Pandemi COVID-19 justru menjadi babak baru bagi dunia digital di Indonesia. COVID-19 memberikan lebih banyak kesempatan bagi banyak komunitas untuk mengkaji lebih mengenai otoritarianisme digital yang terjadi di Indonesia, terkhusus dalam bagaimana implementasi pengendalian COVID-19 dan apa upaya yang digunakan pemerintah dalam memerangi virus ini.Â
Meningkatnya pendekatan garis keras dalam pemerintahan di Indonesia mengindikasikan semakin meningkatnya otoritarianisme. Momen COVID-19 ini juga menjadi momen yang tepat bagi pemerintah untuk mempercepat adanya otoritarianisme digital di Indonesia dengan memunculkan momok menjaga keamanan nasional dan menjaga stabilitas selama pandemi COVID 19 terjadi di Indonesia.Â
Indonesia menduduki peringkat 64 dengan skor 6.3 dalam indeks demokrasi The Economics Intelligence Unit, peringkat itu kemudian meningkat menjadi peringkat 52 setahun kemudian yakni di tahun 2021. Laporan nasional menunjukkan bahwa pada tahun 2020 masih terdapat 29.4% penduduk Indonesia yang merasa tidak cukup bebas dalam menyampaikan kritiknya terhadap kinerja pemerintah. Survei terakhir yang dilakukan pada April 2021 menunjukkan bahwa 52,1% penduduk Indonesia yakni sebagian besar didominasi masyarakat menengah dan masyarakat kecil mengaku bahwa mereka masih merasa takut dalam mengutarakan pendapat untuk pemerintah.Â
Perlu diketahui dengan lebih dari 250 juta penduduk Indonesia, dengan jumlah pengguna internet nya mencapai 204,7 juta menandakan bahwa semakin banyaknya kehidupan masyarakat yang online, maka semakin besar pula upaya pemerintah untuk membatasi hak dan kebebasan masyarakat. Hal yang sudah dilakukan dalam rangka pembatasan kebebasan masyarakat adalah sejak tahun 2019, Indonesia telah mengalami percepatan dalam indikator otoritarianisme digital yakni penerapan sensor online, pengawasan siber, dan penutupan internet. Dalam masa pandemi ini Indonesia memiliki beberapa kegiatan yang dilakukan dalam mengimplementasikan digital otoritarianisme.Â
Online Surveillance atau Pengawasan Daring
Hal yang dilakukan dalam pengawasan daring ini dimulai ketiga pandemi COVID-19 melanda Indonesia yakni pada awal Maret tahun 2020. Presiden Joko Widodo memerintahkan Badan Intelijen Negara untuk dapat meredam kepanikan dan ketakutan yang terjadi di masyarakat akibat wabah virus ini. Pada awal April 2020, polisi mulai ikut aktif mendukung pemerintah dalam meredam ketakutan masyarakat dengan melakukan pengendalian narasi yang membahas mengenai situasi COVID-19 di Indonesia.Â
Mabes Polri juga mengeluarkan Surat Telegram No. ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 yang menginstruksikan bahwa polisi akan melakukan patroli siber guna memantau opini online dan menindak siapapun yang menyebarkan berita bohong tentang pandemi, kebijakan pemerintah, maupun narasi yang bertujuan menghina pemerintah dan presiden. Diketahui sedikitnya 57 orang tertangkap karena menyebarkan berita palsu mengenai pandemi COVID-19.
Awal Februari 2021 diluncurkan "polisi virtual" yang bertugas berpatroli dalam platform online untuk melakukan pemantauan dalam konten yang diposting oleh pengguna sosial media. Dalam UU ITE, polisi memiliki kekuatan dalam mengirimkan baik virtual maupun secara langsung peringatan ke pengguna media sosial, dan mereka juga memerinthakna untuk menghapus postingan yang dianggap melanggar hukum.Â
Aplikasi Peduli Lindungi yang digunakan untuk mendeteksi riwayat COVID dan vaksinasi seseorang ternyata juga menimbulkan masalah dalam hal privasi dan keamanannya. Audit yang dilakukan untuk aplikasi Peduli Lindungi ditemukan bahwa terdapat izin yang berlebihan dalam mengakses aplikasi tersebut dan terdapat fitur yang tidak diperlukan dalam aplikasi tersebut. CitizenLab mencatat bahwa aplikasi Peduli Lindungi dapat mengumpulkan alamat MAC WIFI pengguna dan alamat IP lokal yang dapat membantu mengidentifikasi pengguna. Aplikasi ini juga terindikasi dapat mengirimkan informasi lokasi perangkat dan info pengguna ke server web pengembang dan hal itu memungkinkan mereka melacak lokasi fisik perangkat.
Represi Daring
Pandemi COVID-19 memberikan banyak peluang bagi masyarakat mengakses berbagai macam berita dan bebas berinteraksi dengan siapa saja. Namun pandemi ini memberikan peluang bagi aparat penegak hukum untuk dapat menggunakan UU ITE dalam melakukan pembatasan berlebihan terhadap kebebasan berekspresi. Undang - Undang tersebut bertujuan untuk mengadili pelaku kejahatan siber, yang berisi beberapa ketentuan dalam memperluas kewenangan pemerintah untuk menghukum komentar di media sosial. UU ITE telah menjadi senjata yang digunakan negara untuk membungkam kritik, meski juga banyak digunakan oleh politisi dan pengusaha untuk melawan kritik mereka.Â