Selama dua tahun, dari 1999 sampai 2001, saya pernah tinggal di Tulungagung, Jawa Timur. Salah satu pemandangan menarik yang dapat kita saksikan di seluruh wilayah kabupaten penghasil marmer tersebut adalah banyaknya berdiri bangunan rumah yang megah dan besar.
Di wilayah pedesaan seperti di Kecamatan Kalidawir, Besuki, Pucanglaban dan Ngantru, kita dapat memastikan bahwa sebagian besar rumah tersebut dibangun dari hasil keringat para tenaga kerja yang bekerja di luar negeri. Tulungagung selama ini memang dikenal sebagai pengekspor TKI (Tenaga Kerja Indonesia) terbesar ke berbagai negara. Negara tujuan utamanya antara lain Malaysia, Singapura, Taiwan, Arab Saudi, Hongkong dan Korea.
Dulu, desa-desa di Tulungagung sangat akrab dengan wajah kemiskinan. Mata pencaharian mereka sebagaian besar adalah di sektor pertanian. Lahan pertanian yang sempit dan tidak begitu subur menjadikan keadaan ekonomi mereka tidak kunjung membaik dari tahun ke tahun.
Keadaan ini kemudian mendorong beberapa tenaga kerja setempat nekad mencari kerja di luar negeri. Mereka sanggup bekerja di bidang apa saja, mulai dari kuli bangunan, buruh di perkebunan, pembantu rumah tangga dan pekerjaan-pekerjaan lain yang lebih banyak mengandalkan tenaga fisik.
Setelah merantau beberapa lama, satu dua orang di antara mereka mulai ada yang mengirimkan hasil jerih payah mereka kepada sanak kerabatnya di kampung, lengkap dengan bumbu cerita “sukses” selama mereka berada di manca negara. Bekerja di luar negeri, meskipun harus berpisah jauh dengan sanak keluarga, ternyata memberikan hasil yang lebih besar dibanding ketika mereka bekerja di kampung sendiri.
Cerita sukses ini kemudian menarik minat banyak orang untuk mengikuti jejak mereka. Pada tahun 1984 terjadi gelombang besar keberangkatan para TKI Tulungangung ke manca negara melalui beberapa Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang telah mempunyai jalinan dengan pihak-pihak yang siap menyerap para TKI di negara tujuan.
Lambat laun mereka mulai bisa mengangkat keadaan ekonomi keluarga mereka. Rumah-rumah mereka mulai diperbaiki dengan bangunan yang lebih bagus dan permanen.
Jumlah uang yang dikirim oleh para TKI tersebut cukup besar kontribusinya dalam menggerakkan roda kehidupan ekonomi di Tulungagung.
Jumlah kiriman uang dari para TKI tersebut untuk setiap desa mencapai 3-4 milyar rupiah. Jumlah uang total setahun yang dikirim oleh para TKI untuk sanak keluarga mereka di kampung diperkirakan lebih dari 600 milyar rupiah. Mereka memanfaatkan jasa perbankan maupun kantor pos untuk melakukan pengiriman uang tersebut.
Jumlah TKI Tulungangung yang bekerja di luar negeri saat ini diperkirakan lebih dari dari 30 ribu orang.
Tingginya Angka Perceraian
Di balik cerita sukses para TKI tersebut, ternyata juga menyimpan banyak catatan masalah. Baik masalah yang menyangkut nasib para TKI sendiri di manca negara, maupun masalah yang ditinggalkan di kampung halaman mereka.
Cerita sedih para TKI di luar negeri yang disiksa, dilecehkan, diperkosa para majikan, dihukum di penjara, yang pulang sudah menjadi mayat atau tinggal nama dan seribu cerita sedih lainnya seakan-akan sudah menjadi hal yang sangat akrab dengan para TKI tersebut.
Bahkan, cerita sedih itu tidak hanya terjadi di luar negeri, ketika mereka pulang kampung, karena kontrak yang telah habis atau ingin melampiaskan rasa rindu mereka pada keluarga, banyak diantara mereka yang mendapat perlakuan yang tidak senonoh di negaranya sendiri. Mereka masih sering mengalami pemerasan, pemerkosaan, perampokan oleh orang-orang Indonesia sendiri yang berpura-pura menjemput mereka di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.
Masalah lain yang menonjol di kalangan keluarga TKI adalah tingginya perceraian di kalangan mereka. Menurut catatan dari kantor Pengadilan Agama Tulungagung, setiap bulannya lebih dari 180 pasangan suami istri menjalani proses perceraian. Ini artinya, setiap hari di Tulungagung terdapat 6 orang janda dan 6 orang duda baru.
Salah satu penyebab perceraian yang menonjol adalah perselingkuhan. Di Tulungagung, banyak suami atau istri yang kesepian karena ditinggal pasangannya bekerja di luar negeri. Mereka akhirnya berusaha melampiaskan kesepian tersebut dengan orang lain. Banyak di antara mereka yang menggunakan uang yang dikirim oleh keluarga mereka di rantau untuk berfoya-foya dan dihambur-hamburkan demi membunuh kesepian tersebut.
PA Tulungagung, Lain dari yang Lain
Salah satu kantor yang secara tidak langsung disibukkan dengan efek banyaknya TKI Tulungagung yang bekerja di luar negeri ini adalah kantor Pengadilan Agama (PA) Tulungagung. Kantor ini setiap hari banyak memproses perceraian pasangan suami istri, termasuk dari kalangan keluarga TKI.
[caption id="attachment_148561" align="aligncenter" width="544" caption="Gedung Pengadilan Agama Tulungagung (gambar diolah dari www.badilag.net)"][/caption] Sebagai kantor yang setiap harinya didatangi banyak orang, kantor PA Tulungagung berusaha menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Kalau ada pemilihan kantor PA terbaik di Indonesia, saya yakin kantor PA Tulungagung akan terpilih sebagai nomor satu.
Bangunan gedungnya tidak kalah dengan gedung instansi pemerintah atau perusahaan bonafid lain. Di dalamnya juga dilengkapi dengan mesin antrian. Tiga orang resepsionis secara khusus disiapkan untuk melayani tamu-tamu yang datang. Blangko-blangko dan informasi lain juga disiapkan secara lengkap dan mudah diakses.
Pelayanan yang diberikan di kantor PA Tulungagung kelihatannya tidak kalah dengan pelayanan di kantor perbankan. Bedanya, kalau perbankan melayani pengiriman uang TKI, sementara kantor PA melayani proses perceraian keluarga TKI.
Setiap orang yang keluar dari bank biasanya wajahnya akan berseri-seri, mereka tampak senang menerima kiriman segepok uang dari keluarga di rantau. Lantas, mereka yang keluar dari kantor PA, kira-kira bagaimana ya wajah-wajah mereka, masih tetap ceria atau justru sebaliknya ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H