Oleh: Fadilah Rahmatan Al Kafi
Ungkapan bahwa "Pendidikan merupakan sesuatu yang bersifat fundamental demi kemajuan bangsa dan negara" sepertinya merupakan pernyataan yang mustahil untuk dibantah oleh kita semua. Para Founding Father yang memperjuangkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pun, sejatinya jauh-jauh hari telah menyadari pentingnya permasalahan tersebut dengan dirumuskannya Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang dalam Pasal 1-nya menyebutkan bahwa "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan." Hematnya, Pendidikan yang layak bagi seluruh warga negara merupakan amanah konstitusi yang wajib untuk dilaksanakan.
Sayangnya sebagai akibat dari berjalannya sistem ekonomi kapitalis di Indonesia, komersialisasi pendidikan menjadi sebuah realita sosial yang tidak bisa kita sangkal keberadaannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komersialisasi sendiri merupakan perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan demi terwujudnya keuntungan ekonomi. Bagi para pendukung komersialisasi pendidikan, praktik tersebut dapat dibenarkan karena secara nyata input kapital atau modal yang diperoleh dari dijadikannya pendidikan sebagai objek yang diperjualbelikan dapat meningkatkan kualitas dari layanan pendidikan itu sendiri, selain itu komersialisasi pendidikan juga bisa mengurangi beban negara sehingga anggaran yang dimiliki dapat difokuskan untuk keperluan-keperluan lain yang kiranya lebih penting.
Permasalahannya, pendidikan pada akhirnya turun marwahnya menjadi sebuah jasa yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang atau privilege bagi masyarakat yang mampu secara ekonomi. Akibatnya, kesenjangan sosial pun meroket dan pastinya akan muncul permasalahan-permasalahan turunan lainnya yang dapat menghambat laju perjuangan bangsa. Kebijakan yang diterapkan di Indonesia, sebenarnya sudah mengambil titik kompromi antara amanah konstitusi dengan permintaan pasar khususnya terkait dengan urusan pendidikan, dengan mengizinkan berdirinya yayasan atau lembaga pendidikan swasta selain dari lembaga pendidikan negeri guna memberikan pilihan bagi masyarakat luas dan mengurangi beban langsung yang ditanggung oleh negara terkait amanah pendidikan.
Penulis disini tidak mempermasalahkan keberadaan lembaga pendidikan swasta dengan tarif pendidikan yang tinggi berdasarkan skema ekonomi pasar, selama kualitas pendidikan yang diberikan selaras dengan bayaran yang diterimanya, lagipula apa yang salah jika golongan menengah ke atas di Indonesia menginginkan pelayanan yang lebih terkait pendidikan karena mereka memiliki harta kekayaan yang memadai. Problemnya, dewasa ini kasus tersebut justru terjadi di lembaga pendidikan negeri yang notabenenya menjadi garda terdepan yang melaksanakan amanah pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia berdasarkan UUD 1945, maka tanpa perlu penjabaran yang panjang lebar lagi terwujudlah mimpi buruk "Orang Miskin Dilarang Sekolah!" sebagaimana judul buku yang ditulis oleh Eko Prasetyo.
Kasus Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menawarkan skema pembayaran uang kuliah menggunakan Pinjaman Online (Pinjol) bagi mahasiswa yang sedang terdesak ekonominya, oleh karena itu merupakan sesuatu yang sangat bermasalah karena ITB yang notabenenya merupakan Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum (PTN-BH) justru menggunakan logika kapitalisme yang singkatnya berusaha mencari peluang keuntungan ekonomi dari segala kebutuhan pasar yang ada dalam menyikapi permasalahan adanya mahasiswa yang terkendala membayar uang kuliah. Kasarnya, "Bisa-bisanya malah cari untung dari adanya golongan yang seharusnya mendapatkan bantuan dan perlindungan agar tetap dapat melanjutkan pendidikan."
Â
Sekali lagi, yang penulis tekankan ialah tidak masalah jika memang kebijakan tersebut dilaksanakan oleh lembaga pendidikan swasta dan pembaca pun pasti memahami alasannya, selain itu meskipun ITB sendiri memang berstatus sebagai PTN-BH yang memiliki  otonomi penuh dalam mengelola keuangan dan sumber daya, termasuk dosen dan tenaga kependidikan, sangat tidak pantas otonomi tersebut dimanfaatkan dengan menggunakan mindset komersialisasi yang kapitalistik, karena jangan lupa bahwa di belakang kata BH masih ada singkatan PTN dalam status hukum ITB. Sudah menjadi kewajiban bagi para kampus yang memiliki status Perguruan Tinggi Negeri untuk memberikan layanan pendidikan terbaik bagi generasi penerus bangsa tanpa memandang latar belakang sosial dan ekonomi, karena kalau memang sudah seperti ini kasus (Baik PTS maupun PTN sama-sama melaksanakan praktik komersialisasi pendidikan) YA APA GUNA ADA PTN!!
Menurut pihak ITB, skema Student Loan atau pinjaman siswa sudah diterapkan di negara-negara lain dan Indonesia tidak boleh alergi terhadap perkembangan praktik tersebut, pernyataan tersebut adalah benar namun yang perlu dikritisi ialah praktik tersebut bahkan di negara lain pun juga lebih banyak menimbulkan masalah daripada manfaatnya. Amerika Serikat (AS) contohnya, jasa pinjaman pelajar yang disediakan oleh kampus-kampus di negeri Paman Sam justru berbuah pada tingginya persentase pelajar yang mengalami gagal bayar atas utang yang dipinjamnya, dan karena peliknya permasalahan tersebut Administrasi Joe Biden sampai mengumumkan program pengampunan utang pelajar yang dibiayai oleh negara. Angka yang dikeluarkan oleh Gedung Putih pun juga cukup fantastis yakni diangka hampir 5 Miliar USD pada 2023 dan awal januari 2024 ini, tambahan anggaran sebesar 4,9 Miliar USD untuk bantuan pelunasan utang pelajar telah diumumkan oleh Gedung Putih.
Sekarang mari sama-sama kita merenung, apakah kasus yang sama juga akan terjadi di Indonesia, bukannya penulis mau berprasangka buruk namun AS yang notabenenya telah berpengalaman melaksanakan sistem ekonomi kapitalis saja secara nyata kelimpungan menghadapi permasalahan banyaknya pelajar yang mengalami gagal bayar sampai harus dibantu pelunasannya oleh pemerintah. Bagaimana Indonesia yang gaya pasar bebasnya masih berkutat pada Kapitalisme Kroni atau sistem pasar bebas yang bekerja sama dengan Kolusi dan Nepotisme.
Sebagai penutup, penulis secara tegas mengambil sikap bahwa program ITB tersebut merupakan sesuatu yang layak untuk ditolak dengan tegas, karena segala bentuk upaya yang berusaha menjadikan pendidikan sebagai layanan yang hanya menguntungkan golongan ekonomi menengah ke atas, secara nyata merupakan perwujudan dari gagasan jahat yang tidak berperikemanusiaan dan bertentangan dengan amanah mulia Konstitusi Republik ini.