Mohon tunggu...
Al Johan
Al Johan Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuka jalan-jalan

Terus belajar mencatat apa yang bisa dilihat, didengar, dipikirkan dan dirasakan. Phone/WA/Telegram : 081281830467 Email : aljohan@mail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jaman Saiki

19 Oktober 2014   17:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:29 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Orang-Orang Kantoran

#2  Jaman Saiki

Sekitar 15 tahun lalu, saya punya wakil kepala kantor, namanya Pak Bintaman, kami biasa memanggilnya Pak Bin. Orangnya tinggi gemuk, perut agak membuncit, kepala botak, kumis tipis dan berkaca mata. Dua tahun lagi dia akan memasuki masa pensiun.

Jabatan wakil  biasanya memang diberikan kepada mereka yang sudah senior dan sudah malang melintang bertugas di berbagai tempat.

Sedangkan untuk jabatan kepala biasanya dijabat oleh yang lebih muda yang wawasannya lebih luas. Biasanya kepala ini  adalah para lulusan S2 yang didrop dari kantor pusat. Mereka telah lolos dari seleksi yang ketat.

Menurut arsip di catatan kepegawaian, Pak Bin pernah bertugas di 7 tempat yang berbeda, di Jawa maupun luar Jawa. Kantor saya memang punya cabang di seluruh Indonesia. Ketika diangkat menjadi menjadi pegawai, kami harus menandatangani surat pernyataan bahwa kami sempat ditempatkan di mana saja di seluruh wilayah Indonesia.

Karena itu kemampuannya untuk menangani operasional perusahaan sudah tidak diragukan lagi. Dari mulai bidang operasional, kepegawaian, sarana maupun keuangan. Yang kurang dia kuasai adalah kemampuannya di bidang komputer. Maklum dia termasuk generasi lama yang dididik serba manual. Tapi kalau hanya mengetik saja, dia masih bisa.

Pak Bin termasuk atasan yang disukai oleh para bawahannya. Meskipun jabatannya tinggi tetapi dia tidak jaim, jaga image. Dia bisa berhaha-hihi dengan karyawan ingusan yang baru diangkat seperti saya. Dia juga mau makan bareng karyawan biasa di pinggir jalan. Dia juga suka bercanda dan jarang marah. Sehingga hampir semua karyawan akrab dan hormat pada dia.

Sebagai wakil, Pak Bin mendapat jatah rumah dan mobil dinas. Saya kebetulan juga mendapat jatah rumah dinas di dekat dia. Sesekali saya ikut mendompleng mobil dinasnya ketika berangkat ke kantor. Waktu itu saya belum punya kendaraan roda dua untuk pulang pergi ke kantor.  Tetapi lama kelamaan jadi tidak enak. Numpang kok terus-terusan. Selanjutnya saya lebih banyak naik kendaraan umum daripada ikut naik mobilnya.

Pak Bin juga termasuk senang bercerita tentang berbagai macam penugasannya. Dia punya banyak cerita ketika bertugas di kota A, yang berbeda dengan saat bertugas di kota B, C, D dan seterusnya. Kami para karyawan muda tentu senang mendengarkannya. Siapa tahu suatu saat kami juga akan ditempatkan di kota dimana Pak Bin pernah bertugas. Paling tidak sedikit tahu tentang kota-kota tersebut.

***

Di luar cerita tentang kantor dan kota-kota itu, ada satu kosa kata yang selalu diulang-ulang Pak Bin dalam ceritanya, yaitu Jaman Saiki. Yang dimaksud Pak Bin dengan Jaman Saiki bukanlah arti harfiah dalam bahasa Jawa yang berarti jaman sekarang, bukan itu.

Yang dimaksud Pak Bin dengan jaman Jaman Saiki adalahJaman Sak Iki, setiap kali cerita Pak Bin selalu memasukkan tangannya ke dalam kantung baju.  Jaman Sak Iki, jaman dimana semuanya diukur dengan sesuatu yang bisa masuk ke dalam kantung, yaitu duit. Jadi Jaman Saiki adalah Jaman Sak Iki,  Kini adalah Jaman Saku.

Saya tidak tahu mengapa Pak Bin banyak bercerita tentang Jaman Sak Iki tersebut. Hanya guyonan atau falsafah hidup yang dipakai Pak Bin. Kalau sebagai falsafah hidup, kayaknya tidak. Hidup Pak Bin dan keluarga terlihat sederhana untuk ukuran orang dengan pangkat dan jabatan seperti dia.

Atau mungkin hanya untuk mengingatkan saya dan para karyawan yang lebih muda dari dia, bahwa suatu saat Jaman Sak Iki itu akan berlaku dimana-mana. Dan memang, sekarang semuanya serba Jaman Sak Iki. Semuanya harus pakai yang bisa masuk ke saku. Semuanya harus pakai duit untuk mengurus segala sesuatu.

Kalau begitu Pak Bin benar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun