Mohon tunggu...
Ali Yasin
Ali Yasin Mohon Tunggu... profesional -

Peminat perubahan sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mempraktekan Hidup Prasojo-Sakmadyo

10 Mei 2013   07:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:49 4392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Prasojo adalah istilah Jawa. Ia memiliki arti yaitu sederhana. Hampir serupa dengan kata ini adalah sakmadyo yang berarti secukupnya atau sepantasnya. Prasojo dan sakmadyo adalah kosakata yang biasa dijadikan pitutur atau nasehat untuk sebuah laku (pilihan sikap) dalam menjalani kehidupan.

Pitutur mulia ini biasanya ditujukan agar seseorang tidak terjebak dalam perilaku berlebihan, apalagi diluar batas. Sebagai makhluk yang diliputi beribu keinginan, manusia harus memiliki kendali agar tidak terjebak ketidakpantasan atau bahkan kehinaan karena sikap berlebihan. Sebab, sikap inilah yang kadang menjadi sumber siksa.

Prasojo dan sakmadyo, antar satu orang dengan orang lainnya mungkin berbeda ukuran dalam penerapannya. Namun, bukan berarti tidak ada kesamaan pandang. Yang dimaksud hidup sederhana, secukupnya atau sepantasnya itu apa tentu berdasar common opinion atau pendapat umum yang muncul dan mengalir di tengah masyarakat.

Ambil contoh, ketika Jokowi yang seorang Gubernur tampil dengan baju putih sederhana, blusukan ke kampung kumuh, makan bersama mereka, tidak pake protokoler datang maupun perginya, lalu ngobrol dengan bahasa lepas tidak birokratis, begitupun gestur, ataupun cara duduknya, tentu kita hampir bersepakat tanpa dikomando bahwa sosok Gubernur asal solo tersebut cukup sederhana.

Tentu berbeda dengan common opinion, seperti dalam kasus Eyang subur yang diberitakan beristri sembilan wanita. Bahkan, beberapa artis dikabarkan juga pernah ditawari sebagai istri mudanya. Maka dalam benak kita timbul kesan bahwa kakek tua tersebut kurang sakmadyo dibandingkan umumnya orang yang beristi satu atau dua wanita saja.

Ya, cerita itu terlalu besar. Sekarang kita urai saja kebiasaaan atau kenyataan di kehidupan kita sendiri. Misal hari ini kita menjadi pegawai dengan gaji 5 juta.  Selain untuk cicilan rumah Rp. 2 juta, kita punya tagihan untuk listrik, air, telepon sebesar Rp. 1 juta, maka sisa 2 juta yang separonya untuk kebutuhan makan minum keluarga. Tersisalah Rp.1 juta yang ternyata dalam kebiasaan kita belanjakan untuk nonton bioskop, jalan-jalan mancing, atau kegiatan lain yang bersifat foya.

Kita tak berpikir taktis bahwa uang tersebut sesungguhnya bisa kita tabung untuk hal yang lebih produktif kedepannya. Tapi naluri kita sudah terjebak, bahwa jika tidak nonton bioskop, tidak jalan-jalan, atau sekedar beli jajanan yang disukai rasanya tidak enak. Inilah yang kemudian disebut hidup yang tidak sakmadyo, tidak prasojo karena ada pilhan laku lain yang lebih pantas.

Dalam perspektif prasojo,ada perwujudan keinginan yang harus kita kendalikan. Pilihannya adalah hidup sederhana tanpa kehilangan kepuasaan karena sederhana itu sendiri juga memuaskan. Seperti yang kita tahu, kepuasaan dalam keinginan tak ada batasnya. Keinginan terhadap wanita, terhadap harta, apalagi terhadap rasa seperti kebiasaan kita berburu kuliner, fashion, liburan dan petualang, tentu tak ada ujungnya.

Tahun 2007 lalu, ketika saya masih bekerja sebagai operator komputer di proyek pengendalian banjir yang disupport oleh perusahaan Nippon Koei, saya setiap harinya bertemu dengan orang jepang sebagai tenaga ahlinya. Masih ingat betul, mereka yang bila di kurs-kan sebulannya bergaji tidak kurang dari Rp.100 juta, namun baju, sepatu, tas, termasuk pilihan makanan yang saya lihat setiap harinya menunjukan kesederhanaan, tidak neko-neko. Tentu tidak semuanya, tapi sebagian besar kebiasaan hidup mereka yang saya lihat selama dua tahun bekerja dengan mereka demikianlah.

Tentu kontras dengan kehidupan kita, yang termasuk bangsa pemberani dalam soal hutang, apakah melalui kartu kredit, bank, kepada teman atau melalui jalur lain yang tujuannya untuk memenuhi hasrat keinginan kita agar hidup berkecukupan, syukur-syukur berkemawahan. Sementara yang saya tahu, teman Jepang seperti Minoru Ouchi sebagai Team leader waktu itu, hanya memiliki satu buah handphone butut, tapi bawahannya (orang indonesia) memiliki handphone 2 buah dan bermerk.

Tak heran bila bangsa ini termasuk yang paling konsumtif. Setiap ada penawaran produk, apakah otomotif, elektronik, barang-barang konsumsi ataupun yang lainnya selalu habis terjual. Tak mau mencoba hidup sakmadyo dan prasojo, supaya kelebihannya bisa dimanfaatkan untuk hal produktif termasuk dijadikan modal usaha yang lebih baik.

Bagaimana menerapkan hidup prasojo dalam kehidupan pribadi kita, tentu kita sendiri yang bisa mengukur. Namun seperti yang saya sebut sebelumnya selalu ada common opinion, selalu ada pendapat orang lain yang bisa dijadikan cermin untuk mengukur pantas tidaknya laku kehidupan sehari-hari kita.

Semoga kita tidak termasuk dalam orang yang bertindak kelewat batas. Hidup prasojo dan sakmadyo, sehingga tidak meniru para politisi yang selalu berlebihan dalam berhubungan dengan wanita, dalam memiliki harta, dalam menebar sensasi dan pesona yang ujung-ujungnya hanya kepalsuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun