Oleh: Fadilah Rahmatan Al Kafi
Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, istilah politik identitas seringkali mendapatkan sentimen negatif bahkan cenderung dianggap tabu oleh para politisi maupun partai politik arus utama. Hematnya, mereka berusaha bermain secara aman dan pragmatis dengan membranding diri maupun kelompoknya sebagai barisan pejuang yang yang paling pro terhadap kebutuhan dan keinginan rakyat tanpa membawa posisi politik atau latar belakang ideologis yang jelas. Istilah identitas dalam konteks politik, pada akhirnya didiskreditkan sebagai sumber kerusuhan bahkan perpecahan bangsa.
Pertanyaannya, apakah politik dan identitas merupakan dua unsur yang bertentangan? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah identitas diartikan sebagai "Jati Diri" atau keyakinan, karakter kepribadian, tampilan, serta ekspresi yang menjadi ciri khas yang dipegang oleh individi ataupun kelompok tertentu. Merujuk Peter Burke, "Identitas memberi tahu kita siapa kita dan mengumumkan kepada orang lain siapa kita." Berdasarkan definisi tersebut, tanpa perlu penjabaran yang panjang lebar, kiranya dapat dipahami bahwa dunia politik merupakan sesuatu yang mustahil untuk dipisahkan dari konsep identitas karena setiap politisi maupun kelompok politik tertentu pastinya memiliki identitas yang diyakini dan dipasarkan olehnya.
Hilangnya unsur identitas dalam dunia politik, hanya menyebabkan istilah tersebut menjadi hampa dan tidak berarti. Akibatnya, virus Pragmatisme Materialistik akan semakin tertanam dalam sistem politik di Indonesia, sebab para politisi maupun partai politik yang ada tidak lagi memiliki jati diri atau nilai, baik yang berbasiskan etnis, nilai agama, maupun ideologi yang diperjuangkan. Perjuangan politik menjadi turun marwahnya, hanya sebagai pertarungan taktis untuk memperebutkan jabatan tertentu demi mendapatkan keuntungan yang sifatnya materiel sesaat. Tanpa adanya identitas yang jelas, posisi politik dan kompas moral para politisi maupun partai politik pun pada akhirnya juga patut untuk dipertanyakan.
Negara-negara maju yang ada di dunia, jika ditelisik juga tidak menghilangkan dialektika atau pertentangan identitas dalam dunia politiknya. Contohnya di Jerman, Partai Sosial Demokrat Jerman yang notabenenya saat ini merupakan partai penguasa di sana, selalu mengangkat identitas perbedaan kelas, perjuangan buruh, serta ideologisasi Sosial Demokrasi sebagai jati diri yang mereka perjuangkan. Persatuan Demokrat Kristen Jerman selaku pihak oposisi, di sisi lain selalu mengkampanyekan nilai-nilai demokrasi Kristen dan Konservatisme Liberal yang mengangungkan tradisi bangsa Jerman. Kedua partai besar tersebut, dalam setiap pertarungan politik maupun ketika memegang roda kendali pemerintahan, secara nyata dan terbuka mengangkat identitas tertentu sebagai sesuatu yang layak untuk diimplementasikan. Negara-negara lain seperti Inggris dengan Partai Buruh versus Partai Konsevatif dan Amerika Serikat dengan Partai Demokrat versus Partai Republik juga memiliki identitas partai yang jelas dan berlawanan.
Lalu mengapa istilah identitas dalam dunia perpolitikan di Indonesia memiliki stigma yang negatif sehingga seluruh partai politik yang ada cenderung kabur terkait jati diri atau ideologi partainya? Permasalahan tersebut selain karena faktor pragmatis, juga disebabkan oleh pengalaman bangsa yang dalam sejarahnya menghadapi gejolak politik ekstrem yang tidak bisa dilepaskan dari unsur identitas. Misalnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia dengan identitas berbasis ideologi yang menjadi api pemantiknya, pemberontakan Negara Islam Indonesia dengan latar belakang agama, hingga gerakan Papua merdeka dengan faktor perjuangan etnis sebagai salah satu identitas yang diangkat.
Penulis sendiri tidak menyangkal keberadaan dari fakta-fakta tersebut, namun justru yang harus digaris bawahi dalam perbaikan dunia politik di Indonesia justru bukanlah penghilangan unsur identitas atau jati diri yang diperjuangkan, namun konsensus bersama dan pembangunan mekanisme politik yang menjamin berjalannya politik identitas yang beradab, bebas dari unsur kekerasan, dan menomorsatukan pertarungan gagasan yang rasional, bukan politik identitas yang disebabkan oleh kebencian atau sentimen komunal tak beralasan terhadap golongan-golongan tertentu. Garis pembatas yang jelas memang tetap harus ada, demi menjamin agar jangan sampai narasi identitas yang ekstrem, melegitimasi kekerasan, kebenaran eksklusif, dan supremasi kelompok, menyeruak dan mendapatkan panggung utama.
Hans Kelsen sendiri menyatakan bahwa politik dari aspek etik digunakan selaras dengan tujuan manusia ataupun individu berdasarkan nilai tertentu demi dapat hidup secara sempura. Berdasarkan pendapat tersebut, maka jelas lah bahwa penghilangan total unsur identitas dalam dunia politik di Indonesia hanya akan menyebabkan dialektika nilai dan ideologi yang luhur menjadi sirna, tergantikan dengan penyakit pragmatisme materialistik yang mengamini rumus "Tujuan Menghalalkan Segala Cara" hanya untuk mencapai target politik yang diinginkan, bukan lagi demi masa depan bangsa dan negara yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H