Mohon tunggu...
Syahrir Alkindi
Syahrir Alkindi Mohon Tunggu... Konsultan - Mencari

Penulis dan konsultan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Babak Baru Populisme Indonesia

12 Desember 2017   17:30 Diperbarui: 12 Desember 2017   19:03 1571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.theindependentbd.com

Populisme menjadi tren baru perpolitikan Indonesia. Banyak orang beramai-ramai dan bergerombol tanpa adanya itikad baik dalam berdemokrasi. Bagi pecinta Populisme, pembentukan narasi tunggal mutlak hukumnya. Mereka selalu mengandaikan kelompoknya menjadi kelas politik penguasa dan akan melakukan opresi kepada kekuatan-kekuatan politik lainnya yang tidak sepaham. Hukum dan Pancasila kerap digembosi oleh kawanan yang selalu menimbulkan konflik dan perpecahan ini.

Populisme merupakan ancaman nyata bagi negara demokratis, termasuk demokrasi Pancasilais. Bangsa ini seharusnya tetap mengedepankan persaudaraan dan bukannya mengembangbiakkan paham gila kuasa nan otoriter. Populisme kanan (baca: Islam) makin menjamur. Tentu saja, populisme ini tidak mewakili Islam secara Universal, merekalah yang kerap mengaku mewakili umat dan melegitimasi tindakan kekerasan atas nama umat islam yang mereka 'bela'.

Populisme Islam memusuhi kaum-kaum Islam Moderat yang mereka anggap terlalu lunak dan kompromistis. Populis-populis ini hendak menghapuskan konsep Islam Nusantara dan membawa Islam dengan corak kebudayaan yang baru. Bahkan, dari segi politik, beberapa ormas Islam Radikal seperti FPI, FUI, HTI hendak mendirikan sistem kekhalifahan di Indonesia.

Dalam teori Politik, tindakan mereka sah-sah saja yaitu menyuarakan aspirasi dan berserikat untuk menyatakan kepentingan mereka. Namun, yang mereka perjuangkan kelak akan mematikan demokrasi itu sendiri. Secara perlahan namun pasti sistem kekhalifahan akan menampik sistem Demokrasi yang sangat berarti bagi keberagaman di bumi pertiwi ini.

Fenomena ini menjadi petaka bagi perpolitikan Indonesia, bagaimana tidak? Generalisasi dan labelisasi sebuah kelompok masyarakat semakin mudah dilakukan. Status dan hak kewarganegaraan semakin rentan diabaikan karena konflik horizontal kerap terjadi. Modernisasi moral menciptakan impunitas dan muncul segelintir elit yang cenderung 'kebal hukum'. Segelintir orang inilah yang akan menjadi public figuredan menjadi pucuk pimpinan populis-populis yang makin menjamur.

Populisme akan memunculkan dilema antara hukum dan moral, apalagi kasus yang digembosi adalah isu sektarian. Sedari dulu pemahaman akan bentuk NKRI yang berlandaskan hukum dan konstitusional kerap dicampuradukkan dengan berbagai nilai-nilai moral dan implikasi etis yang bersumber dari ajaran agama. Distingsi inilah yang harus dicapai terlebih dahulu untuk meredam keadaan yang semakin memanas.

Tidak mudah memang untuk mengajak berdiskusi mengenai struktur dan dasar negara. Terlalu banyak anasir yang dipaksakan masuk, dengan dalih menjaga Pancasila dan menjaga Indonesia dari Sekulerisme, populisme fundamentalis mengupayakan ajaran agama (dalam konteksi ini; Islam) menjadi patron dan patokan dalam tiap aspek bernegara. Ketimpangan antara moral dan hukum menunjukkan ketidaksiapan Indonesia menjalani Demokrasi Pancasilais secara utuh.

Indonesia memang tidak secara gamblang dapat disebut negara Sekuler, namun ada Demarkasi yang jelas bahwa Konstitusi Indonesia tidak menempatkan Agama sebagai peringkat teratas dalam menentukan suatu perkara. Hukum yang tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila merupakan otoritas tertinggi di Negeri ini. Inilah yang harus kita pahami bersama.

Konflik memang sebuah keniscayaan dalam proses politik, namun konflik tersebut harus dilaksanakan sesuai koridor hukum yang berlaku dan pertentangan sebaiknya tidak mengarah pada perpecahan dan tindak kekerasan. Disini letak masalah utamanya, munculnya Populisme menyebabkan peningkatan kekerasan dan perpecahan, perubahannya pun cukup terasa, belakangan ini makin mudah kita temukan adanya konflik terkait isu SARA.

Para Bigot dan orang-orang yang mudah tersulut amarahnya menjadi 'mangsa' utama Populisme. Bigot-bigot ini selalu mengandaikan dunia itu hitam-putih. Kebenaran ada pada dirinya dan kelompoknya dan kesalahan selalu ada pada kelompok yang berseberangan pendapat. Mereka tidak akan mau berdiskusi dan mendengarkan opini selain apa yang ingin didengar oleh mereka. Dikotomi keliru sudah menjadi sifat alami para Bigot.

Apa itu Dikotomi Keliru? Ini adalah sebutan dalam cabang Ilmu Logika untuk menunjukkan subjek yang meletakkan oposisi biner (dua hal yang berlawanan) namun tidak sesuai konteks dan proses penalaran. Dikotomi keliru akan menimbulkan sesat pikir dan penarikan kesimpulan yang tidak sahih. Ciri-ciri Bigot yang lainnya adalah memiliki fanatisme berlebihan entah itu pada agama, etnis, primordial dan lain-lain.

 Fanatisme berlebihan akan membutakan rasio serta akal sehat sehingga tidak mengherankan mereka selalu tampil penuh semangat dan membabi buta saat memperjuangkan kepentingan golongannya tanpa memikirkan dampak kekerasan apa yang mungkin mereka timbulkan. Sebagai nilai tukarnya, para Bigot akan merasa aman dan nyaman berada disekitar orang-orang sepemahaman dalam berbagai hal dan tidak perlu lagi melakukan proses diskursus karena kebenaran dan kepentingan sudah mutlak bagi mereka dan golongannya.

Lalu apa solusinya? Apakah perlu setiap orang di Republik ini beramai-ramai membentuk aliran populisme yang sangat rentan konflik? Populisme jauh berbeda dengan tindakan kolektif yang mengutamakan kepentingan tiap pihak dapat terpenuhi. Populisme tidak mengenal istilah diskursus. Konsensus dicapai karena tiap pihak yang ada dalam tubuh populisme tersebut sudah memiliki kepentingan yang sama sejak awal.

Alur konsensus seperti inilah yang sangat berbahaya, tidak ada lagi disensus dalam pencapaian konsensus. Saat kepentingan tidak berkenalan dan bersinggungan satu sama lain sebelum hadir di ruang publik, kebencian dan konflik lah yang akan muncul. Toleransi akan disalahartikan menjadi 'pengampunan' dari pihak mayoritas kepada minoritas. Perumusan sebuah norma akan didasarkan pada asas mayoritas, bukan lagi keadilan.

Setiap individu harus mengenali basis dan identitas politik apa saja yang ada disekitarnya agar tidak mudah terjerumus dalam populisme. Mengidentifikasi kekuatan politik akan memberikan ruang keberpihakan dan pembacaan kekuatan politik secara transparan. Kesadaran individu dan kekuatan politik yang sudah terlanjur menjadi populisme sangatlah diperlukan untuk memperbaiki keadaan ini.

Individu mesti memiliki akses yang transparan mengenai kepentingan dan identitas sebuah kekuatan politik. Begitupun sebaliknya, di dalam tubuh kekuatan politik harus terbentuk suasana diskursif yang tidak mengutamakan pembentukan narasi tunggal, namun memikirkan bagaimana caranya tiap-tiap kekuatan politik yang ada dapat memiliki porsi dan tersalurkan kepentingannya secara adil dan transparan di ruang publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun