Mohon tunggu...
Alja Yusnadi
Alja Yusnadi Mohon Tunggu... Penulis - Kolumnis, tinggal di Aceh

aljayusnadi.com---Harimau Mati Meninggalkan Belang, Manusia Mati (harus) Meninggalkan Tulisan, Bukan hanya Nisan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aku, Mereka, dan Asa*

2 Mei 2012   06:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:51 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Alja Yusnadi**

Labirin Senja, pekat. Kumpalan awan melukis dikanvas biru, membentuk berbagai rona. Sebuah Panther Pick-up melaju, pelan, menyusuri sudut kota Banda Aceh, Ibu kota provinsi Aceh, yang memiliki APBA sembilan Triliun, namun rakyatnya masih seperti ayam kelaparan di lumbung padi. Beberapa lelaki dewasa berada diantara kotak-kotak kosong. Kumparan senyum terpancar, hingga menyentuh fatamorgana yang sedang dirajut pantulan alam.

***

Sore itu, Sabtu, alam begitu bersahabat, cuaca tidak mendung tidak pula begitu terik. Butiran air langit tersumbat, derajat kepanasan tidak begitu membakar kulit. Jarum waktu masih berada dipusaran angka lima. “Ini momentum yang tidak boleh kita lewatkan,” ujar Zahlul. Pria Bertubuh jangkung ini adalah Ulee balang mahasiswa Teknik Pertanian Unsyiah angkatan 2004, kawan-kawan mempopulerkan namanya Jaluk, entah darimana ihwalnya ini, yang jelas orang lebih mengenalnya jaluk, ya jaluk.

Asal mula, adalah masuk ke Jurusan Teknik Pertanian, masa itu tahun 2004. Hampir tu7uh tahun berselang. Waktu berlalu, seperti air, takkan menunggu. Menggilas apa saja yang ada didepan. Tak bisa diputar kebelakang. “masuk bersama, keluar masing-masing,” ini kata yang pernah kudengar dari beberapa dosen disaat kuliah dulu.

Diawal dulu, lebih dari seratus orang lulusan SMA diterima di jurusan yang disingkat TEPE itu. Berbagai jenis kelamin, lintas daerah ; gayo, kluet, jame, meureuhom daya, pidie, bireun, aneuk duson, anak kota, membaur bersama. Walau ada gap, tak terlalu jarak, dipecahkan oleh nasib yang sepadan, buat laporan, tugas kuliah, dan diiringi selingan Ospek.

Angka seratus tidak bertahan hingga akhir. Sebagian, ada yang pindah jurusan dengan berbagai alasan, masuk abdi negara, pindah tempat, dan sebagian “syahid” bersama gelombang laut, desember 2004, semoga mereka ditempatkan di sisi Nya. Sebagian lain, ada yang sudah bekerja, sudah selesai kuliah tapi masih dalam masa waiting, dan ada juga yang masih berjuang, menyelesaikan teka-teki yang dituntun oleh penguasa kampus.

Begitu banyak rasa, kesan, sakit, pahit, manis. Semua diaduk oleh masa. Jika ada yang kurang merasakan, barangkali orang seperti ku, disaat kuliah, sedikit sekali waktu untuk teman kampus, lebih banyak menyerang keluar. Pun begitu, masih tercoret sederat rindu, ingin kembali kemasa dulu. Agaknya, tak cukup banyak padanan kata yang mampu melukis kenangan itu, apalagi bagi teman yang meiliki cerita kelam, ingin kulukis bersama dalam catatan singkat ini, namun kutakut ada yang tersinggung, kecut, mendampar.

Sebagai bumbu, pemanis rindu, cukup mengingat masa-masa gila diawal masuk dulu. Teman-teman ingat? Dengan wajah lugu, map disamping, rambut ukuran inchi, mau saja dibodoh-bodohi. “jika tak ikut ospek tak bisa kuliah,” ungkap beberapa mahasiswa diatas angkatan kita. Jadilah kita ke sabang. Yang paling kuingat, satu teman kita nyaris tewas kala itu. Badannya kecil, kidal, menyukai matakuliah berhitung, sekarang dia sudah jadi Fhotografer, ya, Ados, nama lengkapnya Firdaus Mirza Nusuari, aku pernah dengar, kalau dia sempat mencoba jatuh cinta dengan teman perempuan kita, namanya? Maaf, lupa!

“Konslet”, ucap pria berkulit gelap berbadan tegap. Yang kuingat, namanya Reza, entah Reza apa, lupa. Kemudian, kita mempercayai dia menjadi Wakomting, mendampingi si Jaluk. Kemudian kita lebih mengenalnya dengan nama Konslet, buka Reza. Namun sayang, konslet tak sempat menghabiskan masa studinya, keburu menjadi PNS di kotanya. Ya, PNS, pekerjaan Plat Merah yang banyak dikejar. Orang tua perempuan pun mudah memberikan anak gadisnya disaat PNS yang melamar. Tapi banyak jalur PNS skarang yang curang, menuntun ke Neraka!.

