Wacana tes keperawanan di Prabumulih menuai kontroversi. Ini bukan wacana pertama, dulu tahun 2010 di Jambi DPRD-nya pernah merancang peraturan tentang ini, tapi kandas. Ini diwacanakan terkait maraknya seks bebas di kalangan pelajar atau remaja. Sehingga, dikaitkan bahwa tes keperawanan mampu meminimalisir seks bebas. Benarkah? Apalagi disinyalir bahwa siswa yang terjaring tidak perawan lagi maka jelas ia tidak bisa lolos seleksi memasuki jenjang pendidikan tingkat SMA.
Lucunya, MUI Pemekasan Jawa Timur dalam menanggapi hal ini menyatakan “Siswa yang tidak perawan tidak perlu merasa dikucilkan. Sebab, pemerintah masih menyediakan sekolah paket yang bisa menampungnya.” Ini merupakan pendapat yang lebih tidak solutif lagi. Tidak memandang suatu masalah hingga ke akarnya. Seolah, pendidikan itu dipilah-pilah berdasarkan tingkat perawan tidaknya seorang peserta didik.
Remaja Dalam Dekapan Syahwat
Tes keperawanan muncul untuk menanggulangi seks bebas, agar pelajar menjaga virginitasnya. Mengingat saat ini banyak pelajar hamil di luar nikah. Fenomena ini sudah tidak asing lagi bagi negeri ini. Bahkan oleh sebagian pihak menganggap ini lumrah, sehingga merasa tidak resah atas dampaknya. Lebih anehnya, ada yang merasa tidak berdosa dan tidak bertanggungjawab dalam memberantas masalah remaja ini.
Sungguh, remaja saat ini sangat jauh dari nilai-nilai spiritual. Betapa banyak problem yang dihadapi remaja hingga menjadi generasi yang seolah tanpa masa depan. Fenomena kemerosotan moral misalnya, sudah demikian mengkhawatirkan. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut data: tiap tahun, 600.000 remaja putri hilang keperawanan. Lalu menurut data Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), 21 persen remaja atau satu dari lima remaja di Indonesia pernah melakukan aborsi (detik.com, 25/6/12).
Data diatas merupakan salah satu persoalan remaja, masih banyak masalah yang menjerat remaja semisal narkoba, miras, dan terjangkit HIV/AIDS. Segudang persoalan remaja itu, hingga kini belum terselesaikan. Bahkan kian tahun kenakalan remaja kian menggunung. Semestinya itulah yang menjadi perhatian semua pihak –termasuk media– untuk menyelesaikan secara terintegrasi dan tuntas.
Potret remaja rusak saat ini adalah produk sekularisme-liberal. Sekulerisme inilah yang mencekoki remaja dengan pemahaman yang salah mengenai hakikat hidupnya. Bahwa masa remaja adalah saat bersenang-senang, sehingga didalam benak remaja yang ada hanyalah hura-hura. Mereka tak terpisahkan dari gaya hidup materialistis, hedonis dan permisif. Tak peduli haram, merugikan pihak lain atau bahkan menjerumuskan diri pada kenistaan, yang penting kesenangan duniawi direngkuh.
Jika kita jeli mengamati maka akan ditemui bahwa keberadaan perempuan berstatus gadis belum menikah tapi sudah tidak perawan, hanya ada didalam masyarakat sekuler-kapitalis yang melegalkan seks pra-nikah alias seks bebas alias perzinahan. Seperti yang telah disebutkan diawal bahwa remaja dalam kehidupannya dibayangi pola hidup yang materialistis, hedonis, dan cenderung mengikuti life style terkini. Media elektronik pun cetak dengan bebas memberi akses dan ruang gerak bagi remaja untuk melampiaskan nafsu syahwatnya tanpa batas. Baik dalam akses situs-situs pornografi, kaset-kaset VCD porno maupun majalah vulgar bebas beredar dengan alasan bisnis (kapitalis). Remaja tanpa dibentengi keimanan dan tidak memahami hakikat hidupnya akan sangat mudah terjebak dalam perangkap sistem sekuler ini. Sehingga remaja tidak lagi dipandang sebagai generasi penerus bangsa tapi justru generasi yang perlahan tapi pasti tergerus dan terjebak dalam syahwat, yang sebenarnya diciptakan oleh sekuler-kapitalis itu sendiri.
