Mohon tunggu...
Aliyyah Ramadhani
Aliyyah Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1

Seorang mahasiswi S1 jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

FOMO, Musuh dalam Berkomunikasi

12 Juni 2024   16:00 Diperbarui: 12 Juni 2024   17:27 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dalam era digital yang terus berkembang, muncul fenomena yang dikenal sebagai FOMO atau "Fear of Missing Out". FOMO menggambarkan rasa takut ketinggalan atau kehilangan momen penting atau kesempatan yang sedang terjadi di sekitar kita. Namun, terlepas dari kehadirannya yang sering dianggap sebagai sisi negatif, apakah FOMO benar-benar menjadi musuh dalam berkomunikasi?

FOMO mempengaruhi cara kita berinteraksi dan berkomunikasi, terutama di dunia digital. Rasa takut ketinggalan ini mendorong kita untuk tetap terhubung, selalu online, dan terlibat dalam segala sesuatu yang terjadi di media sosial. Namun, di balik tekanan ini, FOMO juga membawa dampak yang kompleks terhadap etika komunikasi kita.

Pertama dan terpenting, FOMO memiliki potensi untuk menurunkan kualitas interaksi sosial kita. Ketika kita terlalu fokus pada apa yang terjadi di media sosial, kita mungkin kehilangan kehadiran dalam percakapan di dunia nyata, yang dapat menyebabkan kita menjadi kurang perhatian terhadap orang-orang di sekitar kita dan kurang peduli dengan pengalaman langsung yang sedang kita alami. 

Selain itu, FOMO mungkin berdampak pada cara kita berkomunikasi secara online. Kita mungkin tertekan untuk terus memperbarui status, memposting foto, atau merespons setiap notifikasi agar kita tidak melewatkan sesuatu yang penting. Hal ini dapat membuat kita terlalu fokus pada diri kita sendiri dan mengabaikan kebutuhan dan perasaan orang lain saat berkomunikasi online.

Meskipun FOMO dapat menjadi tantangan untuk berkomunikasi, kita juga bisa belajar cara mengendalikannya dengan bijak. Pertama-tama, sangat penting untuk mengetahui kapan kita terpengaruh oleh FOMO dan kemudian mengambil tindakan untuk mengatasi ketakutan kita. 

Ini dapat mencakup menetapkan batasan pada jumlah waktu yang kita habiskan di media sosial atau menetapkan batasan pada jumlah waktu yang kita habiskan untuk berpartisipasi secara online.

Selain itu, kita dapat mempraktikkan kesadaran diri dalam komunikasi kita, yang berarti kita lebih memperhatikan interaksi sosial kita dan berusaha untuk menjadi lebih hadir dalam percakapan di dunia nyata. Dengan berfokus pada kualitas daripada kuantitas komunikasi kita, kita dapat mengurangi tekanan FOMO dan membangun hubungan yang lebih signifikan dengan orang-orang di sekitar kita.

Kita dapat mengatasi tantangan yang muncul dan membangun kualitas komunikasi yang lebih sehat dan bermakna, baik di dunia digital maupun nyata, dengan memahami peran FOMO dalam komunikasi kita dan mengambil langkah-langkah untuk mengelolanya dengan bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun