Mohon tunggu...
Aliyya Hanafie
Aliyya Hanafie Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Simpel, Sederhana, Ceria dan kata orang sedikit Kaku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terpenggal Mimpi

13 April 2012   03:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:40 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan mata nyalang akibat dibenturkannya kepala ku pada meja makan, aku berusaha lari dan menjauhinya kemudian mataku menangkap sebuah pisau dapur tergeletak segera ku meraihnya, seketika itu juga aku berbalik, kemudian tiba-tiba bajingan itu ada didepan ku dan pisau yang kupegang kini sudah tertancap pada perut buncit miliknya, darah mengalir keluar deras, lantai berkeramik putih yang baru saja aku bersihkan kini berubah menjadi merah kehitaman oleh darah itu. Sesaat kemudian ingatanku menajam mengingat kembali wajah – wajah yang sudah lama menghilang, simbah Nibah yang galak ketika mendapati aku dengan pakean berlumuran lumpur 14 tahun silam dan tetangga ku pak Masran yang terbujur kaku tergolek tidak berdaya dikalahkan struk yang menimpanya dan beruntung penderitaan itu tidaklah lama karena satu minggu berikutnya dia meniggal, itu 2 tahun kemudian setelah aku dimarahi oleh simbah Nibah, akan kah aku menyusul mereka, pandangan ku gelap darah mengucur dari kepalaku.

***

Panas tidak lagi menghangatkan bumi kini sudah membakar dan bumi semakin hari semakin menua, dikarena suduah tercipta sebelum kakek buyut dari kakek buyut ku lahir, bahkan aku yakin lebih tua dari yang dibayangkan itu, pantaslah bumi kadang mengeluh melalui cuaca yang tidak menentu. Pak Lurah datang mengetuk pintu rumah ku “Assalamu’alaikum, tok tok tok”sembari mengetuk pintu “wa’alaikum salam “ jawabku sembari membuka pintu dan mempersilahkannya masuk “monggo pak mlebet, linggih krihin“ aku menawari masuk, dan mempersilahkannya duduk “ ora usah suwun, pak Mulyo telpon jare pengen ngomong kelan ira Nur” Pak Lurah menjelaskan kedatangannya “ ya wis ayu meng umah” ajaknya semabari keluar dari rumah “ inggih pak” jawabku dan langsung mengekor mengikutinya menuju ke rumah pak Lurah.

Disini, di kampung ku yang memliki telfon hanya pak lurah saja, sehingga setiap penduduk desa yang memiliki sanak famili di kota dan ingin menghubungi keluarganya di desa ini, maka mereka akan menghubungi no telfon pak lurah dan pak lurah atau keluarganya yang lain akan memberi taukan bahwa ada telpon dan ngin bicara dari kerabat maupun sanak familinya tersebut. Seperti saat itu, aku mendapat telpon dari Pak Mulyo agen sponsor TKI itu.

***

Orange melambai di ufuk barat, menyapa mengatakan selamat tinggal pada hari yang penat, lelah dan peluh yang mengucur sepajang hari. Diganti oleh sejuk dan dinginnya air penyuci dan kehangtan keluarga yang lengkap. Dan Senja memberi jeda anatara terang sinar si raja sing menuju dalam hitam pekat dinginnya malam, suara panggilan tuhan terdengar mengajak umat untuk kembali mengingat-Nya dan berkumpul mengerjakan 3 roka’at secara berjamaah di rumahNya, tidak jauh dari itu seorang ibu sedang berteriak-teriak memarahi bocah kurus beringusan itu “ kalo main itu ingat waktu, ini sudah magrip masih aja keluyuran! “ ucapnya dengan ditutup oleh sebuah pukulan yang mendarat di bokong anak itu.

***

Aku, ibu dan Bapak kami berkumpul diruang tengah sambil menatap layar 14 inchi itu, yang kadang harus kami putar atenanya untuk mencari saluran yang lebih nyaman untuk ditonton, saat itu kami sedang menonton sinotron indonesia yang teramat, amat hiperbola dan lebay menurut ku. Tapi entah kami setia mentontonnya setiap hari diwaktu anak-anak sekolah sedang belajar atau sekedar mengerjakan Pekerjaan Rumahnya, mungkin dari pada menonton acara yang kadang isinya saling mengolok2 diantara orang pinter-pinter itu lebih baik nonton sinetron pikir kami.

“ ya sudah terserah, jika tekadmu sudah bulat, bapa tidak bisa ngelarang mu, wong kamu wes gede kok” bapa membuka pembicaraan, “ bapak lan emak Cuma bisa berdoa buatmu Nur, semoga disana kamu baik-baik saja” sambungnya. Aku hanya diam tak menjawab apa yang dikatakannya, aku mengingat senin malam itu, dimana aku berusaha menyakinkan dan mempertahankan pendapatku .

“ Kamu gak liat si Rokmah yang pulang dengan badan babak belur dipukuli majikannya itu? Belum lagi si Mirna yang pulang gak bawa apa-apa malah bawa wetengan? Terus belum lagi berita-berita di TV itu TKW yang siap dipancunglah, kabur dari majikannyalah dan banyak lagi kasus-kasus lainnya“ terangnya, karena bapa tidak pernah setuju dan menentang keras keputusanku untuk menjadi TKW di Arab Saudi. “ Pa, bapa jangan liat itu saja, liat mbak Fitri yang bisa beli sawah dan memperbaiki rumahnya itu,lagian TV hanya memberitakan mereka-mereka yang gagal, yang buruk-buruknya saja, nah di desa kita rata-rata mereka sukses pak, bisa beli motor, sawah seperti mbak Fitri itu” sergah ku.

Keinginanku tidaklah rumit, melihat tempat bernaung ku sangat menyedihkan, tidak jarang ketika hujan turun segala pekakas dapur keluar dari rak-raknya guna untuk menampung air hujan yang masuk melalui sela – sela genteng yang bocor dan mengucur masuk kedalam rumah, ya aku hanya ingin sedikit memperbaiki tempat bernanung kami sekeluarga, serta aku ingin mencari modal untuk usaha ku kelak sehingga aku tidaklah perlu berangkat ke Arab Saudi 2 samapi 3 kali seperti kebanyakan tetanggaku.dan jika ada lebih aku juga ingin memiliki kendaraan sendiri untuk menunjang usahaku itu. Itulah mimpi ku.

***

Lutut ku lemas terjatuh pada hangatnya pasir gurun, tangan terikat kebelakang dan mata ku tak bisa melihat terhalang oleh kain yang terikat kencang di kepalaku. Telinga ku mendengar percakapan yang 6 bulan belakangan ini aku mengerti dan sedikit mengetahui artinya, walau dulu waktu kecil setiap maghrib aku melafalkannya, Dimana kedamaian dan ketenangan dirasa ketika mendengarkannya itu, tetapi apa yang kudengar sekarang tak seindah aku mendengarnya di mushola silam. kemudian sebuah gesekan besi yang tercabut dari bungkusnya teruyung keatas serta kebawah hanya dalam beberapa detik saja, dan menamatkan kehangatan pasir gurun dan kegelapan yang aku rasakan.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun