Mohon tunggu...
Al Johan
Al Johan Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuka jalan-jalan

Terus belajar mencatat apa yang bisa dilihat, didengar, dipikirkan dan dirasakan. Phone/WA/Telegram : 081281830467 Email : aljohan@mail.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Sejuta Cerita di Balik Meja Kantor

20 Februari 2012   16:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:25 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13297554851539138599

Tanpa terasa, tahun ini masa dinas saya di kantor saya sekarang ini sudah memasuki tahun yang ke-19. Kalau semuanya lancar, insyaallah tahun depan saya akan menerima penghargaan masa karya 20 tahun.

Banyak suka dan duka yang saya alami selama bekerja di kantor, baik yang menyangkut pribadi, keluarga, rekan-rekan kerja, dinamika perusahaan maupun berbagai peristiwa lain yang terjadi sekitar saya. Jika semua ditulis mungkin bisa mencapai lebih dari sejuta cerita.

[caption id="attachment_164036" align="aligncenter" width="600" caption="Sejuta cerita di balik meja kantor (Gambar : www.cvinside.co.uk)"][/caption] Pertama kali kerja saya ditempatkan di kota Solo pada tahun 1993, sebelum itu saya harus mengikuti pendidikan kedinasan selama satu tahun di Bandung.

Beberapa kenangan dan peristiwa yang masih saya ingat selama kerja di Solo antara lain adalah tiga anak gadis saya semuanya adalah benih yang tumbuh di Solo, meskipun yang benar-benar lahir di Solo hanya anak kedua. Anak pertama lahir di tempat mertua saya di Yogyakarta, sedang yang nomor 3 lahir di Tulungagung, dua bulan setelah saya pindah dari Solo.

Selama bertugas di Solo jabatan saya adalah kepala bagian, tetapi karena saya masih “culun”,  saat itu saya sering dikerjai oleh para staf saya. Maksud mereka baik, bukan untuk menjerumuskan atau mencelakakan saya, tetapi lebih untuk menguji nyali saya agar saya lebih jeli dan profesional melakukan pengawasan terhadap hasil kerja anak buah.

Salah satu kenangan pahit yang tidak bisa dilupakan selama saya bertugas di Solo adalah peristiwa 13 Mei 1998, kerusuhan masal yang brutal, kejam dan anarkis yang meluluhlantakkan seluruh sudut kota yang biasanya adem ayem ini. Peristiwa kelabu yang juga terjadi di beberapa kota lain ini berakhir dengan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatan presiden yang telah dipegangnya selama 32 tahun.

Waktu itu saya berada dalam perjalanan kereta api dari Yogyakarta, kereta tidak bisa langsung menuju ke Solo dan sempat tertahan beberapa jam di Klaten. Ketika sampai di Solo pada malam hari, kota ini telah menjadi kota mati. Listrik padam, jalanan lengang, toko dan bangunan masih yang menyala-nyala terbakar, disana-sini banyak tentara berjaga, juga tak ada kendaraan umum yang beroperasi. Beruntung saya mendapat tumpangan becak untuk pulang ke rumah dinas saya di daerah Manahan, itupun harus melalui lorong-lorong kampung, abang becak tidak berani melewati jalan utama.

Tahun 1999 setelah bertugas selama 5,5 tahun di Solo saya di pindahkan ke sebuah kota kecil di Jawa Timur, yaitu Tulungagung, ceritanya saya ditunjuk sebagai kepala kantor cabang. Sebagai kepala kantor yang mendapat jatah rumah dinas di sebelah kantor, saya harus siap bertugas selama 24 jam dalam sehari. Tidak hanya melayani masalah-masalah kedinasan saja, tetapi juga harus siap mendamaikan suami-istri yang hendak bercerai, dimintai nasehat untuk problem anak-anak mereka, konsultasi pernikahan, penyakit, masalah hutang dan lain sebagainya.

Kadang-kadang geli juga kalau mengingat masa-masa itu. Saya sendiri saat itu sedang belajar menjadi orang tua dengan pengalaman masih nol, kok malah banyak diminta nasehat dan petunjuk oleh orang-orang yang lebih tua.

Selama bertugas di kota marmer ini, ada satu peristiwa nahas yang sangat memilukan saya. Dua hari menjelang lebaran, pegawai kantor saya yang bertugas mengambil uang dari sebuah bank dirampok di tengah jalan. Saat itu saya sekeluarga sudah bersiap-siap pulang ke Yogyakarta untuk merayakan lebaran. Akhirnya semua yang direncanakan menjadi batal, dan salah satu akibat dari peristiwa tersebut adalah saya mendapat hukuman disiplin karena dianggap lalai mengelola kantor sehingga menimbulkan kerugian perusahaan.

Setelah itu, pada tahun 2001 saya dipindahtugaskan ke kantor wilayah di Palembang. Di kota pempek ini saya banyak mendapat pengalaman baru, baik yang berkaitan dengan pekerjaan maupun hal-hal lain. Kebetulan saat itu saya ditempatkan di bagian audit internal yang harus bertugas melaksanakan pemeriksaan rutin di kantor-kantor yang wilayahnya meliputi Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, Lampung dan Bengkulu. kota-kota di 5 propinsi tersebut sudah saya jelajahi semua, bahkan sampai ke wilayah pelosok pedesaannya.

Satu pengalaman “heroik” yang tidak mungkin saya lupakan selama bertugas di Palembang adalah ketika saya harus memeriksa sebuah kantor unit yang berlokasi di daerah transmigrasi di jalur anak sungai Musi. Saat itu saya harus pulang naik speed boat yang hanya bisa dinaiki 3 orang di malam hari. Saat itu arus sungai Musi sangat deras, hujan turun cukup lebat, mesin speed boat sempat mati beberapa kali, setiap kali berpapasan dengan kapal yang lebih besar speed boat terombang-ambing seperti mau terbalik dan yang lebih gawat lagi, daerah tersebut selama ini dikenal sebagai daerah yang rawan dengan perampokan.  Selama perjalanan tersebut mulut saya hanya bisa berkomat-kamit dan berdoa mudah-mudahan Tuhan menyelamatkan perjalanan saya.

Akhirnya, pada tahun 2004 saya dipindahkan ke ibukota. Sebenarnya sejak awal bekerja saya berharap supaya tidak ditempatkan di ibukota Jakarta. Tetapi ternyata perusahaan memutuskan lain, saya harus berangkat karena di awal pengangkatan menjadi pegawai dulu, saya telah menandatangani surat perjanjian bahwa saya sanggup ditempatkan dimana saja di seluruh wilayah Indonesia.

Awal-awal berada di Jakarta saya seperti mengalami siksaan. Ketika berdinas di daerah dulu semuanya serba mudah, rumah dinas ada, transportasi lancar, jam 4 atau 5 sore sudah bisa berkumpul dengan keluarga dan lain-lainnya. Sementara di Jakarta, saya harus mencari kontrakan sendiri yang harga sewanya cukup mahal dan jauh dari kantor pula, saya harus ikut berjubel naik KRL yang penumpangnya seperti ikan dipepes atau kalau tidak harus rela berada dalam kemacetan selama berjam-jam di seluruh ruas jalanan Jakarta. Selain itu, saya harus siap berangkat pagi dan pulang larut malam dan lain-lainnya. Kayaknya tak ada nikmatnya sama sekali hidup di Jakarta.

Tetapi kini, setelah 7 tahun bertugas di ibukota, saya malah menjadi malas jika harus berpindah tugas ke kota lain, padahal problema Jakarta dari hari ke hari bukannya tambah nyaman, tetapi malah tambah ruwet.

Macet, berjubel, berangkat pagi-pagi, pulang larut malam dan berbagai permasalahan lain di Jakarta ini malah menjadi candu yang semakin “asyik” dinikmati. Dan ternyata perasaan semacam ini tidak hanya saya rasakan sendiri saja. Banyak teman lain yang juga merasakan “kenikmatan” serupa di Jakarta ini, beberapa rekan bahkan rela menerima sangsi dari perusahaan karena menolak dipindahkan ke kota lain.

Saking cintanya pada Jakarta, mereka sampai bilang boleh dipindah ke kantor mana saja di Indonesia, yang penting setiap hari masih dapat melihat Tugu Monas. Kira-kira faktor apa ya yang membuat begitu banyak orang begitu terpesona dengan Jakarta ini ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun