Dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia sejak zaman pra-kemerdekaan, media massa telah menempati peran sentral. Dimana pendidikan politik dan penyebaran informasi-informasi pergerakan kebangsaan dilakukan melalui media massa. Hingga akhirnya terbukti mampu menggelorakan semangat perjuangan rakyat Indonesia untuk berpartisipasi secara langusung merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Begitupun setelah kemerdekaan Indonesia, media massa tetap memegang peran penting dalam melanggengkan kekuasaan pemerintahan orde lama dan orde baru hingga kemudian ikut menjatuhkannya. Sampai akhirnya di awal era reformasi media massa mendapat ruang dan pengakuan yang lebih independen dalam menentukan arah yang seharusnya dimainkannya.
Bila dikaitkan dengan komunikasi politik masyarakat modern sekarang ini, media massa merupakan saluran komunikasi para elite, termasuk yangberada di pemerintahan dan yang berada di luar pemerintahan. Media massa mempunyai kepentingan dalam alur komunikasi politik, bukan hanya sebagai instrumen tetapi sebagai aktor dalam komunikasi dan informasi yang terkait.
Dunia politik saat ini, tidak dapat lepas dari pemanfatan media massa. Termasuk pemanfaatan internet yang berkonvegensi dengan media massa lama (surat kabar, majalah, TV, radio) dan sosial media (facebook, twitter, dan lain-lain) yang memiliki dampak yang besar terhadap dinamika dan perkembangan demokrasi dan politik di banyak Negara. Peran media massa tidak hanya dalam pencitraan figur atau pencitraan partai politik merebut simpati rakyat, tapi juga sekaligus membongkar kedok dan menjatuhkan citra figur atau partai politik tertentu. Akan tetapi penggunaan media massa secara dominan untuk kepentingan politik dan kekuasaan pun menuai protes. Hal ini dikarenakan ketika media sudah tidak bisa bertindak sebagai control social melainkan banyak dijadikan sebagai alat poilitik maka segala informasi yang Ada tidak bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya karena sudah terkontaminasi oleh kepentingan sekelompok orang atau golongan yang memiliki modal.
Bisa dikatakan bahwa media di Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Sebut saja Hary Tanoesoedibjo pemilik group MNC yang membawahi RCTI, TPI, Global TV serta sederet media cetak dan radio, keluarga Bakrie yang membawahi ANTV dan TV-One, Chairul Tanjung yang membidani Trans TV dan Trans7, serta keluarga Suriaatmadja yang sukses dengan SCTV (dan kemungkinan besar juga Indosiar). Di tangan merekalah jagad hiburan dan informasi ditentukan melalui media-media yang dimilikinya. Kapitalis media menjadi kelas yang mendominasi khalayak (kelas yang didominasi).
Kondisi di atas adalah kondisi yang tak terbantahkan dalam perusahaan media yang beroperasi di abad pasar bebas ini. Profesionalisme media dihadapkan pada pilihan antara informasi dan bisnis, antara idealisme dan komersialisme, antara kepentingan publik dan kepentingan kapitalistik.
Komisaris Trans TV Ishadi SK menyebutkan bahwa ketika sebuah tayangan mempunyai rating yang tinggi, beberapa stasiun televisi lainnya rame-rame membuat tayangan yang sama. Dalam hal ini, tidak ada lagi pemikiran untuk menjaga ”kode etik”, estetika, maupun nilai moral. Yang penting hanyalah memperoleh rating yang tinggi, memenangkan persaingan, mendapatkan penonton yang paling banyak, menjual iklan lebih banyak dan benefit yang tinggi untuk membayar ongkos investasi. Artinya, bagaimana strategi industri media untuk bisa eksis dan bertahan hidup.
Di sinilah kemudian industri media menjadi industri dalam dirinya sendiri, industri di mana komoditas dibeli dan dijual. Khalayak (sebagai kelas yang didominasi) pada gilirannya menjadi sebuah komoditas yang diperjualbelikan. Industri media bersaing untuk memperebutkan khalayak (pasar). Pada titik ini, industri budaya tidak lagi memikirkan bagaimana menyampaikan pesan dengan benar dan memiliki estetika atau nilai yang tinggi di masyarakat, tetapi sebaliknya, bagaimana produk-produk (yang berupa program atau rubrik) mereka laku di pasaran. Pada gilirannya, produk-produk tersebut hadir tanpa ruh. Khalayak hanya diberi kesempatan untuk menyatakan suka atau tidak suka, seperti apa produk kesukaan mereka, selanjutnya produk tersebut dilempar kembali kepada mereka.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, media di Indonesia memiliki peran signifikan, terutama terkait dengan masalah politik. Apa yang menjadi perbincangan di media, secara serentak menjadi perbincangan publik. Lihat saja, bagaimana politik dan laku politisi menjadi panggung hiburan di negeri ini, sehingga para politisi lebih suka tampil di media dan membuat sensasi berita. Lebih suka retorika daripada karya, lebih suka fashion ketimbang vision. Media massa tampil tak hanya sebagai kanal komunikasi elite politik sekaligus kanal gosip politik. Bahkan televisi yang menjadi media utama dalam memperoleh informasi, tidak hanya menjadi menjadi media talkshow dan penyiaran audio visual yang mencerdaskan. Akan tetapi lewat televisi, pertengkaran dan perkelahian elite politik menjadi drama dan telenovela politik di ruang keluarga. Kalau seperti ini jadinya, lantas apa kata dunia???
Penulis berpendapat bahwa“perkawinan” antara media dan politik hanya akan melahirkan media bias dalam pemerintahan demokrasi. Miris sekali melihat geliat media massa sekarang ini, yang secara nyata telah mempermainkan hasrat dan emosi rakyat. Hal ini dikarenakan para pegiat media tidak lagi berperan aktif menyuarakan aspirasi masyarakat, malah sibuk dengan agenda pencitraan yang terkadang dipaparkan tidak berimbang, sehingga kualitas yang terbangun oleh rakyat hanyalah cerminan dari kepentingan segelintir orang.
Oleh karena itu diperlukan penyadaran kepada media agar kembali berperan sebagai mana mestinya sebagai control social yang dapat membantu membangun karakter bangsa. ada harapan besar yang terus diamanatkan kepada pegiat media massa untuk memainkan agenda politik yang jelas yakni mendukung terciptanya sistem pemerintahan yang transparan menuju negara yang aman, adil dan sejahtera melalui pemberitaan yang sesuai dengan fakta dan berimbang.
By: @ArniSmart on twitter