Menyadari ruwetnya masalah remaja, ditambah wacana tes keperawanan, dalam hal ini Koalisi Pendidikan Indonesia Corruption Watch (ICW) menolak wacana tersebut. Mereka menilai, hal itu bertentangan dengan semangat konstitusi untuk memberikan akses pendidikan seluas-luasnya kepada anak bangsa (Okezoe, 21/8/2013). Bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Mohammad Nuh menyatakan tidak setuju ada sekolah yang memberlakukan tes keperawanan dalam seleksi siswa didik baru.
Berarti ada satu catatan yang perlu kita pahami bersama, bahwa akar masalahnya tidak terletak pada kelayakan remaja yang perawan menduduki bangku sekolah. Tetapi lebih menyorot pada biang penyebab maraknya seks bebas di kalangan pelajar. Dari penjabaran diatas jelas sudah bahwa seks bebas disebabkan oleh sekulerisme-kapitalisme.
Perlukah Tes Keperawanan dalam Islam?
Sementara dalam Islam, pada dasarnya perempuanyang belum menikah adalah perawan. Jadi, tidak dikenal adanya tes keperawanan didalam Islam. Remaja Islam dibekali oleh sebuah benteng kokoh yaitu akidah Islam. Akidah Islam menjadi filter baginya untuk mampu memilah antara halal dan haram dalam setiap aktivitasnya. Sehingga remaja ini meletakkan standar kebahagiaan bukan pada materi tapi pada meraih keridhoan Allah. Artinya, selama ini remaja Muslimah terjerembab dalam dunia hitam (seks bebas) karena kebanyakan mereka menstandarkan kebahagian pada materi dan nikmat duniawi saja. Remaja kita tak mempertimbangkan balasan dari Rabb-nya sebagai konsekuensi keimanannya.
Dalam hal ini, tentunya menjadi percuma tes keperawanan jika gaya hidup bebas dipertahankan. Siapa yang bisa menjamin usai tes masih bisa menjaga virginitas? Jadi, tidak perlu ada tes-tes keperawanan atau keperjakaan. Hanya melakukan sesuatu yang sia-sia menghabiskan dana untuk ters keperawanan jika seks bebas tidak diberangus, dilarang keras, diharamkan dan dihancurkan. Hanya ada satu solusi untuk mengakhiri masalh yang sistematis yaitu dengan mengganti sistem sekuler-kapitalisme dengan sistem Islam. Islam tidak mengenal tes keperawanan karena muslimahnya jujur mencantumkan status sesuai fakta: menikah atau tidak menikah. Selesai bukan?
Pendidikan yang dinyatakan harus dapat diakses oleh seluruh anak bangsa tentunya harus mampu mendidik peserta didik yang tak hanya mampu dari segi keilmuan tapi juga berkepribadian Islam. Tidak tepat jika kemudian disebut jika ada siswa yang terjaring tidak perawan lagi disediakan baginya sekolah paket. Artinya, pemerintah telah memilah-milah sekolah berdasarkan kategori perawan dan tidaknya. Ini sunguh bukan solusi yang bijak apalagi menyelesaikan masalah. Hal ini malah membawa Indonesia menjadi Negara yang memberi celah dan wadah seluas-luasnya bagi perkembanga seks bebas. Kenapa? Karena setiap pelaku tetap akan diberikan fasilitas. Ini bukan punishment tapi fasilitas yang akan menyuburkan seks bebas itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H