Mohon tunggu...
Al Johan
Al Johan Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuka jalan-jalan

Terus belajar mencatat apa yang bisa dilihat, didengar, dipikirkan dan dirasakan. Phone/WA/Telegram : 081281830467 Email : aljohan@mail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Cerita Tentang Desa Tieng Wonosobo Yang Indah dan Penuh Kenangan

2 Juni 2014   23:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:47 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah mengunjungi Telaga Menjer di Garung, Wonosobo, kami bergerak menuju Desa Tieng di Kecamatan Kejajar, masih masuk wilayah Kabupaten Wonosobo. Tetapi sebelumnya kami harus mencari warung makan dulu karena saat berangkat dari rumah orang tua di Ngadirejo Temanggung, perut belum sempat terisi.

Mencari warung makan di Garung ternyata nggak mudah. Kami hanya mendapati satu warung yang menyediakan menu kupat tahu dan bakso. Kami memesan kupat tahu, sayang semuanya disajikan serba dingin, padahal biasanya tahu selalu digoreng lebih dahulu. Karena lapar, sepiring kupat tahu itu akhirnya kami lahap habis.

Selesai makan kami menyetop lagi bus kecil jurusan Dieng.  Kurang lebih seperempat jam kemudian, bus yang kami tumpangi telah sampai ke Desa Tieng. Tetapi kami tak berhenti disitu, kami memutuskan jalan terus dan baru berhenti di sebuah gardu pandang yang berada di atas Desa Tieng.

[caption id="attachment_326733" align="aligncenter" width="540" caption="Gardu Pandang Tieng"][/caption]

Dari tempat inilah kami bisa memandangi keindahan tempat di sekitar kawasan tersebut. Pemandangan Gunung Sindoro yang gagah dan anggun, kawasan perbukitan yang ditanami kentang dan tembakau. Dari tempat ini juga terlihat kawasan pemakaman padat penduduk Desa Tieng. Desa ini termasuk desa terpadat di Kecamatan Kejajar, Wonosobo.

[caption id="attachment_326734" align="aligncenter" width="540" caption="Pemandangan Desa Tieng dari gardu pandang"]

14015542642047495944
14015542642047495944
[/caption]

Setengah jam kemudian, setelah sempat menghabiskan secangkir kopi Purwaceng, jamu kuat alami khas Dieng, di warung yang berada di gardu pandang, kami memutuskan untuk turun ke Desa Tieng. Desa ini punya tempat yang sangat istimewa dalam kehidupan pribadi saya.

[caption id="attachment_326735" align="aligncenter" width="540" caption="Pemandangan Gunung Sindoro dari warung yang menyediakan kopi purwaceng"]

14015546551217786021
14015546551217786021
[/caption]

Kenapa istimewa ? Karena di desa Tieng inilah bapak saya dilahirkan. Inilah tanah leluhur saya, saya tentu punya ikatan batin yang kuat dengan desa ini.

Dulu sewaktu kecil, hampir setiap dua bulan sekali saya diajak bapak mengunjungi desa ini, untuk bersilaturahim kepada sanak kerabat yang tinggal disini. Hampir semua penduduk desa ini masih terhitung keluarga besar saya.

Hingga saat ini saya juga masih banyak mengenal teman-teman yang usianya sebaya dengan saya. Mereka dulu sering mengajak saya bermain bersama setiap kali saya mengunjungi desa ini.

Dulu saya sangat menikmati suasana ketika diajak bapak dan saudara saya naik ke ladang yang berada di lereng-lereng gunung, untuk melihat tanaman kentang atau tembako yang sedang tumbuh. Kadang-kadang saya juga membantu menyiangi rumput yang tumbuh di sela-sela pohon tembakau.

Pada sore hari biasanya kami berkumpul di depan perapian. Ngobrol kesana-sini ditemani ubi atau jagung bakar.

Yang tak kalah indah suasananya adalah setiap Idul Fitri tiba. Setiap habis melaksanakan shalat Ied di Temanggung, bapak langsung memboyong kami ke desa ini.

Kami biasanya menginap selama 3 hari dan diajak berkeliling desa mengunjungi saudara dan kerabat kami. Setiap kali masuk rumah, kami harus mencicipi hidangan makan yang telah disediakan. Kalau dihitung-hitung kami bisa makan lebih dari 10 kali setiap harinya.

Untuk menyemarakkan lebaran, anak-anak biasanya menyulut mercon dengan berbagai ukuran. Kertas bekas pembungkus mercon akan memenuhi sepanjang jalan desa ini.

Sayang keadaan yang sangat indah tersebut kini sudah sangat jauh berkurang. Masing-masing kami saat ini punya kesibukan sendiri-sendiri, kami juga tinggal saling berjauhan. Sudah beberapa tahun ini saya tidak menjejakkan di desa yang suasana agamanya sangat kental ini. Karena itu hubungan kami tidak seintens dulu lagi.

Para sesepuh yang dulu selalu kami kunjungi, juga sudah meninggalkan dunia satu persatu. Saat ini, hanya tinggal seorang bu lik, adik bapak saya, yang masih hidup. Tetapi usia beliau juga sudah cukup sepuh dan kesehatannya juga dalam keadaan kurang baik. Sejak setahun belakangan ini beliau lebih banyak tinggal di rumah. Mudah-mudahan lekas sehat kembali ya bu lik, sehingga bu lik bisa jalan-jalan seperti dulu lagi.

Tetapi bagaimana pun Tieng termasuk desa yang selalu saya rindukan, selain desa tempat saya dilahirkan dan dibesarkan di Temanggung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun