Alkisah, saat berada di suatu stasiun kereta api, saya dan teman-teman sepakat untuk mengganti pakaian dan atribut lainnya yang identik dengan santri dengan mengenakan kemeja flanel dan celana Jeans lengkap dengan sepatu.Â
Penampilan kami pun berubah drastis, layaknya anak-anak muda yang lain. Singkat cerita saat berada di ruang tunggu sesaat sebelum menaiki kereta, ada sepasang kakek dan nenek yang terlihat kebingungan seakan memberi isyarat meminta tolong.Â
Namun keadaan sekitar seolah tak peka dan tetap bergeming dengan kesibukannya masing-masing. Barang bawaan mereka tidak sedikit, ada dua buah tas besar yang mungkin berisi pakaian dan 3 kardus berukuran sedang.Â
Tanpa pikir panjang kami pun menghampiri kakek dan nenek tersebut untuk menawarkan bantuan. Raut wajah gembira terpancar dari kerutan wajah mereka yang telah menua dimakan usia. Setelah menghantarkan barang bawaan mereka ke dalam gerbong, teman-teman yang lain dengan sigap memberikan tempat duduknya untuk kakek dan nenek tersebut.
Maklum, pada saat itu PT KAI belum menerapkan kebijakan pembatasan penumpang sesuai jumlah tempat duduk seperti saat ini. Sehingga apabila tempat duduk sudah habis maka stasiun akan menjual tiket berdiri.Â
Dalam perjalanan yang cukup panjang itu, kami mendapat wejangan atau nasehat-nasehat tentang kehidupan. Singkat cerita, beberapa saat sebelum tiba di stasiun tujuan terakhir, kami berpamitan dan mencium tangan mereka.Â
Tiba-tiba sang kakek menyeletuk, "sampeyan Santri? (kalian santri)" sontak kami saling berpandangan satu sama lain, "ngapunten, kadhosmenopo panjenengan saget ngertos mbah? (maaf, mengapa kakek bisa tahu?)." Lalu sang kakek dengan entengnya mengatakan, "lah biasane ingkang gadah akhlak kaleh kebiasaan ngoten niku nggeh lare-lare pondok, yaiku Santri! (lah biasanya yang punya akhlak dan kebiasaan seperti itu, ya anak-anak pondok, Santri)."Â
Kami pun hanya bisa tersenyum dan bahagia karena bisa saling tolong- menolong dan membantu, terutama terhadap orang tua. Sepertinya, akhlaklah yang menjadi suatu labelling terhadap pribadi siapapun, terlepas dari apapun simbol identitasnya atau agama yang dianutnya.
Dari penggalan kisah tersebut dapat dipahami bahwa, orang lain dapat mengetahui identitas siapa saja, bukan hanya dari simbol-simbol agama yang melekat di fisiknya, namun dari akhlak serta pembiasaan yang sudah mendarah daging. Tentunya hal ini akan diperoleh dengan didikan yang ekstra untuk menanamkan nilai-nilai tersebut. Simbol identitas boleh saja tidak terlihat, namun simbol kesalehan sosial yakni akhlak yang baik dan terpuji secara spontanitas akan muncul dengan sendirinya.Â
Lalu pertanyaannya, manakah yang didahulukan, kesalehan simbolis atau kesalehan sosial? Sebelum penulis menjawabnya, ada satu hal yang menarik yang ingin penulis kemukakan.Â
Kita sering dihadapkan pada sebuah perdebatan kecil nan ringan namun dapat menjadi sebuah bom waktu yang akan membuat runtuhnya sebuah relasi sosial, renggangnya sebuah pertemanan, dan hilang kabarnya sahabat-sahabat kita. Ukhti, jilbab kamu belum syar'i lho! Akhi, celana kamu kenapa belum cingkrang? Akhi, kalau sudah hijrah, tidak boleh pakai celana Jeans!Â