah terkandung 'tujuan universal' yang didasari oleh kepentingan kelas dan situasi sejarah.
Teknologi tidak dapat dipisahkan dari term 'aparatur kekuasaan'. Kekuasaan -- termasuk dalam kategori kepentingan kelas selalu mengambil inisiatif untuk menguasai ilmu pengetahuan dan akses-akses terhadap teknologi yang digunakan dalam masyarakat. Fungsi Surveillanceatau pengawasan mutlak diperlukan dalam sebuah sistem kekuasaan.Â
Sejarah pun menunjukkan ilmu pengetahuan dan teknologi pada akhirnya digunakan untuk reproduksi ideologi kelas penguasa dalam sebuah tatanan masyarakat.
Kaitan antara teknologi dan kekuasaan berawal dari kritik Herbert Marcuse terhadap Max Weber terkait rasionalisasi dalam ruang publik. Max Weber beranggapan rasionalisasi berawal dari perhitungan pengusaha kapitalistis dan buruh industri terhadap implikasi-implikasi tertentu dalam sebuah tatanan masyarakat.Â
Marcuse mengkritik Weber bahwa sebenarnya apa yang disebut rasionalisasi tersebut sama sekali tidak mengandung rasionalitas. Bagi Marcuse, rasionalisasi adalah pelembagaan kekuasaan melalui penyusunan strategi, apakah teknologi yang dipilih akan sesuai dengan tujuan yang hendak diciptakan dalam situasi tertentu.
Tujuan, ideologi dan susupan politis sudah built-in dengan teknologi, bukan muncul belakangan. Perencanaan dan simulasi sosial tertentu sudah tertanam sebelum sebuah teknologi diciptakan dan diaplikasikan dalam masyarakat. Â
Kekuatan dan kekuasaan sekarang dilandasi oleh kemajuan teknologi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ironis memang, disamping segala kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan, teknologi menyimpan hasrat dan ambisi kekuasaan yang ter-legitimasikan.
Gejala ini dapat dilihat dari bertambahnya campur tangan negara atas nama kestabilan sistem dan  bertambahnya dependensi antara penelitian dan teknik, yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai kekuatan produksi utama ideologi.Â