Memory tentang peristiwa Sabang tak begitu terekam, pas-pasan, dan sudah pernah kunukil pada cerita sebelumnya, agar tak bosan, cukuplah menjadi renungan dikepala kawan. Awal-awal kuliah, laporan menyibukkan kita, mulai dari laporan lab kimia, fisika, biologi. Itu semua mata kuliah dasar, di FMIPA, acap kita perang mulut dengan asisten disana yang juga mahasiswa, sok tau mereka!.

Sebagai jurusan baru, kita harus rela diajar oleh dosen yang pas-pasan, bahkan ada untuk pemanas masih menggunakan penanak nasi yang keren itu, aku sering mendengarnya Rickuker. Kita juga berhadapan tugas matakuliah, menghafal surat-surat pendek agar mendapat nilai agama, harus diajar oleh mentor-mentor UP3AI yang tidak begitu cekatan dalam membaca Al-quran, Qalam tuhan yang maha suci itu.

Begitulah, hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti semester, kita Ujian!. Ada yang melihat kopean, ada yang tidak belajar! Macam-macam. Yang jelas untuk satu tujuan : Sarjana. Kemudian, sadar pola yang tidak mengajar. Semester pertama, kita pemutihan. Salah satu hikmah nilai bagi yang pas-pasan, dan derita bagi yang pintar. Semeser datang bergantian, hingga Praktek Lapang, bakti Profesi.

Waktu telah mengajarkan bagaimana menghargai hidup, memanfaatkan keadaan. Tidak lagi “bersawah ladang”. Kita terus bercengkrama dengan alam. “Waktu adalah pedang,” kata pepatah arab. Sekarang, roda zaman terus berputar, si sayed yang dulu asyik “bersawah-ladang” sudah jadi Asisten Fasilitator di PNPM, program Presiden SBY yang mengeluh karena gaji tidak naik itu. Tampilannya sudah agak beda, satu lagi, dia hampir punya momongan, tak terbayang bukan?.

Sebagian besar, kawan yang sudah serjana mengabdikan diri menjadi pegawai Bank. Jenis pekerjaan yang sempat populer ditahun 90-an. Tidak untuk sekarang. Tapi lumayan juga, dapat menyimpan sebagai mahar. Lebih sari sepuluh orang sekarang jadi pekerja Bank, tak dapat kuurut satu persatu, dominasinya perempuan.

Mulya Arfan, yang satu ini hanya mencicipi sekitar 2 semester di TEPE. Setelahnya dia mengadu nasib dijati nangor, Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri, sekolah yang agak kemiliteran. beberapa tahun silam sempat mengemuka soal skandal kekerasan, yang terakhir, merenggut nyawa anak “Trah” limpo, Gubernur Sulawesi Selatan. Begitulah, setelah hampir tu7uh tahun. Waktu telah menyulap manusia lugu menjadi guru. Menyisakan rindu yang membatu.

***

Untuk memecah rindu, beberapa kawan mengambil inisiatif untuk melakukan reuni, kecil-kecilan, sesuai kemampuan. Setalah perencanaan marathon, akhirnya disepakati, “satu hari di Lampu’uk”. Titik nol, dari rumah Jaluk, setelah menyiapkan berbagai perlengkapan, beberapa kawan bergerak. Aku, sandy, fadhil, marzuki (Marjocovik), Nasbar, menyisir pasar Penunayong, mencari Ikan dan bahan-bahan dapur. Beberapa jam, kami selesai dengan tugas yang satu ini, kembali ke rumah jaluk.

Awalnya, sebelum magrib pasukan sudah memasuki areal. Terjadi pergeseran rupanya. Sekitar Pkl. 21 WIB, baru tiba di Dian Rana Bungalow. Walau terletak di kawasan objekwisata Lampuuk, ternyata adahal yang jarang ditemui, sekitar sini ada beberapa tempat nginap. Sekitar limaratus meter dari Dianrana, terlihat temeram bayangan, persis diantara tebing, rupanya penginapan juga. Ada yang aneh, ditempat itu, untuk “wisatawan” lokal dipatok harga satu juta, untuk turis manca negara hanya limaratus ribu, aneh bukan?.

Rupanya, sang pemilik memang tidak menyukai pengunjung lokal, karena akan dipersoalkan oleh masyarakat sekitar. Penghuninya kebanyakan bulek-bulek “miskin”, yang hanya menggunakan pakaian seadanya. Fenomena ini acap kita temukan di Banda Aceh, apalagi menyongsong Visit Aceh 2011, salah satu program andalan Mawardi-Illiza.

Malam terus merangkak, alam sekitar sedang bertasbih, memuja yang mahakuasa yang berhak dipuja. Sekitar bungalaw sunyi, setelah melewati pos pemeriksaan warga gampong sekitar satu kilometer sebelumnya. Fenomena malam disekitar jalan lampu’uk agak mencekam, bayangkan, hampir sepanjang badan jalan, lembu-lembu malam berkeliaran, seperti tampa pemilik. Qanun/perda yang telah disusun tidak mampu memberantas dunia malam.

***

Bersambung....

*)Persembahan untuk kawan-kawan Teknik Pertanian Unsyiah angkatan 2004. Di rajut dari cerita yang berserak dan keterbatasan ingatan..

**) Alumni Teknik Pertanian Unsyiah 2004.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun